EMPAT PILAR KAMPUS WUJUDKAN BUDAYA AKADEMIK

Jumat, 10 Februari 2017 0 komentar
Oleh : Ibnu Arsib Ritonga
Perguruan Tinggi suatu kata yang tidak asing lagi bagi kita sebagai insan-insan akademis, insan-insan yang melakukan aktivitasnya sehari-hari di dalam kampus, meningkatkan kualitasnya ke arah yang lebih berwawasan dan berilmu. Perguruan Tinggi memiliki ciri khas sebagai wadah bagi orang yang mengikuti jenjang pendidikan tinggi. Hakikat kehadirannya untuk menghasilkan kaum intelektual menimbulkan kredibilitas tersendiri dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia.
Lembaga pendidikan tinggi ini menjadi hal sangat berbeda dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya, yang membedakan lembaga pendidikan tinggi dengan lembaga pendidikan menengah misalnya, yaitu suatu keadaan dan kondisi di dalamnya jauh lebih keilmiahannya, kreativitas subjeknya, daya kritis dan inovatifnya dalam hal mengkaji keilmuan-keilmuan sehingga bisa menciprakan hal-hal baru serta hal-hal lainnya. Aktivitas ini menjadi suatu budaya yang akan membawanya menjadi lebih berkualitas secara pribadi dan kelompok, budaya ini disebut sebagai budaya akademik.
Jikalau kita lihat dari pengertian budaya akademik berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi disebutkan bahwa seluruh sistem nilai, gagasan, norma, tindakan, dan karya yang bersumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan asas Pendidikan Tinggi.[1]
Dapat dimengerti bahwa segala sistem dan seluruh  aktivitas yang dilakukan di dalam perguruan tinggi sudah barang tentu diatur dan dilakukan secara sistematis serta terorganisir yang bersumber dari ilmu pengetahuan dan untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Pelaksanaan tersebut tidak bisa mengesampingkan perkembangan kondisi zaman saat ini yang sudah dibarengi perkembangan informasi teknologi, maka seyogyanya perguruan tinggi menyesuaikan dirinya dengan perkembangan tersebut agar dapat mengontrol kemajuan itu juga dan tidak terpengaruh akan hal-hal negatifnya. Singkatnya seluruh aktivitas dilakukan secara ilmiah dalam mewujudakan budaya akademik di Perguruan Tinggi.
Budaya akademik ini harus ada dalam suatu perguruan tinggi, karena perguruan tinggi merupakan suatu instrumen yang tidak dapat dipisahkan dari suatu masyarakat yang akan melakukan modernisasi. Perguruan tinggi dipandang sangat berjasa dalam hal menyiapkan manusia-manusia yang sesuai dengan tuntutan peradaban yang sedang berkembang dalam suatu masyarakat tertentu.[2]
Senada dengan di atas bahwa budaya akademik yang ilmiah ini akan membiasakan masyarakat perguruan tinggi (kita sebutkan sivitas akademik) untuk hidup lebih teratur, sistematis dan karena dihasilkan dari perguruan tinggi, maka dia menjadi masyarakat itu sendiri yang mampu menjawab tantangan zaman atau kebutuhan zaman kedepannya dalam masyarakat tertentu. Budaya akademik akan melatih dirinya dalam berbuat sesuatu dengan penuh pertimbangan dan tidak sembarang saja.
Lantas siapakah yang mewejudkan budaya akademik tersebut dan secara konkritnya seperti apakah budaya akademik tersebut?. Untuk mewujudkan budaya (kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan) tersebut tentulah ada yang mengaktualisasikannya dan seperti apa konsep konkritnya budaya akademik itu. Pelaku-pelakunya tentun masyarakat perguruan tinggi itu juga, baik secara intra (dari dalam) maupun ekstra (dari dalam) ini kita sebutkan menjadi 4 (empat) Pilar Kampus, yang dimana 4 Pilar Kampus berpijakan pada nilai filosofis dari pada Tridharma Perguruan Tinggi dalam hal mewujudkan budaya akademik.

Tridharma Perguruan Tinggi Sarana Wujudkan Budaya Akademik
Tridharma Perguruan Tinggi suatu hal yang tidak asing lagi bagi kita, sebagai bagian dari pada masyarakat suatu lembaga pendidikan tinggi yang kita sering sebutkan dengan perkataan Universitas, Institut, Akademi dan lain-lain, jikalau kita lihat bahasa sehari-hari yaitu kampus. Tridharma ini menjadi suatu kewajiban bagi perguruan tinggi untuk diaktualisasikan setiap harinya.
Tridharma Perguruan Tinggi menjadi identitas suatu perguruan tinggi atau kampus dimana di dalamnya terdapat yakni Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat. Karena perguruan tinggi atau kampus adalah lembaga dan masyarakat ilmiah, maka tridharma perguruan tinggi dapat dikatakan dengan pendidikan ilmiah, penelitian ilmiah dan pengabdian secara ilmiah kepada masyarakat.
Jikalau dilihat secara bahasanya, Tridaharma berasal dari bahasa Sanksekerta yaitu “Tri yang artinya Tiga” dan “Dharma artinya Kewajiban), berarti dapat disimpulkan bahwa Tridharma Perguruan Tinggi itu ada tiga kewajiban.  Dijelaskan secara yuridis, dalam Undang-Undang Nomor. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan pada pasal 1 ayat (9) disebutkan bahwa tridharma adalah kewajiban Perguruan Tinggi untuk menyelenggarakan Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian. Dari ketiga inilah budaya akademik di dalam suatu perguruan tinggi dapat diaktualisasikan secara terus menerus.
Franz Magnis Suseno berpendapat sama tentang Tridharma Perguruan Tinggi, yaitu:
Salah satu sarana terhebat dalam usaha untuk memperbodoh bangsa adalah penggunaan slogan-slogan kosong. Sebuah faham yang bukan slogan kosong, melainkan malahan sebaiknya sangat tepat dan sebenarnya inspiratif adalah apa yang disebut Tridharma Perguruan Tinggi. Tridharma Perguruan Tinggi mengatakan bahwa perguruan tingga mempunyai tiga darma, jadi dipanggil untuk melakukan tiga macam kegiatan: pengajaran atau pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat. Tridharmu itu baik dan terpuji”.[3]


·      Pendidikan
Pendidikan adalah suatu hal yang sangat penting bagi kita dalam hidup bernegara, sebagai mahkluk sosial yang tidak bisa lepas dari masyarakat lainnya, dengan pendidikan ini akan memudahkan kita untuk berinteraksi satu sama lain, dengan pendidikan ini juga dapat merubah moral manusia maupun etika dalam aktivitas sehari-hari sehingga dapat dibedakan dengan makhluk lainnya. Dari itulah Indonesia sebagai negara yang berketuhanan, maka pendidikan itu bertujuan secara konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sehingga dapat melaksanakan ketertiban dunia.[4]
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara akatif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[5] Hal yang sama juga disebutkan di dalam pasal 1 ayat (1) UU. No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi.
Kampus sebagai lembaga pelaksana dari pada pendidikan (Pendidikan Tinggi) harus dapat memainkan peran untuk menjalankan pendidikan di kampus tersebut. Hovde mengatakan bahwa universitas adalah pusat kebebasan intelektual, sebagai lembaga yang mendorong untuk belajar, menemukan hal-hal baru, mengajar dan berdiskusi serta memberi kritik dimana perlu. Sebagai pusat pendidikan dan tempat mempersiapkan sumber-sumber tenaga manusia menurut Hovde, universitas perlu memberikan landasan moral, politik dan kemampuan kepada anak didiknya. Pakar lain berpendapat seperti Douglas S. Paauw berpendapat universitas adalah sarana kunci pembangunan suatu bangsa dan menjadi sumber manusia yang paling bermutu.[6]
Di samping itu dilihat dari segi pendidikan maka universitas atau kampus bertugas untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan dari tingkat yang lebih tinggi kepada mahasiswa yang pada gilirannya akan menerapkannya dalam masyarakat itu sendiri. Pendidikan Tinggi telah dipandang sebagai sarana utama dalam pembangunan nasional dan dalam kemajuan sosial apalagi kita lihat di era sekarang sudah penuh dengan kemajuan informasi teknologi.
Pendidikan yang dilakukan di dalam universitas atau kampus tidak sesederhana yang kita bayangkan. Pendidikan dikampus itu bukan hanya un sich di kelas saja. Pendidikan di suatu kampus harus lebih kreatif dan inovatif. Mahasiswa yang sebagai pesera didik tidak bisa mengharapkan seratus persen  ilmu pengetahuan didapatkan dari kelas tanpa ada usaha-usaha mandiri lainnya, seperti berdiskusi, seminar, menulis, membaca, melakukan penelitian dan bentuk kegiatan-kegiatan yang meningkatkan kualitas diri pribadi. Hal itu adalah budaya akademik dalam pendidikan.
Dalam makalah Mochtar Buchori berjudul Peranan Pendidikan dalam Pembentukan Budaya Politik di Indonesia yang bukukan oleh Sindhunata (editor) berpendapat dalam pendidikan itu harus ada orientasi, misalnya pendidikan itu harus mampu mengembangkan pola pikir yang baru, pola pikir yang tidak hanya memandang aspek kognitif saja.[7] Jelas bahwa kalau kita hubungkan dengan pendidikan yang diadakan di dalam kampus harus betul-betul menjadikan seluruh warga kampus insan-insan yang akademis, mempunyai pola pikir yang obyektif dan sikap moralitas yang terdidik. Melalui ide-ide pemikiran yang tajam karena didapatkan dari proses pendidikan maka budaya ilmiah ini menjadi kebiasaan sehari-hari dan kebudayaan dikampus semata-mata untuk kepentingan ilmu pengetahuan itu agar supaya dapat mencerdasakan bangsa sesuai amanah Pembukan UUD 1945.
Jaya Sihaloho[8] menyampaikan lewat makalahnya berjudul “Menegakkan Kredibilitas Kampus Sebagai Agen Pembangunan” pada saat Diskusi Lesehan yang diadakan oleh HMI Cabang Medan tahun 11 Februari 1991, Konsepsi pendidikan tinggi yang terangkum pada wawasan almamater dikatakan: “Perguruan Tinggi harus benar-benar merupakan lembaga ilmiah, sedang kampus harus benar-benar merupukan masyarakat ilmiah”. Kekhasan bercirikan ilmiah pada Perguruan Tinggi dan Kampus menunjukkan nilai lebihnya dari lembaga dan masyarakat lain.

·      Penelitian
Aspek kedua dari Tridharma perguruan tinggi adalah Penelitian (research), penelitian sangat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Lebih-lebih ilmu sosial, maka penelitian ini merupakan bahan baku yang dapat menopang akurasi dari ilmu sosial tersebut. Artinya dinamika masyarakat, baik vertikal maupun horizontal yang juga membawa perubahan itu jika tidak disertai dengan penelitian akan menimbulkan gap antara teori yang dituangkan dalam buku dengan kenyataan sosial di tengah-tengah masyarakat.[9] Apa lagi jika kita ingat bahwa teori-teori ilmu sosial yang kebanyak diimpor dari daerah luar maka kita sering menemukan masyarakat kita sering menimbulkan varian yang tidak relevan dengan teori yang ada.
Pada pasal 10 dalam UU. No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi, menyebutkan bahwa penelitian adalah kegiatan yang dilakukan menurut kaidah dan metode ilmiah secara sistematis untuk memperoleh informasi, data dan keterangan yang berkaitan dengan pemahaman dan atau pengujuian suatu cabang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Teori-teori yang kita dapat di dalam pendidikan tadi tidak selamanya benar atau benar akan teori itu tapi sudah tidak sesuai atau tidak relevan lagi. Data-data sebelumnya atau teori yang dikemukan dalam suatu buku bisa saja tidak cocok lagi dengan kondisi saat ini. Maka dari  itu perlu adanya penyegaran kembali terhadap ilmu pengetahuan yaitu melalui dilakukannya penelitian oleh masyarakat ilmiah itu (Dosen dan Mahasiswa).
Ada yang bergeser pada aspek ini dalam keshari-hariannya, tridharma yang kedua ini telah diamanahkan kepada seluruh masyarakat ilmiah atau warga kampus supaya menjalankan agar perguruan tinggi tersebut dapat melaksanakan pembangunan sumber daya manusia untuk persiapan generasi-generasi penerus. Aktivitas Penelitian saat ini jauh dari mahasiswa (mayoritas) atau sebagian dari dosen. Padahal niat baik pemerintah untuk melakukan penelitian telah mengeluarkan dukungannya terhadap kegiatan penelitian. Secara yuridis sudah di atur dalam aturan-aturan yang dibuat akan tetapi mahasiswa terkhususnya telah bergeser ke arah apatisan.
Jika dahulu mahasiswa sangat berperan aktif dalam berbagai kegiatan terkhusus dunia mahasiswa, bahkan pernah ikut andil dalam pergerakan besar kajatuhan tirani era reformasi. Kini mahasiswa telah menjadi organisme apatis terhadap kegiatan diluar perkualiahan, hingga program penelitian dan karya ilmiah pun terabaikan. Indeks Prestasi Komulatif (IPK) menjadi prioritas utama.[10] Padahal kalau terbiasa dengan melakukan budaya akademik ini (Penelitian) tentunya pola pikir akan berubah menjadi lebih kritis dan Keterbukaan Berpikir (open minded).
Mahasiswa, dalam usahanya memenuhi tuntutan Tridharma perguruannya pada umumnya kurang/belum memiliki kemampuan untuk menyelenggarakan penelitian. Kalaupun ada, maka jumlahnya masih kecil sekali. Yaitu bagi para mahasiswa yang diikutsertakan oleh dosennya pada proyek penelitian fakultasnya. Kelemahan seperti ini memang sulit dicarikan pemecahannya manakala para mahasiswa sendiri tidak pernah diikutisertakan pada penelitan di kancah. Kelemahan ini kecuali disebabkan oleh kurangnya praktek di kancah, juga merupakan konsekuensi logis dari sistem belajar di Perguruan Tinggi kita yang monolog, sehingga mahasiswa hanya mengandalkan abilitas dosen. Sehingga ketergantungan absolut kepada dosen itu menyebabkan para mahasiswa tidak/kurang kreatif dan tidak terampil dalam merumuskan dan merancangkan sesuatu problem atau dengan kata lain, mahasiswa kurang mampu mencarikan solusi terhadap sesuatu persoalan, how to solve the problem memang menghambat mahasiswa. Apa-apa yang dihadapinya selalu memintakan pemecahannya, setidak-tidaknya meminta pertimbangan kepada dosennya. Jadi faktor ketergantuan ini akan mempengaruhi kreativitas.[11]
Selain faktor di atas, kondisi saat ini ada faktor yang baru, yaitu faktor ketergantungan kepada mudahnya mengakses materi pengetahuan dari internet, selain ketergantungan pada dosen tadi sekarang bertambah ketergantungan kepada internet atau searching dari situs google. Mahasiswa dipermudah dengan hal itu semua, tidak ada lagi usaha pencarian yang mandiri untuk melakukan penelitian. Dengan kemudahan untuk mengakses informasi pengetahuan mengakibatkan kemandekan berpikir mahasiswa. Dalam hal inilah, penilitan-penelitian yang sudah diamanahkan Undang-undang harus diaktualisasikan.

·      Pengabdian Pada Masyarakat
Pengabdian pada masyarakat maksudnya adalah aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh warga perguruan tinggi/kampus dilakukan untuk masyarakat dan langsung dapat mereka rasakan manfaatnya dan ini menjadi dharma ketiga[12]. Pengabdian ini dilakukan bisa berbentuk kegiatan seperti adanya Praktek Kerja Lapangan (PKL) bidang pendidikan, ada istilah PPM (Pengabdian Pada Masyarakat) kegiatan akhir tahun kampus yang melibatkan seluruhnya, ada Bakti Sosial (Baksos), ada Penyuluhan Hukum atau bantuan hukum pada masyarakat, Kesehatan dan lain-lain. Hal itu adalah budaya akademik yang dikerjakan secara konkrit oleh perguruan tinggi.
Menurut Franz Magnis Suseno hal yang demikian tidaklah cukup. Usah-usaha itu tentu saja baik dan terpuji. Akan tetapi, kalau hanya itulah yang dianggap sebagai pengabdian masyarakat, universitas secara tidak langsung menyatakan bangkrut identitasnya. Universitas mengabdi kepada masyarakat dengan sebaik-baiknya apabila dia mampu mempersiapkan generasi-generasi penerus yang berkualitas (iron stock).[13]
Pada dasarnya pengebdian masyarakat bertujuan membantu masyarakat agar bisa memenuhi kebutuhannya sendiri. Pengabdian masyarakat dilakukan harus mampu menghasilkan output beruma masyarakat lebih mandiri dan bermanfaat bagi sumber daya yang ada. Sekarang ini sudah banyak organisasi intra dan ekstra kampus yang dipelopori oleh mahasiswa-mahasiswa sering melakukan pengabdian baik dalam hal skopnya yang masih kecil seperti Baksos pada pembersihan jalan hingga pada pengabdian memberikan pendidikan kepada masyarakat yang kurang mampu.
Pengabdian dilakukan oleh Perguruan Tinggi dapat membantu pembangunan nasional baik itu pembangunan  di bidang hukum misalnya dan yang lainnya. Dari pengabdian ini perguruan tingga dapat membantu pemerintah Indonesia dalam memecahkan masalah yang ada di dalam masyarakat.

Empat Pilar Kampus Penggerak Budaya Akademik/Tridharma Perguruan Tinggi.
Istilah 4 (empat) Kampus masih jarang kita dengar dalam tulisan-tulisan tentang kemahasiswaan, perguruan tinggi dan kajian-kajian kemahasiswaan lainnya. Penulis mengistilahkan ini terpikirkan dari 4 (empat) Pilar Bernegara dan Berbangsa yang pencetusnya paling dikenal yaitu Alm. Tuafik Kiemas-mantan Ketua MPR RI. Penulis belum menemukan istilah ini - 4 (empat) Pilar Kampus dimanapun, disini penulis bukan mengatakan sebagai pencetusnya. Kalau pun ada yang dahulu penulis akan ijin memakai istilah ini, istilah ini penulis cetuskan tahun 2012 ketika menuliskan selebaran mahasiswa.
Maksud penulis 4 (empat) Pilar Kampus tersebut adalah suatu komponen atau pondasi serta tiang-tiang yang tidak dapat dipisahkan dari suatu kampus. 4 (empat)  pilar ini harus saling mendukung satu sama lain, yang diikat dengan visi misi yang sama dalam memajukan pendidikan dan memajukan kampus yang ditempatinya. 4 (empat) Pilar Ini harus terorganisir dengan baik dan solid karena 4 (empat) Pilar ini menjadi penggerak jalannya budaya akademik di suatu perguruan tinggi.
4 (empat) Pilar Kampus tersebut yaitu : Mahasiswa, Dosen/Staf Pengajar, Biroksi Kampus, dan Alumni, tentunya kita sudah tahu apa pengertian dan tugas-tugas dari pada empat pilar tersebut. Dalam tulisan ini penulis tidak membahas lagi bagaimana itu mahasiswa, bagaimana itu dosen dan yang lainnya, aka tetapi fokus utama dalam tulisan ini adalah bagaimana jalannya budaya akademik yang sudah dijelaskan di atas dapat terlaksana dengan penggeraknya empat pilar tersebut.
Dalam urutannya, kita tidak dapat mengurutkannya mana yang pertama dan mana yang terakhir, yang perlu diingat adalah keempat pilar ini tidak dapat dipisahkan, apabila ada yang tidak terpenuhi dari yang empat tersebut maka suatu kampus tersebut pun kurang efektif dalam aktivitas sehari-harinya.
Jikalau kita kolerasikan atau hubungan dengan Tridharma Perguruan Tinggi, Pertama, untuk melakukan Pendidikan tidak bisa lepas dari Mahasiswa yang menjadi peserta didik, Dosesn sebagai staf pengajar mahasiswa, Birokrasi sebagai tim manejerialnya yang mengatur jalannya aktivitas-aktivitas di dalam kampus, dan Alumni, tidak bisa dipungkiri sangat berperan dalam relasi keluar dan menjaga nama baik kampus. Dalam mewujudkan akademik secara konkrit misalnya seperti diskusi, seminar, menulis dan lain-lainya tidak bisa lepaslah 4 (empat) pilar kampus tersebut.
Kedua, Penelitan, semua pilar-pilar di atas sangat berperan dalam melaksankan penelitian di dalam atau di luar kampus. Untuk melakukan penelitian tersebut yang sifatnya ilmiah terntu memanfaatkan tenaga-tenaga yang ada di dalam kampus, terkhususnya mahasiswa dan dosen beserta 2 (dua) pilar lainnya. Contoh, penelitian tentang sesuatu hal itu dilakukan oleh Dosen/Staf Pengajar dengan menyertakan mahasiswa-mahasiswa supaya menjadi bekal pengalaman bagi mahasiswa. Untuk lancarnya suatu penelitian sangat perlu kiranya pendanaan untuk melengkapi kebutuhan-kebutuhan yang sangat diperlukan saat melakukan penelitian, disinilah perlunya peran Birokrasi yang mengatur pendanaan. Peran pilar terakhir (Alumni) dapat memberikan relasi atau langsung menjadi objek penelitian pada suatu bidang pekerjaan yang digelutinya (contoh: diperusahaan yang dipimpinya, dan kebetulan alumni kampus tersebut) sehingga dari peran pilar terakhir ini memudahkan akses dalam mendapatkan data-data yang akan diteliti.
Ketiga, Pengabdian Pada Masyarakat, maksudnya semua pilar tersebut akan naik eksistensinya secara khusus dan nama kampus akan dikenal dan menjadi kampus yang akan diminati banyak orang. Komponen ini akan lebih mudah melakukan pengabdian pada masyarakat apabila saling menyatu. Budaya akademik yang ilmiah pun terlihat di dalam kampus maupun di luar kampus.
Berjalannya tridharma perguruan tinggi yang diperankan oleh 4 (empat) kampus tersebut tidak lepas dari visi misi pendidikan dalam menopang pembangunan nasional dalam bidang pendidikan tinggi dan mempersiapkan sumber-sumber daya manusia, dan mewejudkan masyarakat yang berpendidikan dan berilmu pengetahuan. 4 (empat) Pilar Kampus tersebut harus dijaga, jangan sampai putus, harus solid dan menghindari krisis kepercayaan antar 4 (empat) Pilar Kampus yang mengakibatkan rusaknya suatu budaya akademk baik secara fisiknya maupun sistem yang mengatur di dalamnya.

Penutup sekaligus kesimpulan
Terkait Tridharma Perguruan Tinggi, hal ini masih secara umum. Akan tetapi, dharma secara khusus ada, yaitu dharma bagi kampus-kampus Islam. Dharma untuk kampus-kampus Islam dari Tridharma (Tiga Kewajiban) menjadi Catur Dharma (Empat Kewajiban), hanya ada satu penambahan dari tridharma yaitu adanya Dakwah Islamiah.
Tridarma ini atau Catur Dharma adalah tetap sama-sama mempunyai tujuan yang baik dan untuk menopang pembangunan bangsa dan negara. Tridharma dan Catur Dharma tersebut harus-harus tetap menjadi konsep suatu budaya akademik, yang secara konkritnya dijalankan secara kegiatan-kegiatan ilmiah seperti menulis, berdisksui, seminar, melakukan penelitian dan lainnya.
4 (empat) Pilar Kampus adalah mesin penggerakannya untuk mencapai tujuan suatu pendidikan tinggi atau cita-cita idealisnya perguruan tinggi. Tanpa kompenen ini, tridharma atau catur dharma tidak akan berjalan lancar. Kedua-kedua konsep ini sudah menyatu dalam diri pilar-pilar tersebut. Tergantung kearah manakah tujuan perguruan tinggi tersebut. Apabila tujuannya untuk membangun dan memecahkan masalah sosial dan memberikan penyelesaiannya maka keadaan suatu kampus dan masyarakat akan lebih baik. Alasannya, untuk mengisi masyarakat nyata nantinya tentulah masyarakat mahasiswa saat ini. Keberadaan Undang-Undang Pendidikan Tinggi tersebut sudah tepat solusinya, tinggal bagaimanakah kita sebagai yang menjalankan mampu menyesuaikan diri dan mematuhi aturan-aturan yang di dalamnya.





DAFTAR BACAAN
Rusli Karim, Mahasiswa Cendikiawan dan Masa Depan, Offset Alumni, Bandung, 1987.

Franz Magnis Suseno, Berfilsafat Dari Konteks, PT. Gramedia Pustaka, Jakarta, 1992.

Sindhunata (editor), Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, Kanisius, Yogyakarta, 2000.

Jaya Sihaloho, Menegakkan Kredibilitas Kampus Sebagai Agen Pembangunan, makalah disampaikan pada Diskusi Lesehan di HMI Cabang Medan, Medan, 1991.

Pers Mahasiswa UMSU  “TEROPONG” ; Menumbuhkan Mahasiswa yang Kreatif, Inovatif dan Islami, edisi X Desember 2011.

Pers Mahasiswa FH UISU, Komunikasi Almamater, Medan, No. 2 Agustus 1985.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi

Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.




[1] Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi
[2] Rusli Karim, Mahasiswa Cendikiawan dan Masa Depan, Offset Alumni, Bandung, 1987, hal. 1.
[3] Franz Magnis Suseno, Berfilsafat Dari Konteks, PT. Gramedia Pustaka, Jakarta, 1992, hal. 29.
[4] Lihat Prembule (Pembukaan) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kemudian diatur lebih lanjut dalam pasal 31.
[5] Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
[6] Rusli Karim, Mahasiswa Cendikiawan dan Masa Depan, Offset Alumni, Bandung, 1987, hal. 1.
[7] Sindhunata (editor), Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, Kanisius, 2000, hal. 29.
[8] Ketua Predidium PMKRI Cabang Medan Periode 1990-1991.
[9] Rusli Karim, Mahasiswa Cendikiawan dan Masa Depan, Offset Alumni, Bandung, 1987, hal. 81.
[10] Pers Mahasiswa “TEROPONG” ; Menumbuhkan Mahasiswa yang Kreatif, Inovatif dan Islami, edisi X Desember 2011, UMSU-Medan, hal. 03.
[11] Rusli Karim, Mahasiswa Cendikiawan dan Masa Depan, Offset Alumni, Bandung, 1987, hal. 81-82.
[12] Pers Mahasiswa FH UISU, Komunikasi Almamater, Medan, No. 2 Agustus 1985, hal. 38.
[13] Franz Magnis Suseno, Berfilsafat Dari Konteks, PT. Gramedia Pustaka, Jakarta, 1992, hal. 29-30.


*Tulisan ini sebelum telah dimuat di Jurnal Fakultas Hukum UISU Medan dengan judul 4 PILAR KAMPUS WUJUDKAN BUDAYA AKADEMIK;Tinjauan  atas UU. NO. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tingggi.

0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Ibnu Arsib Ritonga | TNB