Oleh: Ibnu Arsib Ritonga
Aku rebahkan tubuhku di dalam kamarnya. Menikmati pesona disetiap ruangan,
tubuhku cepat sekali bersahabat dengan pulau kapuk yang empuk. Tas perjuangan
yang kubawa setiap hari kuhempaskan begitu saja. Tas itu seperti lemari
berjalan, lemari yang beragam sekali isinya. Wajarlah, namanya juga berproses
menjadi seorang aktivis, yang jelas isinya tidak barang-barang haram, tidak
juga hanya binder, buku catatan andalam mayoritas mahasiswa saat ini selama
kuliah yang simpel dibawa ke mana-mana. Terkadang tasku lebih tepatnya seperti
tas seseorang yang terdapat disalah satu film-film kartun. Di dalam tasku bukan
hanya buku, tapi juga ada barang-barang lain. Pahamlah, aku ini sedang
mencontoh senior-seniorku dulu, aktivis mahasiswa.
Mataku tak lepas dari langit-langit kamar temanku itu. Dia salah satu kader
organisasi mahasiswa yang ada di Indonesia ini. Setiap sudut, tak satu pun
terlewati oleh alat penglihatanku. Asbes-asbes persegi empat terlihat berwarnah
putih suci dengan garis-garis kecil, cahaya bola yang tergantung menelan
kegelapan di saat dinginnya cuaca.
Ruang kamarnya tidak terlalu luas. Ya, ukurannya tidak seluas kamar
pribadinya pak Presiden di Istana, tidak pula sesempit kamarnya rakyat
pinggiran yang sering kudatangi di samping rel kereta api. Ruangannya bersih
dan rapi. Semerbak aroma harum menyegarkan pernafasan. Poster-poster tertempel
dengan rapi. Aku sedikit heran dan mengundang tanya di alam pikirku. Biasanya,
mayoritas orang memajang poster di kamarnya dengan gambar-gambar tokoh
favoritnya, orang-orang terkenallah kita katakan.
Nah, temanku itu mengherankan sekali. Dia memajang poster tapi gambarnya
kosong, apa nilai filosofisnya? Aku pun tak tahu, tak sempat aku
mempertanyakannya, sehingga tak dapat aku beritahu anda lewat tulisan ini. Yang
jelas, posternya tidak bergambar Mr. Socrates, Plato, Aristoteles, tidak
bergambar Mr. Rene Descartes, John Locke, Immanuel Kant, Karl Marx, Frederich
Angel, Lenin, Stalin, Che Guevara, Fidel Castro, Mao Tse Tung, Jean Paul
Sartre, si Pembunuh Tuhan (Niezche), tidak juga Al-kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina,
Al-Ghazali, Ibnu Rusdy, Jalaluddin Rumi, Thabathaba’i, Muhammad Baqir Ash-Shadr, Murthada Muthahari,
Ali Syariati, Muhammad Abduh, Iqbal, Al-Maududi, tidak juga pak Presiden dan
lain-lain.
Indera penglihatanku terhenti ketika memperhatikan tumpukan-tumpukan kertas
yang tersusun dengan rapi di atas meja balajarnya. Bukan hanya di atas meja
itu, banyak lagi yang berbaris di dalam rak. Rak itu didesain dengan indah yang
tertempel di dinding. Setiap ruangan rak dipenuhi dengan koleksi buku-buku
berkualitas dan bermacam-macam gendrenya yang membuat nafsu bacaku terpancing.
Mulai dari buku politik hingga buku komik, mulai dari buku hukum hingga
buku-buku alam (sains), mulai dari buku-buku sosial, ekonomi, pendidikan,
biografi, agama, kamus hingga buku-buku filsafat, dan yang lainnya juga.
Koleksi buku-bukunya tidak terlalu banyak kalau dibandingkan dengan
perpustakaan nasional, tapi aku tidak dapat mengatakan koleksi bukunya sedikit.
Kalau aku bandingkan dengan koleksi buku-buku yang kumiliki, bukuku jauh lebih
sedikit. Aku berdecak kagum padanya, dia masih mempertahankan salah satu
warisan keintelektualan, keilmuan atau juga warisan kebudayaan seorang aktivis.
Susah sekali menemukan mahasiswa seperti temanku itu. Saat ini, banyak sekali
mengaku aktivis mahasiswa, aktivis kampus, aktivis organisasi dan sering pula
mengklaim sebagai kelompok intelektual yang bergelut dalam ilmu pengetahuan (epistemologi).
Akan tetapi, kalau di lihat dari bukti-bukti fisiknya dan aktivitasnya, tidak
ada ada buku-buku di rumahnya atau kamarnya. Ada pun, hanya buku-buku mata
kuliah karena diharuskan seorang dosen. Kalau tidak, boro-boro punya buku yang
lumayan banyak, membaca aja dianggap pekerjaan yang sangat membosannkan dan
berfikir tidak ada gunanya, apalagi berdiskusi dan menulis, sudah sangat jauh
dari dirinya mahasiswa saat ini. Banyak mahasiswa terjebak dengan konsep
berfikir seperti ini, “Tidak perlu membaca, langsung terjun kelapangan saja”,
cara berpikir seperti itu harus dievaluasi kembali.
Dahulu, di zaman masih jaya-jayanya gerakan mahasiswa di Indonesia,
kemanapun seorang mahasiswa itu pergi pasti membaca buku, di mana pun dia
berada pasti membaca buku, sampai-sampai harus denga cara-cara sembunyi.
Mahasiswa dahulu (tidak perlu kusebutkan zaman apa, harap paham) kurang
makannya, berani lapar demi hanya menabung untuk membeli buku bacaan. Nah, hari
ini bagaimana? Uang mahasiswa saat ini, mayoritas habis untuk membeli paket
internet dan untuk hiburan semata.
Aku bangkit dari tempat tidur yang empuk dan lembut itu, mendekati
buku-buku yang berbaris teratur seperti militer yang sedang berbaris menghormat
sang komandan. Kuperhatikan satu-persatu buku yang berbaris, aku bergumam dalam
hari, “Wajarlah temanku ini luas wawasannya, dalam pemikirannya, bacaannya saja
banyak”. Dia memang ingin betul-betul menjadi mahasiswa yang tidak hanya
menumpang nama dan status sebagai mahasiswa. Aku tahu itu setelah aku membaca, ada slogan
tertulis di atas, “Berani Menjadi Mahasiswa Harus Berani Mengabdikan Diri”.
Aku pikir, hal itu patut untuk dicontoh. Di atas mejanya aku juga melihat
ada setumpuk kertas yang bertulis tangan, belum dijilid dengan rapi. Kupandangi
sejenak, “Tulisan-Tulisan yang kan diterbitkan”, demikian bacaannya. “Waauu..”,
aku langsung tertegun, dia tidak hanya hobi membaca dan berdiskusi, ternyata
dia juga suka menulis. “Tapi, kenapa dia tidak mengirimkan tulisannya ke
media?”, tanyaku dalam hati. Luar biasa sekali, tak terbayangkan majunya negeri
ini jikalau mayoritas mahasiswa (sebagai generasi pengganti) kita seperti dia.
Sumber gambar ilustrasi: http://lifeexpeditionblog.blogspot.co.id/
0 komentar:
Posting Komentar