Karna Kita Masih Bodoh

Selasa, 17 Januari 2017 0 komentar
Oleh: Ibnu Arsib Ritonga*
Beberapa hari yang lewat, di awal-awal tahun 2017, di Perpustaan Umum Universitas Islam Sumatera Utara (UISU). Aku sedang asyik melahap lembaran demi lembaran tulisannya Ahmad Tohari, yang berjudul "Berhala-Berhala Kontemporer". Menjelang shalat Ashar, seorang pegawai penjaga perpustakaan yang begitu ramah mendekati meja di mana aku sedang asyik berdiskusi dengan Ahmad Tohari. Si Bapak penjaga perpus mendekatiku dengan celotehannya padaku, "Kalau kayak kau banyak di Indonesia ini, kita pasti sudah maju".

"Kenapa begitu pak?" tanyaku penasaran.

"Majunya suatu negara karena masyarakatnya rajin membaca. Lihat India, di sana ada perpustakaan yang buka selama 24 jam, kalau kita pigi dari tempat duduk sebentar saja, hilang tempat duduk kita".

Aku pun bingung, apa maksud si Bapak mengatakan 'hilang tempat duduk kita'.

"Kenapa gitu pak, maksudnya hilang gimana itu pak?" Aku bertanya penasaran.

" Iya,...sangkin banyaknya orang yang ingin membaca buku di sana, sampai-sampai kursi untuk tempat duduk bisa kurang". Berkata demikian dengan logat Medan.

Aku tak tahu pasti, apakah yang dikatakan si Bapak itu benar memang secara realitanya. Aku tak bertanya pula dari mana itu datanya. Aku hanya dapat tersenyum saat dia menjelaskan atau tepatnya mengeluarkan celotehan kekesalannya kerena lemahnya masyarakat Indonesia untuk membaca, terkhsusunya generasi muda Indonesia. Si Bapak pun terus membandingkannya dengan masyarakat Jepang yang sangat gemar membaca, dan masyarakat Eropa.

"Kita, negara kita ini tak maju-maju bukan karena korupsi. Bukan....(dia diam sejenak), Bukan karena korupsi". Raut keriput wajahnya terlihat nampak serius.

" Terus karena apa pak?". Aku semakin penasaran, bagaimana argumentasi si Bapak itu dalam menyikapi keadaan atau kondisi Indonesia saat ini. Aku ingin tahu sekali dari versi si Bapak, apa penyebab negara Indonesia ini tak maju-maju yang usia kemerdekaannya sudah cukup tua.

" Negara kita ini tak maju....(dia kembali terdiam sejenak), karena kita sebagai rakyatnya masih banyak yang bodoh, tak mau banyak membaca buku, koran, atau apalah itu, tak mau banyak-bayak menimba ilmu. Kok sampai sekarang kita belum bisa menciptakan Kreta (bahas di Medan, 'Kreta' maksudnya adalah Sepeda Motor)? Lihat India, Cina, Jepang, apalagi Amerika Serikat, kenapa mereka dapat membuat sendiri? Kenapa Indonesia yang sudah lama merdeka tak bisa? Itu karena kita masih 'bodoh'. Entah apa kerjaan generasi muda Indonesia saat ini, tidak betul-betul belajar, kuliah asal-asalan, jadi sarjana asal-asalan. Entah apa kerjaan tenaga-tenaga pengajar Indonesia saat ini, gaji besar kurang besar". Si Bapak terlihat begitu kesal, tingkat kemarahannya, kekecewaannya terlihat dari celoteh-celotehnya.

" Bagaimana kita ke depannya ini?". Tanya si Bapak.

" Kita optimis aja pak, pasti ada perubahan". Jawabku untuk memberikan semangat.

" Iya, kapan itu. Mana generasi muda Indonesia kita yang mau betul-betul memajukan negara ini?". Suaranya terdengar agak keras, suara itu mengundang perhatian mata para pegawai perpustakaan launnya yang tertuju pada kami berdua. Waktu itu, hanya aku sendiri mahasiswa di dalam ruangan. Aku pun tak punya kata-kata apologi untuk membela generasi muda Indonesia saat ini. Mulutku terpaku bisu.

" Lihat, Hekter (suatu benda) ini pun di buat oleh Jepang, mau kau kutunjukkan tulisannya, made in Japan". Si Bapak bersuara gusar, entah kepada siapa, sembari menunjukkan barang tersebut padaku.

" Tak usah pak, aku sudah pernah melihatnya". Ku coba untuk menolaknya. Tapi tetap dia menunjukkannya padaku.

" Aneh negara kita ini, sampai kapan seperti ini? Kita punya sumber daya alam, kaya minyak bumi, gas, kaya emas, kaya uranium, tapi kenapa dikuasai oleh pihak orang lain. Bagaimana ini?". Suaranya mulai menghilang meninggalkan meja yang aku tempati. Suaranya terdengar samar-samar, dia menjauh dariku kemudian mendekati meja pegawai-pegawai lain.

Pada perkataannya yang terakhir itu, aku pun ingin sekali banyak mempertanyakan penjelasan argumennya yang terakhir. Argumen terakhir itu, banyak mengundang peryanyaan-pertanyaan yang harus dikaji. Si Bapak tidak ingin memperpanjang diskusi, mungkin dia tidak ingin menggangguku yang lagi sedang asyik berdiskusi dengan Ahmad Tohari.

Aku melanjutkan aktivitasku menghabisi lembaran-lembaran kertas yang ada di tanganku. Tulisan-tulisan Bang Ahmad Tohari (panggilan akrab dari Medan) sangat bagus dan dapat memberikan motivasi dan juga sangat menginspirasi.

Dari tangannya yang dingin telah banyak menghasilkan karya-karya tulis yang membuat hati sejuk, terkadang meronta-ronta dengan dengan keadaan sosial yang ironik yang digambarkan dalam tulisan-tulisannya, terkhususnya yang sedang aku baca waktu itu.

Sedang asyik dengan aktivitasku bersama Bang Tohari, suara si Bapak kembali mengejutkanku, "Siap-siap, sebentar lagi kita mau shalat Ashar, habis shalat kita tutup". Aku pikir dia mau mengajak berdiskusi lagi.

"Iya pak". Aku percepat membaca yang tinggal hanya beberapa lembar lagi. Suara Adzan terdengar dekat dari Masjid Al-Jami' UISU. Posisi Perpustakaan Umum UISU sangat dekat sekali dengan masjid UISU. Sangkin dekatnya, melompat dari pintu perpus kita bisa sampai ke pintu masjid.

Aku bergegas menyusun dan mengembalikan buku-buku yang ada di mejaku ke dalam rak dan buku tulis kumasukkan ke dalam tas, bersiap-siap untuk shalat berjamaah.

Dari luar ruang perpustakaan, sewaktu aku hendak ber-wudhu, sebelumnya terus terpikir di kepalaku, bahkan suara si Bapak tadi yang mengatakan bahwa "kita masih bodoh". Aku berpikir kembali dan melemparkan pertanyaan untuk kujawab sendiri, "Apakah aku bodoh? Apakah rakyat ini bodoh? sehingga negeri ini tak maju-maju, malah terjadi problem-problem yang datang silih berganti, Apakah rakyat ini masih bodoh karena membiarkan apa yang dimilikinya terus dikuasai oleh orang lain, seperti yang dikatakan si Bapak itu".

Air mengalir dari kran, kusapu wajahku dengan air segar, kusapu seluruh bagian tubuhku dengan air sesuai rukun berwudhu yang kuketahui. Aku siap untuk menghadap wajah Sang Pencipta.


Sumber gambar ilustrasi: http://andrelao-notes.blogspot.co.id/

0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Ibnu Arsib Ritonga | TNB