Oleh : Ibnu Arsib Ritonga*
Dalam kesempatan kali ini, kita tidaklah membahas lagi secara luas
apa itu mahasiswa, bagaimana itu mahasiswa, dan apa peran serta fungsi
mahasiswa? Tridharma Perguruan Tinggi (Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian)
dan Caturdharma Perguruan Tinggi (Tridharma Perguruan Tinggi + Dakwah Islamiah)
bukan juga kajian utama kali ini.
Fokus diskusi singkat kali ini adalah kita akan membahas suatu
sikap berpikir seseorang mahasiswa di Indonesia masa kini mulai dari Sabang
hingga Marauke. Dalam pembahasan, kita
tidaklah mendiskusikan data mahasiswa yang berjumlah ± 5,3 Juta diseluruh
Indonesia yang kurang terlihat perannya atau pembahasan kita kali ini tidaklah
memusatkan pada kajian statistik. Pembahasan kali ini berdasarkan atau
berangkat dari pemikiran nilai filosofis dan historis mahasiswa yang menurut penulis
sudah hilang pada masa kini.
Banyak aktivis mahasiswa masa kini atau masa dahulu bertanya tentang
kenapa dengan mahasiswa saat ini, kenapa hedonisme atau apatisme sangat
menghantui mahasiswa, yang akibatnya hilang daya nalarnya, daya kritis yang
dimilikinya sebagai ciri utama dalam membela kepentingan orang banyak dan
memegang teguh idealismenya. Hal ini menjadi bahan dasar ketika ada
diskusi-diskusi tentang mahasiswa. Ada
beberapa hal yang terlebih dahulu kita bahas sebelum memasuki pada pembahasan
inti sesuai dengan judul tulisan di atas.
Pasal I : Sistem Pendidikan yang Kurang Membangun
Yang kita maksud dengan hal di atas adalah Sistem pendidikan
nasional dan atau sistem pendidikan tinggi baik itu yang dikeluarkan pemerintah
ataupun sistem pendidikan yang dikeluatkan oleh perguruan tinggi itu sendiri.
Sistem pendidikan inilah yang menggiring sesuatu pada tujuan yang sudah
ditentukan. Akankah ada pengaruhnya terhadap pertumbuhan atau perkembangan
mental seorang mahasiswa? Tanpa kita sadari, sistem kurang membangun telah memenjarakan kita dan
itu adalah sistem yang tidak memerdekakan mahasiswa. Dengan sistem yang kurang
tepat maka orientasi dari pada pendidikan itupun akan kurang tepat pula.
Kita berangkat dari sejarah perjalanan sistem pendidikan tinggi
Indonesia, sebelum kemerdekaan Indonesia, tentunya dalam pengaruh kolonialisme
Belanda ada persaingan dalam melaksanakan pendidikan, yaitu satu pendidikan
yang dikelola oleh Belanda, mempunyai misi supaya mahasiswanya berideologi
Barat dan menyebarkan budaya-budaya
Barat yang kita kenal dengan istilah Westernisasi
(Nurcholish Madjid dalam bukunya Islam, Kemodernan dan
KeIndonesiaan) dan pendidikan yang lain dikelola oleh asli pribumi
Indonesia atau para
ulama-ulama/tokoh-tokoh agama yaitu lembaga pendidikan yang berbasis agama.
Pendidikan Islam ini gigih membina pelajar-pelajarnya untuk memegang teguh
agama (religius), menumbuhkan
kecintaan pada negara dan bangsanya (nasionalisme).
Singkatnya, setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945 dan masuklah
Indonesia pada masa transisi. Kemerdekaan ini tidak lepas dari pada peran
pemuda dan sebagain sekaligus sebagai mahasiswa yang dahulu dididik atau
disekolahkan oleh bangsa kolonial ke negaranya. Seperti kita lihat Bung Hatta, M. Yamin yang kuliah di
Belanda, dan Ir. Soekarno kuliah
dilembaga pendidikan tinggi yang didirikan oleh Belanda, yang sekarang kita
kenal dengan ITB (Institut Teknologi Bandung).
Setelah kemerdekaan itu, kampus-kampus yang didirikan oleh Belanda
itu mengganti namanya dan menyesuaikannya dengan kondisi. Perguruan Tinggi
Islam pun mulai banyak didirikan sebagai bentuk penunjukan bahwa Islam di
Indonesia juga bisa melahirkan kaum-kaum Muslim-intelektual, setelah perubahan
kampus-kampus Islam tersebut berubah namanya atau sistemnya, kita lihat
misalanya ada Sekolah Tinggi Islam (STI) di Yogyakarta berganti nama menjadi
Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Universitas Islam Bandung
(UNISBA), di Medan kampus Islam tertua di luar pulau jawa yaitu Universitas
Islam Sumatera Utara (UISU), Universitas Muslim Indonesia Makasar (UMI), Universitas
Islam Riau (UIR) dan kampus-kampus Islam lainnya.
Dari kampus-kampus tersebut lahirlah mahasiswa-mahasiswa yang luar
biasa dan mempunyai karakter, sehingga dapat mengisi serta membangun Indonesia
ini. Hari ini masih dapat kita rasakan, mahasiswa-mahasiswa brilian tersebut
lahir dari sistem yang membangun dan sistem yang diciptakan adalah untuk
orientasinya yang lurus yaitu untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan
pembangunan bangsa. Sistem-sistem yang ada di kampus Islam adalah menentang
sistem-sistem yang ada di kampus sekuler, sehingga dinamikanya membangun pola
pikir setiap masyarakat kampus.
Menjelang akhir kepemimpinan Ir. Soekarno, dinamika politik
nasional mempengaruhi segala kebijakan yang ada di Indonesia, ditambah dengan
adanya polemik ditubuh pemerintahan sendiri dan di luar pemerintahan, sehingga
puncaknya adalah pembunuhan Jenderal-jenderal oleh kelompok-kelompok komunis
dan secara ekonominya terjadi krisis moneter sehingga menyengsarakan rakyat.
Dengan kondisi negara pada masa itu, negara diambil alih oleh
militer yang dipimpin Jenderal Soeharto
untuk menertibkan negara dengan legalitas surat perintah, yang terkenal
namanya dengan “Surat Perintah Sebelas
Maret (Sepersemar)”. Terjadi masa transisi kedua kali di Indonesia.
Mahasiswa pada saat itu langsung turun untuk memprotes Ir. Soekarno dengan
slogan Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat)
yaitu turunkan harga sembako, turunkan Soekarno dan bubarkan Partai Komunis
Indoneisa. Gerakan ini tidak lepas dari pada pengaruh kepentingan militer.
Dapat kita lihat secara nyata peran mahasiswa pada saat itu, kemudian
Pemerintahan Indonesia pun berada ditangan Soeharto.
Di masa pemerintahan Soeharto, perguruan tinggi dan mahasiswa mulai
dipenjara oleh sitim nasional dalam pendidikan tinggi. Perguruan tinggi yang
sebagai gudang ilmu pengetahuan berkurang independensinya, kampus harus sesuai
dengan kemauan pemerintah dengan dalih demi pembangunan nasional. Pada tahun
1970-an dibuatlah sistem NKK (Normalisasi Keadaan Kampus), dan NKK tersebut
disosialisasikan dengan cepat.
Sistem baru itu pun mulai terlihat di kampus, dahulu kita lihat
sistem yang dibuat oleh Belanda dan pada awal tahun 70-an keluarlah sistem NKK
oleh Soeharto. Dengan keadaan ini, kampus tidak lagi kritis terhadap kondisi
masyarakat atau negara, kampus sudah mulai vakum atau sudah hilang perannya
untuk mengatakan hal-hal yang benar, dan mahasiswa pada saat itu terbelenggu.
Tidak jarang mereka dipukuli ketika mengkritisi kebijakan kampus, kebijakan
pemerintah dan mendapat tekanan psokologis lainnya.
Bukti sejarahnya adalah gagalnya gerakan mahasiswa pada awal tahun
1974 yang dikenal dengan tragedi Malari (Malapetaka Lima belas Januari), yang
ditokohi oleh Hariman Siregar dan kawan-kawan. Gerakan yang dilakukan oleh
mahasiswa pada masa itu mengalami kegagalan. Mahasiswa terus terbelenggu dengan
status qou yang ada dan kemudian ada
sistem baru lagi yaitu BKK (Badan Koordinasi Kampus) dan ditubuh mahasiswa
sendiri dibentukannya suatu organisasi semi kemiliteran yaitu Resimen Mahasiswa
atau lebih akrab disapa Menwa.
Babak baru era di Indonesia mulai muncul, keadaan yang membosankan
dan keterbelengguan yang dirasakan mahasiswa, pemerintah yang otoriter ditambah
dengan keadaan kondisi sosial yang semakin susah dikarenaka krisis ekonomi
militer menyerang Indonesia. Suatu tuntutan terhadap era Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto menjadi sasaran,
isu-isu reformasi dan demokrasi mulai dikumandangkan dari pusat-pusat kota
hingga sampai ke pelosok desa.
Pada bulan Mei 1998, akibat desakan mahasiswa pemerintahan Soeharto
turun dari tahtanya, lagi-lagi kita lihat peran mahasiswa sangat besar. Soeharto
mengumumkan bahwa sanya dia berhenti menjadi Presiden Indonesia susudah menjabat
selama 32 tahun. Pemerintahan Indonesia pun setelah berhentinya Soeharti maka
dipimpin oleh B.J. Habibie yang awalnya sebagai Wakil Presiden Soeharto. Tidak
lama menjabat, hanya kurang lebih dua
tahun. Dengan rapat Majelis Pemusyawaratan Rakyat kemudian terpilihlah presiden
keempat yang dimenangkan oleh Abdurrahman Wahid setelah bersaing dengan
Megawati Soekarno Putri. Setelah Abdurrahman Wahid yang lebih akrab disapa Gus
Dur selesai masanya, maka hasil sidang MPR memutuskan Presiden Indonesia
selanjutnya diamanahakn kepada Megawati Soekarno Putri yang sebelumnya menjadi
wakilnya Gus Dur dan kemudian terpilih pertama kali presiden Indonesia secara
demokrasi pada tahun 2004, Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo pada tahun
2014.
Kalau kita lihat di jaman pemerintahan SBY, NKK dan BKK ditiadakan
secara nama. Akan tetapi, sistem ini masih dihidupkan dengan formulasi yang
baru. Sistem yang dibangun lain dengan jaman Soeharto akan tetapi tujuannya
tetap supaya mahasiswa apatis, hedon dan daya kritisnya hilang. Di kampus
sendiri, tetap ada Sistem Kredit Semester yang dikenal dengan SKS dan adanya
penentuan jatah waktu kuliah. Waktu kuliah sudah dibatasi, apabila lewat batas
mahasiswa kuliah maka akan dikenakan sanksi. Sistem belajarnya sudah sistem
utang dengan sistem bobot SKS yang ditentukan. Sistem ini tidak memerdekakan
mahasiswa, sehingga mahasiswa hanya fokus utamanya kuliah, SKS dan cepat tamat.
Masih ada sistem-sistem yang lainnya hingga diperiode Jokowi sekarang begitu
juga.
Setelah sistem itu dibangun disetiap kampus, baik berstatus negeri
maupun swasta, jumlah kehadiran pun dihitung dengan kebijakan kampus, bahkan
nilai mahasiswa akan diambil sebagian dari kehadiran. Bukan lagi murni dari
wawasan dan hasi penelitian mahasiswa. Terlihat apabila kampus itu seperti ini,
maka produk yang dihasilkannya adalah robot-robot berjalan. Mahasiswa ketakutan
kalau tidak hadir dan masih banyak kita temui mahasiswa menganggap bahwa kampus
adalah sekolah. Disamping itu juga ada jargon dari luar, yaitu "Cepat Tamat dan Cepat Kerja",
dengan adanya jargon ini mahasiswa kuliah bukan lagi atas dasar cita-citanya
kedepan atau untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Akan tetapi, kuliah, cepat
tamat dan cepat kerja di mana pun itu.
Pasal II : Gagal Paham
Gagal paham dalam pembahasan kedua ini maksudnya adalah tidak
dapatnya kampus dan khususnya mahasiswa mengetahui dirinya sendiri untuk apa
kuliah dan bagaimana mahasiswa itu. Tingkat pemahaman yang lemah akan
pengetahuan ini memudahkan masuknya pengaruh negatif ke dalam pikirannya. Masih
ada mahasiswa yang menganggap kampus itu adalah sekolah. Berpikiran bahwa
kampus hanya tempat belajar saja, ketika ada tugas kuliah sedikit sekali yang
mencari bahan di perpustakaan. Saat ini, dengan kemudahan tekhnologi komunikasi,
mahasiswa lebih suka yang praktis atau instan dengan meng-copy paste tulisan orang lain dari internet.
Gagal paham yang terjadi di dalam diri mahasiswa, memudahkan sistem
yang bobrok tadi meracuni pikirannya, targetnya supaya tidak mengerti hakikat
kuliah dan hakikat menjadi seorang mahasiswa. Saat ini, mayoritas mahasiswa
kuliah hanya mengejar kesuksesan, bukan lagi ilmu pengetahuan atau supaya
berjiwa besar. Paham kesuksesan itu diartikan secara materialistik sehingga
slogan cepat tamat dan cepat kerja adalah orientasi pertamanya. Kuliah hanya
untuk mencari nilai dan supaya cepat tamat.
Konsep berpikir yang positif dalam diri seorang mahasiswa sudah
berkurang, berdiskusi yang seharusnya menjadi budayanya kurang diminati lagi.
Konsep berpikir seorang mahasiswa, seperti yang dikatakan Achir Fahruddin dalam tulisannya
"Konsep Berpikir Seorang Mahasiswa",
menyebutkan bahwa konsep berpikir seorang mahasiswa ada tiga, yaitu etika, logika dan estetika.
Konsep ini sungguh sangat luar biasa apabila dapat dimaknai dalam aplikatisi
pada kehidupan seorang mahasiswa. Nilai-nilai filosofis yang terkandung di
dalamnya sangat cocok untuk peningkatan kualitas potensi mahasiswa, supaya
tidak terjadi gagal paham terhadap mahasiswa.
Dari gagal paham ini, akan memperendah kualitas kreativitas seorang
mahasiswa. Mahasiswa yang dituntut sebagai pencipta, sekarang telah diciptakan
atau dicetak menjadi robor-robot pekerja untuk suatu perusahaan. Tidak ada lagi
orientasinya untuk menjadi ilmuwan, dia masuk jurusan eksak supaya dapat
diterima di perusahaan-perusahaan, jadi pengacara supaya dapat keuntungan sudah
seperti kolektor atau calo, mau menjadi politisi supaya terlihat hebat, mau
menjadi pengusaha supaya menjadi kaya dan segala cara akan dihalalkan, dan
lain-lain. Semua orientasinya kurang tepat, hanya sedikit yang lurus. Sedikit
sekali mahasiswa kuliah untuk kepentingan ilmu pengetahuan, dapat kita buktikan
seberapa persen mahasiswa Indonesia yang sering melakukan penelitian atau
mengembangkan tradisi-tradisi intelektual.
Normativisme Mahasiswa Indonesia Masa Kini
Dari dua pasal pembahasan tadi, kiranya bisa menghantarkan kita
pada inti pembahasan kali ini. Dari dua pasal tersebut, membuat pemikiran
mahasiswa mandek dan tidak ada arah yang membangun, hanya mengikuti apa yang
sudah ada dalam sistem, tidak ada daya nalar dan daya kritis, hal itu kita
sebut “Normativisme Mahasiswa”.
Tanpa pengetahuan atau akibat gagal paham, mengakibatkan mahasiswa
tidak ada pemahaman dan bepengaruh pada tindakannya. Sikap berpikirnya seorang
mahasiswa hanya menurut apa yang seharusnya, tidak mau berpikir bagaimana
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi 5 (lima) tahun kedepan, 10 (sepuluh)
tahun, 50 (lima puluh) tahun kedepan dan atau 1 (satu) abad kedepan. Mahasiswa
harus juga memikirkan bagaimana solusi, apa yang harus diperbuat atau
dipersiapkan, mengingat zaman sekarang sudah modern. Zaman yang didominasi
informasi tekhnologi. Sikap berpikir normatifisme ini adalah mendangkalkan
pikiran supaya tidak berpikir kedepan, hanya pada saat ini saja yang
dipikirkannya, padahal perubahan itu terus terjadi. Apa yang ada sekarang akan
berubah pada yang akan datang. Normatifisme ini juga dapat berakibat jauh lebih
buruk lagi dari pada itu.
Dengan sikap tersebut, mahasiswa akan mengalami
kekecewaan-kekecewaan terhadap apa yang dipelajarinya ternyata tidak sesuai
dengan apa yang diharapkannya atau apa yang ada pada saat praktek. Maka dengan
normatifisme tersebut akan dengan mudah mendorong orang ke arah mental
radikalistik yang tidak membangun. Ditambah dengan perasaan putus asa dan kalah
bersaing, normatifisme akan menjerumuskan ke arah tindakan-tindakan atau sikap
destruktif.
Dalam teori sejarah mengatakan, hari ini adalah hasil dari pada
proses masa lalu, masa sekarang akan menentukan masa yang akan datang. Saat
ini, kita kuliah, belajar, melakukan penelitian dan menciptakan, itu adalah
untuk proses kita di masa yang akan datang beserta untuk anak cucu kita. Di
masa yang akan datang akan ada lagi generasi-generasi yang harus dijaga. Hal
itu tentunya dapat dijaga dengan mewariskan ilmu-ilmu pengetahuan atau
ajaran-ajaran yang benar.
Normativisme ini datang dari sistem-sistem pendidikan yang tidak
membangun dan gagal paham mahasiswa. Tujuan-tujuan sistem itu adalah pemenuhan
nisbi. Gagal paham pada mahasiswa harus disadarkan, bagi yang ingin merubah
budaya hedonis dan apatis yang telah merasuki mahasiswa bisa dilakukan dengan
usaha-usaha penyadaran secara terus menerus. Kita sadar memang betapa hancurnya
peradaban mahasiswa saat ini, tradisi-tradisi intelektual kalah bersaing dengan
tradisi-tradisi hedonisme. Lihat saja kampus-kampus yang ada diseluruh
Indonesia ini, mayoritas disekeliling kampus itu telah banyak pemenuhan sarana-prasarana
untuk budaya hedonis tersebut. Contoh riilnya adalah ± 100 meter dari kampus
ada cafe, mall, tempat karokean,di depan atau di samping kampus banyak jualan
paket pulsa yang mempermudah atau merasuki keapatisannya karena sudah candu
terhadap media sosial online.
Akhirnya saat seseorang mahasiswa selesai kuliah terjadi penyesalan
pada dirinya, kenapa tidak betul-betul fokus dibidangnya, sadar bahwa dia
dahulu terlalu apatis dan hedonis, sehingga dia merasa sendiri dalam
kehidupannya. Dari pemikirannya tersebut, ditambah saat ini sulitnya mencari
pekerjaan, membuat dia menerima segala bidang pekerjaan, dalam pikirannya yang
penting bekerja.
Kesalahan dari awal sebelum kuliah terlihat pada diri sendiri, sewaktu
hendak mau kuliah tidak betul-betul memikirkan bidang keilmuan apa yang dminati
dan yang harus diperdalam. Terhadap orang tua juga, harus berperan
memperhatikan bagaimana potensi pada anak-anaknya untuk supaya tidak terjebak
dalam konsep berpikir dan bertindak yang salah.
*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum UISU Medan
Sumber gambar ilustrasi: http://if99.net/
0 komentar:
Posting Komentar