Oleh : Ibnu Arsib Ritonga
Perguruan
Tinggi suatu kata yang tidak asing lagi bagi kita sebagai insan-insan akademis,
insan-insan yang melakukan aktivitasnya sehari-hari di dalam kampus,
meningkatkan kualitasnya ke arah yang lebih berwawasan dan berilmu. Perguruan
Tinggi memiliki ciri khas sebagai wadah bagi orang yang mengikuti jenjang
pendidikan tinggi. Hakikat kehadirannya untuk menghasilkan kaum intelektual menimbulkan
kredibilitas tersendiri dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia.
Lembaga
pendidikan tinggi ini menjadi hal sangat berbeda dengan lembaga-lembaga
pendidikan lainnya, yang membedakan lembaga pendidikan tinggi dengan lembaga
pendidikan menengah misalnya, yaitu suatu keadaan dan kondisi di dalamnya jauh
lebih keilmiahannya, kreativitas subjeknya, daya kritis dan inovatifnya dalam
hal mengkaji keilmuan-keilmuan sehingga bisa menciprakan hal-hal baru serta
hal-hal lainnya. Aktivitas ini menjadi suatu budaya yang akan membawanya
menjadi lebih berkualitas secara pribadi dan kelompok, budaya ini disebut
sebagai budaya akademik.
Jikalau
kita lihat dari pengertian budaya akademik berdasarkan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi disebutkan bahwa seluruh sistem nilai,
gagasan, norma, tindakan, dan karya yang bersumber daya ilmu pengetahuan dan
teknologi sesuai dengan asas Pendidikan Tinggi.[1]
Dapat
dimengerti bahwa segala sistem dan seluruh
aktivitas yang dilakukan di dalam perguruan tinggi sudah barang tentu
diatur dan dilakukan secara sistematis serta terorganisir yang bersumber dari
ilmu pengetahuan dan untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Pelaksanaan tersebut
tidak bisa mengesampingkan perkembangan kondisi zaman saat ini yang sudah dibarengi
perkembangan informasi teknologi, maka seyogyanya perguruan tinggi menyesuaikan
dirinya dengan perkembangan tersebut agar dapat mengontrol kemajuan itu juga
dan tidak terpengaruh akan hal-hal negatifnya. Singkatnya seluruh aktivitas
dilakukan secara ilmiah dalam mewujudakan budaya akademik di Perguruan Tinggi.
Budaya
akademik ini harus ada dalam suatu perguruan tinggi, karena perguruan tinggi
merupakan suatu instrumen yang tidak dapat dipisahkan dari suatu masyarakat
yang akan melakukan modernisasi. Perguruan tinggi dipandang sangat berjasa
dalam hal menyiapkan manusia-manusia yang sesuai dengan tuntutan peradaban yang
sedang berkembang dalam suatu masyarakat tertentu.[2]
Senada
dengan di atas bahwa budaya akademik yang ilmiah ini akan membiasakan
masyarakat perguruan tinggi (kita sebutkan sivitas akademik) untuk hidup lebih
teratur, sistematis dan karena dihasilkan dari perguruan tinggi, maka dia
menjadi masyarakat itu sendiri yang mampu menjawab tantangan zaman atau
kebutuhan zaman kedepannya dalam masyarakat tertentu. Budaya akademik akan
melatih dirinya dalam berbuat sesuatu dengan penuh pertimbangan dan tidak
sembarang saja.
Lantas
siapakah yang mewejudkan budaya akademik tersebut dan secara konkritnya seperti
apakah budaya akademik tersebut?. Untuk mewujudkan budaya (kebiasaan-kebiasaan
yang dilakukan) tersebut tentulah ada yang mengaktualisasikannya dan seperti
apa konsep konkritnya budaya akademik itu. Pelaku-pelakunya tentun masyarakat
perguruan tinggi itu juga, baik secara intra (dari dalam) maupun ekstra (dari
dalam) ini kita sebutkan menjadi 4 (empat) Pilar Kampus, yang dimana 4 Pilar
Kampus berpijakan pada nilai filosofis dari pada Tridharma Perguruan Tinggi dalam hal mewujudkan budaya akademik.
Tridharma Perguruan Tinggi Sarana
Wujudkan Budaya Akademik
Tridharma
Perguruan Tinggi suatu hal yang tidak asing lagi bagi kita, sebagai bagian dari
pada masyarakat suatu lembaga pendidikan tinggi yang kita sering sebutkan
dengan perkataan Universitas, Institut, Akademi dan lain-lain, jikalau kita
lihat bahasa sehari-hari yaitu kampus. Tridharma ini menjadi suatu kewajiban
bagi perguruan tinggi untuk diaktualisasikan setiap harinya.
Tridharma
Perguruan Tinggi menjadi identitas suatu perguruan tinggi atau kampus dimana di
dalamnya terdapat yakni Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat.
Karena perguruan tinggi atau kampus adalah lembaga dan masyarakat ilmiah, maka
tridharma perguruan tinggi dapat dikatakan dengan pendidikan ilmiah, penelitian
ilmiah dan pengabdian secara ilmiah kepada masyarakat.
Jikalau
dilihat secara bahasanya, Tridaharma berasal dari bahasa Sanksekerta yaitu “Tri yang artinya Tiga” dan “Dharma artinya Kewajiban), berarti dapat
disimpulkan bahwa Tridharma Perguruan Tinggi itu ada tiga kewajiban. Dijelaskan secara yuridis, dalam
Undang-Undang Nomor. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan pada pasal 1 ayat (9)
disebutkan bahwa tridharma adalah kewajiban Perguruan Tinggi untuk
menyelenggarakan Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian. Dari ketiga inilah
budaya akademik di dalam suatu perguruan tinggi dapat diaktualisasikan secara
terus menerus.
Franz
Magnis Suseno berpendapat sama tentang Tridharma Perguruan Tinggi, yaitu:
“Salah satu sarana terhebat dalam
usaha untuk memperbodoh bangsa adalah penggunaan slogan-slogan kosong. Sebuah
faham yang bukan slogan kosong, melainkan malahan sebaiknya sangat tepat dan
sebenarnya inspiratif adalah apa yang disebut Tridharma Perguruan Tinggi.
Tridharma Perguruan Tinggi mengatakan bahwa perguruan tingga mempunyai tiga
darma, jadi dipanggil untuk melakukan tiga macam kegiatan: pengajaran atau
pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat. Tridharmu itu baik dan
terpuji”.[3]
· Pendidikan
Pendidikan adalah suatu hal yang
sangat penting bagi kita dalam hidup bernegara, sebagai mahkluk sosial yang
tidak bisa lepas dari masyarakat lainnya, dengan pendidikan ini akan memudahkan
kita untuk berinteraksi satu sama lain, dengan pendidikan ini juga dapat
merubah moral manusia maupun etika dalam aktivitas sehari-hari sehingga dapat
dibedakan dengan makhluk lainnya. Dari itulah Indonesia sebagai negara yang
berketuhanan, maka pendidikan itu bertujuan secara konstitusi untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa sehingga dapat melaksanakan ketertiban dunia.[4]
Dalam Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional disebutkan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara akatif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spritual keagamaan, pengendalian diri, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[5]
Hal yang sama juga disebutkan di dalam pasal 1 ayat (1) UU. No. 12 Tahun 2012
Tentang Pendidikan Tinggi.
Kampus sebagai lembaga pelaksana
dari pada pendidikan (Pendidikan Tinggi) harus dapat memainkan peran untuk
menjalankan pendidikan di kampus tersebut. Hovde mengatakan bahwa universitas
adalah pusat kebebasan intelektual, sebagai lembaga yang mendorong untuk
belajar, menemukan hal-hal baru, mengajar dan berdiskusi serta memberi kritik
dimana perlu. Sebagai pusat pendidikan dan tempat mempersiapkan sumber-sumber
tenaga manusia menurut Hovde, universitas perlu memberikan landasan moral,
politik dan kemampuan kepada anak didiknya. Pakar lain berpendapat seperti Douglas
S. Paauw berpendapat universitas adalah sarana kunci pembangunan suatu bangsa
dan menjadi sumber manusia yang paling bermutu.[6]
Di samping itu dilihat dari segi
pendidikan maka universitas atau kampus bertugas untuk menyebarluaskan ilmu
pengetahuan dari tingkat yang lebih tinggi kepada mahasiswa yang pada gilirannya
akan menerapkannya dalam masyarakat itu sendiri. Pendidikan Tinggi telah
dipandang sebagai sarana utama dalam pembangunan nasional dan dalam kemajuan
sosial apalagi kita lihat di era sekarang sudah penuh dengan kemajuan informasi
teknologi.
Pendidikan yang dilakukan di dalam
universitas atau kampus tidak sesederhana yang kita bayangkan. Pendidikan
dikampus itu bukan hanya un sich di
kelas saja. Pendidikan di suatu kampus harus lebih kreatif dan inovatif.
Mahasiswa yang sebagai pesera didik tidak bisa mengharapkan seratus persen ilmu pengetahuan didapatkan dari kelas tanpa
ada usaha-usaha mandiri lainnya, seperti berdiskusi, seminar, menulis, membaca,
melakukan penelitian dan bentuk kegiatan-kegiatan yang meningkatkan kualitas
diri pribadi. Hal itu adalah budaya akademik dalam pendidikan.
Dalam makalah Mochtar Buchori
berjudul Peranan Pendidikan dalam Pembentukan Budaya Politik di Indonesia yang bukukan
oleh Sindhunata (editor) berpendapat dalam pendidikan itu harus ada orientasi,
misalnya pendidikan itu harus mampu mengembangkan pola pikir yang baru, pola
pikir yang tidak hanya memandang aspek kognitif saja.[7]
Jelas bahwa kalau kita hubungkan dengan pendidikan yang diadakan di dalam
kampus harus betul-betul menjadikan seluruh warga kampus insan-insan yang
akademis, mempunyai pola pikir yang obyektif dan sikap moralitas yang terdidik.
Melalui ide-ide pemikiran yang tajam karena didapatkan dari proses pendidikan
maka budaya ilmiah ini menjadi kebiasaan sehari-hari dan kebudayaan dikampus
semata-mata untuk kepentingan ilmu pengetahuan itu agar supaya dapat
mencerdasakan bangsa sesuai amanah Pembukan UUD 1945.
Jaya Sihaloho[8]
menyampaikan lewat makalahnya berjudul “Menegakkan Kredibilitas Kampus Sebagai
Agen Pembangunan” pada saat Diskusi Lesehan yang diadakan oleh HMI Cabang Medan
tahun 11 Februari 1991, Konsepsi pendidikan tinggi yang terangkum pada wawasan
almamater dikatakan: “Perguruan Tinggi harus benar-benar merupakan lembaga
ilmiah, sedang kampus harus benar-benar merupukan masyarakat ilmiah”. Kekhasan
bercirikan ilmiah pada Perguruan Tinggi dan Kampus menunjukkan nilai lebihnya
dari lembaga dan masyarakat lain.
· Penelitian
Aspek kedua dari Tridharma
perguruan tinggi adalah Penelitian (research),
penelitian sangat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Lebih-lebih
ilmu sosial, maka penelitian ini merupakan bahan baku yang dapat menopang
akurasi dari ilmu sosial tersebut. Artinya dinamika masyarakat, baik vertikal
maupun horizontal yang juga membawa perubahan itu jika tidak disertai dengan
penelitian akan menimbulkan gap antara teori yang dituangkan dalam buku dengan
kenyataan sosial di tengah-tengah masyarakat.[9]
Apa lagi jika kita ingat bahwa teori-teori ilmu sosial yang kebanyak diimpor
dari daerah luar maka kita sering menemukan masyarakat kita sering menimbulkan
varian yang tidak relevan dengan teori yang ada.
Pada pasal 10 dalam UU. No. 12
Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi, menyebutkan bahwa penelitian adalah
kegiatan yang dilakukan menurut kaidah dan metode ilmiah secara sistematis
untuk memperoleh informasi, data dan keterangan yang berkaitan dengan pemahaman
dan atau pengujuian suatu cabang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Teori-teori yang kita dapat di
dalam pendidikan tadi tidak selamanya benar atau benar akan teori itu tapi
sudah tidak sesuai atau tidak relevan lagi. Data-data sebelumnya atau teori
yang dikemukan dalam suatu buku bisa saja tidak cocok lagi dengan kondisi saat
ini. Maka dari itu perlu adanya
penyegaran kembali terhadap ilmu pengetahuan yaitu melalui dilakukannya
penelitian oleh masyarakat ilmiah itu (Dosen dan Mahasiswa).
Ada yang bergeser pada aspek ini
dalam keshari-hariannya, tridharma yang kedua ini telah diamanahkan kepada
seluruh masyarakat ilmiah atau warga kampus supaya menjalankan agar perguruan
tinggi tersebut dapat melaksanakan pembangunan sumber daya manusia untuk
persiapan generasi-generasi penerus. Aktivitas Penelitian saat ini jauh dari
mahasiswa (mayoritas) atau sebagian dari dosen. Padahal niat baik pemerintah
untuk melakukan penelitian telah mengeluarkan dukungannya terhadap kegiatan
penelitian. Secara yuridis sudah di atur dalam aturan-aturan yang dibuat akan
tetapi mahasiswa terkhususnya telah bergeser ke arah apatisan.
Jika dahulu mahasiswa sangat
berperan aktif dalam berbagai kegiatan terkhusus dunia mahasiswa, bahkan pernah
ikut andil dalam pergerakan besar kajatuhan tirani era reformasi. Kini
mahasiswa telah menjadi organisme apatis terhadap kegiatan diluar perkualiahan,
hingga program penelitian dan karya ilmiah pun terabaikan. Indeks Prestasi
Komulatif (IPK) menjadi prioritas utama.[10]
Padahal kalau terbiasa dengan melakukan budaya akademik ini (Penelitian)
tentunya pola pikir akan berubah menjadi lebih kritis dan Keterbukaan Berpikir
(open minded).
Mahasiswa, dalam usahanya memenuhi
tuntutan Tridharma perguruannya pada umumnya kurang/belum memiliki kemampuan
untuk menyelenggarakan penelitian. Kalaupun ada, maka jumlahnya masih kecil
sekali. Yaitu bagi para mahasiswa yang diikutsertakan oleh dosennya pada proyek
penelitian fakultasnya. Kelemahan seperti ini memang sulit dicarikan
pemecahannya manakala para mahasiswa sendiri tidak pernah diikutisertakan pada
penelitan di kancah. Kelemahan ini kecuali disebabkan oleh kurangnya praktek di
kancah, juga merupakan konsekuensi logis dari sistem belajar di Perguruan
Tinggi kita yang monolog, sehingga mahasiswa hanya mengandalkan abilitas dosen.
Sehingga ketergantungan absolut kepada dosen itu menyebabkan para mahasiswa
tidak/kurang kreatif dan tidak terampil dalam merumuskan dan merancangkan
sesuatu problem atau dengan kata lain, mahasiswa kurang mampu mencarikan solusi
terhadap sesuatu persoalan, how to solve
the problem memang menghambat mahasiswa. Apa-apa yang dihadapinya selalu
memintakan pemecahannya, setidak-tidaknya meminta pertimbangan kepada dosennya.
Jadi faktor ketergantuan ini akan mempengaruhi kreativitas.[11]
Selain faktor di atas, kondisi saat
ini ada faktor yang baru, yaitu faktor ketergantungan kepada mudahnya mengakses
materi pengetahuan dari internet, selain ketergantungan pada dosen tadi
sekarang bertambah ketergantungan kepada internet atau searching dari situs google.
Mahasiswa dipermudah dengan hal itu semua, tidak ada lagi usaha pencarian yang
mandiri untuk melakukan penelitian. Dengan kemudahan untuk mengakses informasi
pengetahuan mengakibatkan kemandekan berpikir mahasiswa. Dalam hal inilah,
penilitan-penelitian yang sudah diamanahkan Undang-undang harus
diaktualisasikan.
· Pengabdian Pada
Masyarakat
Pengabdian pada masyarakat
maksudnya adalah aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh warga perguruan
tinggi/kampus dilakukan untuk masyarakat dan langsung dapat mereka rasakan
manfaatnya dan ini menjadi dharma ketiga[12].
Pengabdian ini dilakukan bisa berbentuk kegiatan seperti adanya Praktek Kerja
Lapangan (PKL) bidang pendidikan, ada istilah PPM (Pengabdian Pada Masyarakat)
kegiatan akhir tahun kampus yang melibatkan seluruhnya, ada Bakti Sosial
(Baksos), ada Penyuluhan Hukum atau bantuan hukum pada masyarakat, Kesehatan
dan lain-lain. Hal itu adalah budaya akademik yang dikerjakan secara konkrit
oleh perguruan tinggi.
Menurut Franz Magnis Suseno hal
yang demikian tidaklah cukup. Usah-usaha itu tentu saja baik dan terpuji. Akan
tetapi, kalau hanya itulah yang dianggap sebagai pengabdian masyarakat,
universitas secara tidak langsung menyatakan bangkrut identitasnya. Universitas
mengabdi kepada masyarakat dengan sebaik-baiknya apabila dia mampu
mempersiapkan generasi-generasi penerus yang berkualitas (iron stock).[13]
Pada dasarnya pengebdian masyarakat
bertujuan membantu masyarakat agar bisa memenuhi kebutuhannya sendiri.
Pengabdian masyarakat dilakukan harus mampu menghasilkan output beruma masyarakat lebih mandiri dan bermanfaat bagi sumber
daya yang ada. Sekarang ini sudah banyak organisasi intra dan ekstra kampus
yang dipelopori oleh mahasiswa-mahasiswa sering melakukan pengabdian baik dalam
hal skopnya yang masih kecil seperti Baksos pada pembersihan jalan hingga pada
pengabdian memberikan pendidikan kepada masyarakat yang kurang mampu.
Pengabdian dilakukan oleh Perguruan
Tinggi dapat membantu pembangunan nasional baik itu pembangunan di bidang hukum misalnya dan yang lainnya.
Dari pengabdian ini perguruan tingga dapat membantu pemerintah Indonesia dalam
memecahkan masalah yang ada di dalam masyarakat.
Empat Pilar Kampus Penggerak
Budaya Akademik/Tridharma Perguruan Tinggi.
Istilah 4
(empat) Kampus masih jarang kita dengar dalam tulisan-tulisan tentang
kemahasiswaan, perguruan tinggi dan kajian-kajian kemahasiswaan lainnya.
Penulis mengistilahkan ini terpikirkan dari 4 (empat) Pilar Bernegara dan
Berbangsa yang pencetusnya paling dikenal yaitu Alm. Tuafik Kiemas-mantan Ketua
MPR RI. Penulis belum menemukan istilah ini - 4 (empat) Pilar Kampus dimanapun,
disini penulis bukan mengatakan sebagai pencetusnya. Kalau pun ada yang dahulu
penulis akan ijin memakai istilah ini, istilah ini penulis cetuskan tahun 2012
ketika menuliskan selebaran mahasiswa.
Maksud
penulis 4 (empat) Pilar Kampus tersebut adalah suatu komponen atau pondasi
serta tiang-tiang yang tidak dapat dipisahkan dari suatu kampus. 4 (empat) pilar ini harus saling mendukung satu sama
lain, yang diikat dengan visi misi yang sama dalam memajukan pendidikan dan
memajukan kampus yang ditempatinya. 4 (empat) Pilar Ini harus terorganisir
dengan baik dan solid karena 4 (empat) Pilar ini menjadi penggerak jalannya
budaya akademik di suatu perguruan tinggi.
4
(empat) Pilar Kampus tersebut yaitu : Mahasiswa,
Dosen/Staf Pengajar, Biroksi Kampus, dan Alumni, tentunya kita sudah tahu apa pengertian dan tugas-tugas
dari pada empat pilar tersebut. Dalam
tulisan ini penulis tidak membahas lagi bagaimana itu mahasiswa, bagaimana itu
dosen dan yang lainnya, aka tetapi fokus utama dalam tulisan ini adalah
bagaimana jalannya budaya akademik yang sudah dijelaskan di atas dapat
terlaksana dengan penggeraknya empat pilar tersebut.
Dalam
urutannya, kita tidak dapat mengurutkannya mana yang pertama dan mana yang
terakhir, yang perlu diingat adalah keempat pilar ini tidak dapat dipisahkan,
apabila ada yang tidak terpenuhi dari yang empat tersebut maka suatu kampus
tersebut pun kurang efektif dalam aktivitas sehari-harinya.
Jikalau
kita kolerasikan atau hubungan dengan Tridharma Perguruan Tinggi, Pertama, untuk melakukan Pendidikan tidak bisa lepas dari Mahasiswa yang menjadi peserta
didik, Dosesn sebagai staf pengajar mahasiswa, Birokrasi sebagai tim manejerialnya
yang mengatur jalannya aktivitas-aktivitas di dalam kampus, dan Alumni, tidak
bisa dipungkiri sangat berperan dalam relasi keluar dan menjaga nama baik
kampus. Dalam mewujudkan akademik secara konkrit misalnya seperti diskusi,
seminar, menulis dan lain-lainya tidak bisa lepaslah 4 (empat) pilar kampus
tersebut.
Kedua, Penelitan,
semua pilar-pilar di atas sangat berperan dalam melaksankan penelitian di dalam
atau di luar kampus. Untuk melakukan penelitian tersebut yang sifatnya ilmiah
terntu memanfaatkan tenaga-tenaga yang ada di dalam kampus, terkhususnya
mahasiswa dan dosen beserta 2 (dua) pilar lainnya. Contoh, penelitian tentang
sesuatu hal itu dilakukan oleh Dosen/Staf Pengajar dengan menyertakan
mahasiswa-mahasiswa supaya menjadi bekal pengalaman bagi mahasiswa. Untuk
lancarnya suatu penelitian sangat perlu kiranya pendanaan untuk melengkapi
kebutuhan-kebutuhan yang sangat diperlukan saat melakukan penelitian, disinilah
perlunya peran Birokrasi yang mengatur pendanaan. Peran pilar terakhir (Alumni)
dapat memberikan relasi atau langsung menjadi objek penelitian pada suatu bidang
pekerjaan yang digelutinya (contoh: diperusahaan yang dipimpinya, dan kebetulan
alumni kampus tersebut) sehingga dari peran pilar terakhir ini memudahkan akses
dalam mendapatkan data-data yang akan diteliti.
Ketiga, Pengabdian Pada Masyarakat, maksudnya semua
pilar tersebut akan naik eksistensinya secara khusus dan nama kampus akan
dikenal dan menjadi kampus yang akan diminati banyak orang. Komponen ini akan
lebih mudah melakukan pengabdian pada masyarakat apabila saling menyatu. Budaya
akademik yang ilmiah pun terlihat di dalam kampus maupun di luar kampus.
Berjalannya
tridharma perguruan tinggi yang diperankan oleh 4 (empat) kampus tersebut tidak
lepas dari visi misi pendidikan dalam menopang pembangunan nasional dalam
bidang pendidikan tinggi dan mempersiapkan sumber-sumber daya manusia, dan
mewejudkan masyarakat yang berpendidikan dan berilmu pengetahuan. 4 (empat)
Pilar Kampus tersebut harus dijaga, jangan sampai putus, harus solid dan
menghindari krisis kepercayaan antar 4 (empat) Pilar Kampus yang mengakibatkan
rusaknya suatu budaya akademk baik secara fisiknya maupun sistem yang mengatur
di dalamnya.
Penutup sekaligus kesimpulan
Terkait
Tridharma Perguruan Tinggi, hal ini masih secara umum. Akan tetapi, dharma
secara khusus ada, yaitu dharma bagi kampus-kampus Islam. Dharma untuk
kampus-kampus Islam dari Tridharma (Tiga Kewajiban) menjadi Catur Dharma (Empat
Kewajiban), hanya ada satu penambahan dari tridharma yaitu adanya Dakwah
Islamiah.
Tridarma
ini atau Catur Dharma adalah tetap sama-sama mempunyai tujuan yang baik dan
untuk menopang pembangunan bangsa dan negara. Tridharma dan Catur Dharma
tersebut harus-harus tetap menjadi konsep suatu budaya akademik, yang secara
konkritnya dijalankan secara kegiatan-kegiatan ilmiah seperti menulis, berdisksui,
seminar, melakukan penelitian dan lainnya.
4
(empat) Pilar Kampus adalah mesin penggerakannya untuk mencapai tujuan suatu
pendidikan tinggi atau cita-cita idealisnya perguruan tinggi. Tanpa kompenen
ini, tridharma atau catur dharma tidak akan berjalan lancar. Kedua-kedua konsep
ini sudah menyatu dalam diri pilar-pilar tersebut. Tergantung kearah manakah
tujuan perguruan tinggi tersebut. Apabila tujuannya untuk membangun dan
memecahkan masalah sosial dan memberikan penyelesaiannya maka keadaan suatu kampus
dan masyarakat akan lebih baik. Alasannya, untuk mengisi masyarakat nyata
nantinya tentulah masyarakat mahasiswa saat ini. Keberadaan Undang-Undang
Pendidikan Tinggi tersebut sudah tepat solusinya, tinggal bagaimanakah kita
sebagai yang menjalankan mampu menyesuaikan diri dan mematuhi aturan-aturan
yang di dalamnya.
DAFTAR
BACAAN
Rusli
Karim, Mahasiswa Cendikiawan dan Masa
Depan, Offset Alumni, Bandung, 1987.
Franz
Magnis Suseno, Berfilsafat Dari Konteks,
PT. Gramedia Pustaka, Jakarta, 1992.
Sindhunata
(editor), Menggagas Paradigma Baru
Pendidikan, Kanisius, Yogyakarta, 2000.
Jaya
Sihaloho, Menegakkan Kredibilitas Kampus
Sebagai Agen Pembangunan, makalah disampaikan pada Diskusi Lesehan di HMI
Cabang Medan, Medan, 1991.
Pers
Mahasiswa UMSU “TEROPONG” ; Menumbuhkan
Mahasiswa yang Kreatif, Inovatif dan Islami, edisi X Desember 2011.
Pers
Mahasiswa FH UISU, Komunikasi Almamater,
Medan, No. 2 Agustus 1985.
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang
No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi
Undang-Undang
No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
[1] Undang-Undang No. 12 Tahun 2012
Tentang Pendidikan Tinggi
[2] Rusli Karim, Mahasiswa Cendikiawan dan Masa Depan, Offset
Alumni, Bandung, 1987, hal. 1.
[3] Franz Magnis Suseno, Berfilsafat Dari Konteks, PT. Gramedia
Pustaka, Jakarta, 1992, hal. 29.
[4]
Lihat Prembule (Pembukaan) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Kemudian diatur lebih lanjut dalam pasal 31.
[5] Undang-Undang No. 20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
[6] Rusli Karim, Mahasiswa Cendikiawan dan Masa Depan,
Offset Alumni, Bandung, 1987, hal. 1.
[7] Sindhunata (editor), Menggagas Paradigma Baru Pendidikan,
Kanisius, 2000, hal. 29.
[8] Ketua Predidium PMKRI Cabang
Medan Periode 1990-1991.
[9] Rusli Karim, Mahasiswa Cendikiawan dan Masa Depan,
Offset Alumni, Bandung, 1987, hal. 81.
[10] Pers Mahasiswa “TEROPONG” ;
Menumbuhkan Mahasiswa yang Kreatif, Inovatif dan Islami, edisi X Desember 2011,
UMSU-Medan, hal. 03.
[11] Rusli Karim, Mahasiswa Cendikiawan dan Masa Depan,
Offset Alumni, Bandung, 1987, hal. 81-82.
[12] Pers Mahasiswa FH UISU, Komunikasi Almamater, Medan, No. 2
Agustus 1985, hal. 38.
[13] Franz Magnis Suseno, Berfilsafat Dari Konteks, PT. Gramedia
Pustaka, Jakarta, 1992, hal. 29-30.
*Tulisan ini sebelum telah dimuat di Jurnal Fakultas Hukum UISU Medan dengan judul 4 PILAR KAMPUS WUJUDKAN BUDAYA AKADEMIK;Tinjauan atas UU. NO. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tingggi.
0 komentar:
Posting Komentar