Oleh: Azhari Akmal Tarigan*
Gender merupakan salah satu tema
pemikiran Islam Liberal di samping persoalan demokrasi, kebebasan berpikir, hak-hak
non muslim, perlawanan atas teokrasi dan persoalan mengenai paham kemajuan.
Sebagaimana isu-isu lainnya, pada mulanya jender adalah persoalan yang
dihembuskan Barat (Nasrani dan Yahudi) yang pada perkembangan selanjutnya mau
tidak mau, suka atau tidak suka harus direspion oleh Islam.
Agaknya dalam Islam sampai awal abad XX,
perempuan (ketidakadilan jender) tidak menjadi persoalan. Konsep-konsep tentang
perempuan baik dalam kehidupan keluarga (sebagai isteri yang harus taat tanpa reserve pada suami dan sebagai ibu
yangbertugas memelihara dan mengasuh anak), dalam wilayah politik (tidak boleh
mejadi pemimpin), dalam mua’malat (wilayah kerja hanya pada lahan domestik dan
tidak boleh pada wilayah publik) dianggap sudah takern for granted dan memiliki landasan normatif yang absah.
Mempertanyakan apa lagi menggugatnya dipandang mengotak atik ayat-ayat Allah yang pasti benar.
Namun setelah Islam melakukan kontak
dengan dunia Barat, mengadopsi isu-isu modernitas, termasuk persoalan jender,
barulah pemikir-pemikir Islama[1],
terlebih lagi yang perempuan tersadar bahwa mereka tidak saja tertinggal dari
“Dunia Barat” tapi juga ditindas oleh ajaran agamanya sendiri lebih berpihak
pada kepentingan laki-laki (male-oriented).[2]
Pernyataan bahwa ajaran Islam ikut
“menindas” ummatnya khususnya perempuan, seperti yang didengungkan para
feminis, agaknya mengejutkan kita semua. Bukankah Al-Quran dan Hadis sebagai
sumber ajaran Islam sangat menekankan persamaan dan keadilan. Bukankah Muhammad
SAW disebut-sebut sebagai nabi yang berhasil menghapuskan perbudakan wanita?
Persoalan ini menarik untuk dikaji lebih lanjut.
Dalam makalah ini, penulis berupaya
untuk melihat bagaimana sebenarnya persolan jender dalam perspektif Islam,
denganj merujuk kepada Al-Quran dan Hadis serta ajaran-ajaran yang tertuang
dalam fikih.
Pengertian Gender
Kata “Jender” berasala dari bahasa
Inggris, “Gender” yang berarti jenis kelamin. Jender juga diterjemahkan sebagai
perbedaan yang tampak antara leki-laki antara dan perempuan dilihat dari segi
nilai dan tingkah laku.[3]
Pengertian yang cukup baik dapat dilihat dalam Women’s Studies Encylopedia yang mendefinisikan jender sebagai
suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, prilaku, mentalits, dan karakteristik
emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.[4]
Kata jender tampaknya belum kosa kata
bahasa Indonesia sehingga kata ini tidak ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Hal ini mungkin disebabkan oleh wacana jender yang masih baru di
Indonesia.[5]
Melihat bagaimana kata ini digunakan di Indonesia hanya dapat diketahui melalui
terjemahan yang diberikan oleh Kantor Menteri Urusan Peranan Wanita yang
menyatakan behwa jender adalah, Interpretasi mental dan kultural terhadap
perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Jender biasanya dipergunakan
untuk menunjukkan pembagian kerja dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan.[6]
Disamping istilah jender terkadang
dikenal juga istilah sex. Pengertian kedua kata ini seringkali dikaburkan yang
membawa akibat kerancuan dalam memahami jender. Sex adalah jenis kelamin,
pria-wanita yang lebih bersifat fisik-biologis (biological defined), sedangkan jender merupakan kategori
sosio-kultural (social defined). Oleh
sebab itu menjadi male atau female adalah persoalan sex, tetapi
menjadi masculine atau feminine merupakan permasalahan jender.[7]
Dengan demikian studi jender lebih
menekankan perkembangan aspek maskulinitas (masculunity/rujuliysh)
atau feminitas (feminity/nisa’iyyah)
seseorang. Berbeda dengan studi sex yang lebih menekankan perekembangan aspek
biologis dan komposisi kimia dalam tubuh laki-laki (maleness/zukurah) dan perempuan (femaleness/unusab). Untuk proses pertumbuhan anak menjadi seorang
laki-laki atau menjadi seorang perempuan, lebih banyak digunakan istilah jender
daripasa istilah sex. Istilah ses umumnya digunakan untuk merujuk pada
persoalan reproduksi dan aktivitas sexsual.
Memahami perbedaan ini sangat penting
karena memberikan implikasi yang cukup luas. Jika tidak ada pembedaan maka
kesan yang muncul perbedaan jender (gender
differences) dianggap sebagai akibat perbedaan sex (sex differences). Seorang yang terlahir ke dunia berkelamin
laki-laki maka otomatis secara jender ia akan beraktivitas pada wilayah kerja
yang biasa dilakukan oleh laki-laki. Demikian juga seorang anak yang terlahir
berjenis kelamin perempuan maka kerja-kerja yang diembankan kepadanya pada
wilayah kerja domestik. Ini dianggap sudah menjadi bawaan sejak lahir. Pada hal
seperti makna yang dikandung kata jender, permbagian kerja adalah konstruksi
sosial. Menyadari implikasi yang cukup luas inilah membedakan sex dan jender
menjadu sebuah keniscayaan.
Perspektif Al-Qur'an
Pertanyaan yang relevan diajukan ketika
mendiskusikan jender dalam Al-Quran adalah apakah kitab suci tersebut
mengajarkan perbedaan laki-laki dan perempuan secara sex juga harus berbeda
secara jender. Dalam bahasa yang lebih lugas, Al-Quran mengakui adanya
perbedaan (distinction) antara
laki-laki dan perempuan, namun apakah ini berarti Al-Quran juga mengakui
pembedaan (discrimination) antara
laki-laki dan perempuan.
Di Indonesia studi-studi tentang jender
telah banyak dilakukan. Berkaitan dengan keberadaan Al-Quran setidaknya ada
tiga penelitian yang telah dipublikasikan. Pertama, Feminisme Dalam Kajian Tafsir Al-Quran Klasik dan Kontemporer oleh
Yunahar Ilyas (Pustaka Pelajar: 1997). Kedua, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender Dalam Al-Quran oleh Zaitunah
Subhan (LKIS: 1999). Ketiga, Argumen
Kesetaraan Jender; Perspektif Al-Quran oleh Nasaruddin Umar (Paramadina:
1999). Agaknya hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ada bias gender
dalam tafsir Al-Quran. Artinya yang membuat penafsiran para mufassir terhadap
Al-Quran yang cenderung menguntungkan laki-laki dan menempatkan perempuan pada
pihak yang dirugikan (ingat kasus Qawwam-Pemimpin, kasus poligami, sekedar
contoh) adalah hasil penafsiran mufassir (ulama tafsir) an-sich. Artinya bukan
ajaran Al-Quran itu sendiri seperti yang akan dijelaskan nanti.
Jika demikian, mengapa penafsiran para
ulama tersebut sangat bias jender?. Nasaruddin Umar menjawab persoalan ini
secara tuntas dalam Disertasinya seperti telah disebut. Setidaknya ada sepuluh
sebab yang menjadikan pemahaman teks Al-Quran sangat bias. (1). Pembakuan tanda
huruf, tanda baca dan Qira’at, (2). Pengertian kosa kata (mufradat), (3).
Penetapan rujukan kata ganti (damir), (4). Penetapan batas pengecualian
(istisna), (5). Pengertian arti huruf Ataf, (6). Bias dalam struktur bahasa,
(7). Bias dalam kamus bahasa Arab, (8). Bias dalam metode tafsir, (9). Pengaruh
riwayat Israiliyyat, (10). Bias dalam pembukaan dan pembakuan kitab-kitab
fiqih.[8]
Selain dari persoalan bahasa dan metode,
sebenarnya yang memberikan pengaruh yang cukup dominan terjadinya bias jender
adalah persoalan sosio kultur bangsa Arab sendiri yang menganut sistem
kekerabatan patrilinear. Agaknya inilah yang membuat Nasaruddin dalam kajiannya
merasa perlu untuk menjelaskan terlebih dahulu kondisi jazijarah Arab menjelang
turunnya Al-Quran baik yang menyangkut jazirah Arab adalah berternak bagi
mereka yang hidup di kawasan tandus dan bertani bagi kawasan yang agak subur.
Keduanya sama-sama menguntungkan hidupnya pada alam. Pembagian peran dalam
masyarakat juga sangat tergantung pada kondisi obyektif geografis. Laki-laki
bertugas mencari nafkah dan ikut bertanggung jawab dalam mempertahankan
kehormatan kabilah dan perempuan menjalankan peran domestik.[9]
Konsekuensi dari pembagian ini, laki-laki menjadi pemimpin pada semua tingkatan
barhak mengatur perempuan. Laki-laki memiliki hak untuk mengontrol dalam bidang
sosial, politik, ekonomi bahkan juga berhak mengontrol populasi penduduk.[10]
Jika demikian dapatlah dipahami mengapa
tafsir-tafsir Al-Quran itu sangat bias jender. Lebih lanjut, seperti yang ditemukan
oleh Yunahar Ilyas dalam penelitiannya, bahwa terdapat perbedaan yang sangat
signifikan antara penafsiran yang diberikan mufassir klasik dan penafsiran yang
diberikan oleh feminis. Dengan mengurai tiga bentuk contoh penafsiran dalam
Al-Quran, (1). Konsep penciptaan perempuan, (2). Konsep kepemimpinan dan, (3).
Konsep kesaksian dan kewarisan ia menyimpulkan perbedaan itu disebabkan dua hal
pokok. Pertama, persoalan latar belakang pemikrian di mana mufassir klasik
hidup dalam sistem kekerabatan yang patrilinear sedangkan para feminis muslim
hidup dalam suasana bergemanya isu-isu feminisme. Kedua, dari sisi metodologi
tafsir. Seperti yang telah disebutkan Nasaruddin, mufassir klasik menggunakan
tafsir tahlily sedangkan para feminis
menggunakan tafsir maudu’i (tematik)
yang lebih memberikan perhatian lebih pada konteks sosial historis ayat-ayat
tersebut diturunkan.[11]
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
beberapa contoh di bawah ini :
1.
Q.S. An-Nisa’ : 34
“Kaum laki-laki itu adalah qawwam (pemimpin) bagi perempuan,
oleh karena Allah SWT telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian lain, dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari
harta mereka. Sebab itu maka wanita saleh ialah yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri saat suami tidak hadir oleh karena Allah telah memelihara
mereka...
Berkaitan dengan kata qawwam, para ulama tafsir telah
memberikan penafsiran yang berbeda-beda. Imam Tabari menafsirkan kata qawwam
dengan penanggungjawab. Maksudnya laki-laki bertanggungjawab dalam mendidik dan
membimbing isteri agar menunaikan kewajibannya kepada Allah maupun kepada
suami.[12]
Muhammad Asad seorang mufassir kontemporer menyatakan bahwa kata itu berarti to take full care of (menjaga
sepenuhya), baik dalam bentuk fisik dan moral.[13]
Zamakhsyari menafsirkan kata qawwam
sebagai orang yang berkewajiban untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar kepada isteri sebagaimana penguasa kepada
rakyat. Abdullah Yusuf Ali menjelaskan bahwa kata qawwam sebagai pelindung.[14]
Jelaslah dari penjelasan singkat di
atas, tampaknya para mufassir klasik dan kontemporer menterjemahkan kata qawwam sebagai penanggungjawab,
pelindung, penguasa, pemimpin, penjaga kaum perempuan. Sangat jelas bahwa
posisi laki-laki dan perempuan dalam tafsir di atas sangat superior. Karena
itu, laki-laki atas nama suami, ayah secara otomatis berkewajiban memimpin
keluarga.[15] Alasam
para mufassir memposisikan laki-laki yang superior karena Allah telah
melebihkan laki-laki berupa kemampuan akal, kelebihan dalam harta waris dan
ghanimah, tekad yang kuat, keberanian dan sifat-sifat maskulin lainnya. Di
samping itu, karena laki-laki memberi nafkah kepada keluarganya.[16]
Alasan lain yang sering dikemukakan para mufassir ialah karena banyak laki-laki
yang mejadi nabi, rasul, pemimpin, menjadi imam, saksi, wali, dan posisi
penting lainnya. Lebih jauh dari itu Rasyid Rida menyebut bahwa laki-laki
memiliki kelebihan yang fithri dan kasbi. Sejak diciptakan, laki-laki telah
diberikan Allah Quwwah (kekuatan) dan
Qudrah (kemampuan), sedangkan kelebihan
kasbi ialah karena laki-laki mampu berusaha, mencari nafkah dan leluasa
bergerak tanpa dihalangi hal-hal yang bersifat repsoduksi (menstruasi, hamil
dan melahirkan).[17] Dengan
demikian lengkaplah sudah keunggulan laki-laki atas perempuan.
Catatan kaki:
[1] Pada awal abad XX jender mulai menjadi wacana pemikiran Islam.
Nama-nama Qasim Amin, Aisyah Taymuriah, penulis
dan penyair Mesir; Zaynab Fawwaz, Esais Libanon, Rokeya Sakhwat Hossain
dan Nazar Sajjad Haydar, Malak Hifni Mesir, Taj al-Shaltanah dari Iran, serta
Fatma Aliye dan Turki, dapatlah disebut sebagai peminis Muslim, walaupun
mungkin mereka belum menggunakan istilah feminisme atau jender yang nota bene
Barat sentris. Paling tidak dari tulisan-tulisan mereka terlihat bahwa mereka sedang
melakukan proses penyadaran perempuan atas ketertindasannya. Lihat, Budy
Munawwar Rachman, Islam Pluralis, Wacana
Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta: Paramadina, 2000) h. 390-391.
Kajian-kajian jender dengan studi negara Timur Tengah dapat dilihat pada, Islam Gender & Social Change, Yvonne
Yazbeek Haddad, (New York: Oxford University Press, 1998).
[2] Pada perkembangan selanjutnya muncullah pemikir-pemikir Islam yang
lebih sistematis dan metodologis mengedepankan masalah jender, bahkan tidak itu
saja mereka pun melakukan dekontruksi terhadap khazanah klasik Islam mulai dari
sejarah, fikih, dan Kalam (teologi). Lebih dari itu mereka juga membongkar sumber ajaran Al-Quran dan
Hadist yang lagi-lagi male-oriented.
Adalah Rifa’at Hassan, Fatima Mernissi, Nawal Sadawi, Amina Wadud Muhsin,
Mahzurul Haq, Leila Ahmad, Asghar Ali Enggener adalah eksponen-eksponen feminis
yang melakukan dekontruksi tersebut.ibid.
[3] Victoria Neufeldt (ed), Webster’s
New Word Dictionary, (New Yokr : Webster’s New Word Clevenland, 1984, h.
561.
[4] Nasruddi Umar, “Perspektif Jender Dalam Islam”, dalam, Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, Vol.
1, No. 1, Juli-Desember 1998, h. 96-97.
[5] Di Indonesia sebenarnya isu jender, feminisme, telah dikenal sejak
awal 1970-an. Namun sampai tahun 1980-an, wacana feminisme masih malu-malu
disuarakan oleh aktivis perempuan, pakar bahkan cendikiawan agama. Agaknya ini
didasarkan pada kesan yang ditimbulkan oleh feminisme (Barat) yang berpandangan
bahwa feminisme adalah gerakan laki-laki, anti perkawinan, perusak keluarga,
lesbian dan kesan negatif lainnya. Dengan diterjemahkannya buku-buku yang
ditulis oleh feminisme-feminisme muslim ke dalam bahasa Indonesia berulah kesan
negatif feminsme secara negatif feminisme secara perlahan-lahan mulai bergeser
dan mendapat sambutan yang luas dikalangan aktivis perempuan, mahasiswa dan
para pakar. Diskusi gender di Indonesia dapat dilihat pada, Mansour Fakih, Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi
Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996). Lihat juga, Mansour Fakih et.
Al, Membincang Feminisme: Diskursus
Gender Perspektif, (Jakarta: Risalah Gusti, 1996). Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda, (Bandung: Mizan,
1998).
[6] Kantor Menteri Urusan Peranan Wanita, Buku III, Pengantar Teknik Analisa Jender, 1992, h.3
[7] Nur A Fadhil Lubis, “Jender Dalam Perspektif Agama Islam : Survei
terhadap Perkembangan Pemikiran dan Gerakan di Kalangan Umat Islam, Makalah, dalam Serasehan Sehari
Sosialisasi Jender, PSW IAIN-SU Medan (UIN-SU, sekaran-ed), tanggal 8 April 2000
[8] Lebih luas lihat, Nasaruddi Umar, Argumen
Kesetaraan Jender; Perspektif Al-Quran, (Jakarta: Paramadina, 1999), h.
265-290. Bandingkan dengan Zaitunah Syubhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender Dalam Al-Quran (Yogyakarta:
LKIS, 1999).
[9] Nasaruddin Umar, op. Cit, h. 106
[10] Tradisi bangsa Arab yang membunuh anak perempuannya hidup-hidup
seperti yang pernah dilakukan oleh Umar Al-Khattab sepertinya harus dipahami
lebih propersional. Alasan pembunuhan itu dilakukan adalah motif ekonomi
(ketersediaan bahan pangan yang terbatas), kekhawatiran anak perempuan mereka
menikah dengan laki-laki yang kedudukannya lebih rendah (tidak sekufu) serta
kekhawatiran jika mereka yang laki-laki kalah dalam berperang anak-anak mereka
akan dijadikan gundik atau harem. Ibid., h.
136-137
[11] Yunahar Ilyas, Feminisme Dalam
Kajian Tafsir Al-Quran Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1997), h. 139-145.
[12] Ibn Jarir Al-Tabari, Jami’
al-Bayan ‘an Ta’wil ayat Al-Quran, juz IVX, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), h.
57
[13] Muhammad Asad, The Message of
The Quran (Gibraltar; Dar an-Andalus, 1980), h. 109.
[14] Abdullah Yusuf Ali, Quran
Terjemah dan Tafsirnya, terj. Ali Audah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993),
h. 190.
[15] Didin Syafaruddin, “Argumen Supremasi Atas Perempuan: Penafsiran
Klasik Q.S. An-Nisa’: 34 dalam, Ulumul
Quran, No. 5 dan 6, Vol. V. Th. 1994, h. 4-5.
[16] Ibid., h.6
[17] Ibid., h.6
*Sumber:FAKULTAS SYARIAH IAIN SUMATERA UTARA, ISTISLAH;
Jurnal Hukum, Ekonomi dan Kemasyarakatan, Vol. I, No. 1 Januari-Maret 2002,
Hal: 45-57
* Drs. Azhari Akmal Tarigan, M.Ag. Dosen UIN-SU, Dekan Fakultas Ekonomi
dan Bisnis Islam (FEBI), dan Penulis buku berjudul “ Islam Mazhab HMI”.
*Posted by: Ibnu Arsib Ritonga
0 komentar:
Posting Komentar