GENDER DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Kamis, 16 Februari 2017 0 komentar

Oleh: Azhari Akmal Tarigan*
Gender merupakan salah satu tema pemikiran Islam Liberal di samping persoalan demokrasi, kebebasan berpikir, hak-hak non muslim, perlawanan atas teokrasi dan persoalan mengenai paham kemajuan. Sebagaimana isu-isu lainnya, pada mulanya jender adalah persoalan yang dihembuskan Barat (Nasrani dan Yahudi) yang pada perkembangan selanjutnya mau tidak mau, suka atau tidak suka harus direspion oleh Islam.

Agaknya dalam Islam sampai awal abad XX, perempuan (ketidakadilan jender) tidak menjadi persoalan. Konsep-konsep tentang perempuan baik dalam kehidupan keluarga (sebagai isteri yang harus taat tanpa reserve pada suami dan sebagai ibu yangbertugas memelihara dan mengasuh anak), dalam wilayah politik (tidak boleh mejadi pemimpin), dalam mua’malat (wilayah kerja hanya pada lahan domestik dan tidak boleh pada wilayah publik) dianggap sudah takern for granted dan memiliki landasan normatif yang absah. Mempertanyakan apa lagi menggugatnya dipandang mengotak atik ayat-ayat Allah yang pasti benar.

Namun setelah Islam melakukan kontak dengan dunia Barat, mengadopsi isu-isu modernitas, termasuk persoalan jender, barulah pemikir-pemikir Islama[1], terlebih lagi yang perempuan tersadar bahwa mereka tidak saja tertinggal dari “Dunia Barat” tapi juga ditindas oleh ajaran agamanya sendiri lebih berpihak pada kepentingan laki-laki (male-oriented).[2]

Pernyataan bahwa ajaran Islam ikut “menindas” ummatnya khususnya perempuan, seperti yang didengungkan para feminis, agaknya mengejutkan kita semua. Bukankah Al-Quran dan Hadis sebagai sumber ajaran Islam sangat menekankan persamaan dan keadilan. Bukankah Muhammad SAW disebut-sebut sebagai nabi yang berhasil menghapuskan perbudakan wanita? Persoalan ini menarik untuk dikaji lebih lanjut.

Dalam makalah ini, penulis berupaya untuk melihat bagaimana sebenarnya persolan jender dalam perspektif Islam, denganj merujuk kepada Al-Quran dan Hadis serta ajaran-ajaran yang tertuang dalam fikih.

Pengertian Gender
Kata “Jender” berasala dari bahasa Inggris, “Gender” yang berarti jenis kelamin. Jender juga diterjemahkan sebagai perbedaan yang tampak antara leki-laki antara dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.[3] Pengertian yang cukup baik dapat dilihat dalam Women’s Studies Encylopedia yang mendefinisikan jender sebagai suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, prilaku, mentalits, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.[4]

Kata jender tampaknya belum kosa kata bahasa Indonesia sehingga kata ini tidak ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Hal ini mungkin disebabkan oleh wacana jender yang masih baru di Indonesia.[5] Melihat bagaimana kata ini digunakan di Indonesia hanya dapat diketahui melalui terjemahan yang diberikan oleh Kantor Menteri Urusan Peranan Wanita yang menyatakan behwa jender adalah, Interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Jender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan.[6]

Disamping istilah jender terkadang dikenal juga istilah sex. Pengertian kedua kata ini seringkali dikaburkan yang membawa akibat kerancuan dalam memahami jender. Sex adalah jenis kelamin, pria-wanita yang lebih bersifat fisik-biologis (biological defined), sedangkan jender merupakan kategori sosio-kultural (social defined). Oleh sebab itu menjadi male atau female adalah persoalan sex, tetapi menjadi masculine atau  feminine merupakan permasalahan jender.[7]

Dengan demikian studi jender lebih menekankan perkembangan aspek maskulinitas (masculunity/rujuliysh) atau feminitas (feminity/nisa’iyyah) seseorang. Berbeda dengan studi sex yang lebih menekankan perekembangan aspek biologis dan komposisi kimia dalam tubuh laki-laki (maleness/zukurah) dan perempuan (femaleness/unusab). Untuk proses pertumbuhan anak menjadi seorang laki-laki atau menjadi seorang perempuan, lebih banyak digunakan istilah jender daripasa istilah sex. Istilah ses umumnya digunakan untuk merujuk pada persoalan reproduksi dan aktivitas sexsual.

Memahami perbedaan ini sangat penting karena memberikan implikasi yang cukup luas. Jika tidak ada pembedaan maka kesan yang muncul perbedaan jender (gender differences) dianggap sebagai akibat perbedaan sex (sex differences). Seorang yang terlahir ke dunia berkelamin laki-laki maka otomatis secara jender ia akan beraktivitas pada wilayah kerja yang biasa dilakukan oleh laki-laki. Demikian juga seorang anak yang terlahir berjenis kelamin perempuan maka kerja-kerja yang diembankan kepadanya pada wilayah kerja domestik. Ini dianggap sudah menjadi bawaan sejak lahir. Pada hal seperti makna yang dikandung kata jender, permbagian kerja adalah konstruksi sosial. Menyadari implikasi yang cukup luas inilah membedakan sex dan jender menjadu sebuah keniscayaan.

Perspektif Al-Qur'an
Pertanyaan yang relevan diajukan ketika mendiskusikan jender dalam Al-Quran adalah apakah kitab suci tersebut mengajarkan perbedaan laki-laki dan perempuan secara sex juga harus berbeda secara jender. Dalam bahasa yang lebih lugas, Al-Quran mengakui adanya perbedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan, namun apakah ini berarti Al-Quran juga mengakui pembedaan (discrimination) antara laki-laki dan perempuan.

Di Indonesia studi-studi tentang jender telah banyak dilakukan. Berkaitan dengan keberadaan Al-Quran setidaknya ada tiga penelitian yang telah dipublikasikan. Pertama, Feminisme Dalam Kajian Tafsir Al-Quran Klasik dan Kontemporer oleh Yunahar Ilyas (Pustaka Pelajar: 1997). Kedua, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender Dalam Al-Quran oleh Zaitunah Subhan (LKIS: 1999). Ketiga, Argumen Kesetaraan Jender; Perspektif Al-Quran oleh Nasaruddin Umar (Paramadina: 1999). Agaknya hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ada bias gender dalam tafsir Al-Quran. Artinya yang membuat penafsiran para mufassir terhadap Al-Quran yang cenderung menguntungkan laki-laki dan menempatkan perempuan pada pihak yang dirugikan (ingat kasus Qawwam-Pemimpin, kasus poligami, sekedar contoh) adalah hasil penafsiran mufassir (ulama tafsir) an-sich. Artinya bukan ajaran Al-Quran itu sendiri seperti yang akan dijelaskan nanti.

Jika demikian, mengapa penafsiran para ulama tersebut sangat bias jender?. Nasaruddin Umar menjawab persoalan ini secara tuntas dalam Disertasinya seperti telah disebut. Setidaknya ada sepuluh sebab yang menjadikan pemahaman teks Al-Quran sangat bias. (1). Pembakuan tanda huruf, tanda baca dan Qira’at, (2). Pengertian kosa kata (mufradat), (3). Penetapan rujukan kata ganti (damir), (4). Penetapan batas pengecualian (istisna), (5). Pengertian arti huruf Ataf, (6). Bias dalam struktur bahasa, (7). Bias dalam kamus bahasa Arab, (8). Bias dalam metode tafsir, (9). Pengaruh riwayat Israiliyyat, (10). Bias dalam pembukaan dan pembakuan kitab-kitab fiqih.[8]

Selain dari persoalan bahasa dan metode, sebenarnya yang memberikan pengaruh yang cukup dominan terjadinya bias jender adalah persoalan sosio kultur bangsa Arab sendiri yang menganut sistem kekerabatan patrilinear. Agaknya inilah yang membuat Nasaruddin dalam kajiannya merasa perlu untuk menjelaskan terlebih dahulu kondisi jazijarah Arab menjelang turunnya Al-Quran baik yang menyangkut jazirah Arab adalah berternak bagi mereka yang hidup di kawasan tandus dan bertani bagi kawasan yang agak subur. Keduanya sama-sama menguntungkan hidupnya pada alam. Pembagian peran dalam masyarakat juga sangat tergantung pada kondisi obyektif geografis. Laki-laki bertugas mencari nafkah dan ikut bertanggung jawab dalam mempertahankan kehormatan kabilah dan perempuan menjalankan peran domestik.[9] Konsekuensi dari pembagian ini, laki-laki menjadi pemimpin pada semua tingkatan barhak mengatur perempuan. Laki-laki memiliki hak untuk mengontrol dalam bidang sosial, politik, ekonomi bahkan juga berhak mengontrol populasi penduduk.[10]

Jika demikian dapatlah dipahami mengapa tafsir-tafsir Al-Quran itu sangat bias jender. Lebih lanjut, seperti yang ditemukan oleh Yunahar Ilyas dalam penelitiannya, bahwa terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara penafsiran yang diberikan mufassir klasik dan penafsiran yang diberikan oleh feminis. Dengan mengurai tiga bentuk contoh penafsiran dalam Al-Quran, (1). Konsep penciptaan perempuan, (2). Konsep kepemimpinan dan, (3). Konsep kesaksian dan kewarisan ia menyimpulkan perbedaan itu disebabkan dua hal pokok. Pertama, persoalan latar belakang pemikrian di mana mufassir klasik hidup dalam sistem kekerabatan yang patrilinear sedangkan para feminis muslim hidup dalam suasana bergemanya isu-isu feminisme. Kedua, dari sisi metodologi tafsir. Seperti yang telah disebutkan Nasaruddin, mufassir klasik menggunakan tafsir tahlily sedangkan para feminis menggunakan tafsir maudu’i (tematik) yang lebih memberikan perhatian lebih pada konteks sosial historis ayat-ayat tersebut diturunkan.[11]

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat beberapa contoh di bawah ini :
1.      Q.S. An-Nisa’ : 34 
“Kaum laki-laki itu adalah qawwam (pemimpin) bagi perempuan, oleh karena Allah SWT telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebahagian lain, dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri saat suami tidak hadir oleh karena Allah telah memelihara mereka...

Berkaitan dengan kata qawwam, para ulama tafsir telah memberikan penafsiran yang berbeda-beda. Imam Tabari menafsirkan kata qawwam dengan penanggungjawab. Maksudnya laki-laki bertanggungjawab dalam mendidik dan membimbing isteri agar menunaikan kewajibannya kepada Allah maupun kepada suami.[12] Muhammad Asad seorang mufassir kontemporer menyatakan bahwa kata itu berarti to take full care of (menjaga sepenuhya), baik dalam bentuk fisik dan moral.[13] Zamakhsyari menafsirkan kata qawwam sebagai orang yang berkewajiban untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar kepada isteri sebagaimana penguasa kepada rakyat. Abdullah Yusuf Ali menjelaskan bahwa kata qawwam sebagai pelindung.[14]

Jelaslah dari penjelasan singkat di atas, tampaknya para mufassir klasik dan kontemporer menterjemahkan kata qawwam sebagai penanggungjawab, pelindung, penguasa, pemimpin, penjaga kaum perempuan. Sangat jelas bahwa posisi laki-laki dan perempuan dalam tafsir di atas sangat superior. Karena itu, laki-laki atas nama suami, ayah secara otomatis berkewajiban memimpin keluarga.[15] Alasam para mufassir memposisikan laki-laki yang superior karena Allah telah melebihkan laki-laki berupa kemampuan akal, kelebihan dalam harta waris dan ghanimah, tekad yang kuat, keberanian dan sifat-sifat maskulin lainnya. Di samping itu, karena laki-laki memberi nafkah kepada keluarganya.[16] Alasan lain yang sering dikemukakan para mufassir ialah karena banyak laki-laki yang mejadi nabi, rasul, pemimpin, menjadi imam, saksi, wali, dan posisi penting lainnya. Lebih jauh dari itu Rasyid Rida menyebut bahwa laki-laki memiliki kelebihan yang fithri dan kasbi. Sejak diciptakan, laki-laki telah diberikan Allah Quwwah (kekuatan) dan Qudrah (kemampuan), sedangkan kelebihan kasbi ialah karena laki-laki mampu berusaha, mencari nafkah dan leluasa bergerak tanpa dihalangi hal-hal yang bersifat repsoduksi (menstruasi, hamil dan melahirkan).[17] Dengan demikian lengkaplah sudah keunggulan laki-laki atas perempuan.







Catatan kaki:
[1] Pada awal abad XX jender mulai menjadi wacana pemikiran Islam. Nama-nama Qasim Amin, Aisyah Taymuriah, penulis  dan penyair Mesir; Zaynab Fawwaz, Esais Libanon, Rokeya Sakhwat Hossain dan Nazar Sajjad Haydar, Malak Hifni Mesir, Taj al-Shaltanah dari Iran, serta Fatma Aliye dan Turki, dapatlah disebut sebagai peminis Muslim, walaupun mungkin mereka belum menggunakan istilah feminisme atau jender yang nota bene Barat sentris. Paling tidak dari tulisan-tulisan mereka terlihat bahwa mereka sedang melakukan proses penyadaran perempuan atas ketertindasannya. Lihat, Budy Munawwar Rachman, Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta: Paramadina, 2000) h. 390-391. Kajian-kajian jender dengan studi negara Timur Tengah dapat dilihat pada, Islam Gender & Social Change, Yvonne Yazbeek Haddad, (New York: Oxford University Press, 1998).
[2] Pada perkembangan selanjutnya muncullah pemikir-pemikir Islam yang lebih sistematis dan metodologis mengedepankan masalah jender, bahkan tidak itu saja mereka pun melakukan dekontruksi terhadap khazanah klasik Islam mulai dari sejarah, fikih, dan Kalam (teologi). Lebih dari itu mereka  juga membongkar sumber ajaran Al-Quran dan Hadist yang lagi-lagi male-oriented. Adalah Rifa’at Hassan, Fatima Mernissi, Nawal Sadawi, Amina Wadud Muhsin, Mahzurul Haq, Leila Ahmad, Asghar Ali Enggener adalah eksponen-eksponen feminis yang melakukan dekontruksi tersebut.ibid.
[3] Victoria Neufeldt (ed), Webster’s New Word Dictionary, (New Yokr : Webster’s New Word Clevenland, 1984, h. 561.
[4] Nasruddi Umar, “Perspektif Jender Dalam Islam”, dalam, Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, Vol. 1, No. 1, Juli-Desember 1998, h. 96-97.
[5] Di Indonesia sebenarnya isu jender, feminisme, telah dikenal sejak awal 1970-an. Namun sampai tahun 1980-an, wacana feminisme masih malu-malu disuarakan oleh aktivis perempuan, pakar bahkan cendikiawan agama. Agaknya ini didasarkan pada kesan yang ditimbulkan oleh feminisme (Barat) yang berpandangan bahwa feminisme adalah gerakan laki-laki, anti perkawinan, perusak keluarga, lesbian dan kesan negatif lainnya. Dengan diterjemahkannya buku-buku yang ditulis oleh feminisme-feminisme muslim ke dalam bahasa Indonesia berulah kesan negatif feminsme secara negatif feminisme secara perlahan-lahan mulai bergeser dan mendapat sambutan yang luas dikalangan aktivis perempuan, mahasiswa dan para pakar. Diskusi gender di Indonesia dapat dilihat pada, Mansour Fakih, Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996). Lihat juga, Mansour Fakih et. Al, Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif, (Jakarta: Risalah Gusti, 1996). Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda, (Bandung: Mizan, 1998).
[6] Kantor Menteri Urusan Peranan Wanita, Buku III, Pengantar Teknik Analisa Jender, 1992, h.3
[7] Nur A Fadhil Lubis, “Jender Dalam Perspektif Agama Islam : Survei terhadap Perkembangan Pemikiran dan Gerakan di Kalangan Umat Islam, Makalah, dalam Serasehan Sehari Sosialisasi Jender, PSW IAIN-SU Medan (UIN-SU, sekaran-ed), tanggal 8 April 2000
[8] Lebih luas lihat, Nasaruddi Umar, Argumen Kesetaraan Jender; Perspektif Al-Quran, (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 265-290. Bandingkan dengan Zaitunah Syubhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender Dalam Al-Quran (Yogyakarta: LKIS, 1999).
[9] Nasaruddin Umar, op. Cit, h. 106
[10] Tradisi bangsa Arab yang membunuh anak perempuannya hidup-hidup seperti yang pernah dilakukan oleh Umar Al-Khattab sepertinya harus dipahami lebih propersional. Alasan pembunuhan itu dilakukan adalah motif ekonomi (ketersediaan bahan pangan yang terbatas), kekhawatiran anak perempuan mereka menikah dengan laki-laki yang kedudukannya lebih rendah (tidak sekufu) serta kekhawatiran jika mereka yang laki-laki kalah dalam berperang anak-anak mereka akan dijadikan gundik atau harem. Ibid., h. 136-137
[11] Yunahar Ilyas, Feminisme Dalam Kajian Tafsir Al-Quran Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 139-145.
[12] Ibn Jarir Al-Tabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil ayat Al-Quran, juz IVX, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), h. 57
[13] Muhammad Asad, The Message of The Quran (Gibraltar; Dar an-Andalus, 1980), h. 109.
[14] Abdullah Yusuf Ali, Quran Terjemah dan Tafsirnya, terj. Ali Audah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h. 190.
[15] Didin Syafaruddin, “Argumen Supremasi Atas Perempuan: Penafsiran Klasik Q.S. An-Nisa’: 34 dalam, Ulumul Quran, No. 5 dan 6, Vol. V. Th. 1994, h. 4-5.
[16] Ibid., h.6
[17] Ibid., h.6


*Sumber:FAKULTAS SYARIAH IAIN SUMATERA UTARA,  ISTISLAH; Jurnal Hukum, Ekonomi dan Kemasyarakatan, Vol. I, No. 1 Januari-Maret 2002, Hal: 45-57
* Drs. Azhari Akmal Tarigan, M.Ag. Dosen UIN-SU, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI), dan Penulis buku berjudul “ Islam Mazhab HMI”.

*Posted by: Ibnu Arsib Ritonga

0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Ibnu Arsib Ritonga | TNB