TINJAUAN SOSIAL BUDAYA TERHADAP WANITA MUDA YANG PROFESIONAL

Kamis, 16 Februari 2017 0 komentar

     Oleh: Dr. Asma Affan
Seminar yang diadakan ini dapat mengisi empat hal yang relevan bagi kepentingan masa depan bangsa yang kiranya dapat dibebankan di pundak kaum wanita di masa depan (generasi akan datang), yaitu :
1.    Kemampuan wanita untuk turut mengantisipasi kemaslahatan bangsa.
2.    Peka terhadap apa yang menjadi kepentingan bangsa dan kepentingan wanita itu sendiri yang berbudaya Indonesia.
3.    Peningkatan keterampilan wanita sehingga wanita lebih berperan dan produktif dalam memenuhi kebutuhan keluarganya.
4.    Dengan kemampuan yang dimiliki wanita diharapkan banyak peluang diperoleh wanita di masa depan jika memasuki pasar tenaga kerja.

Dengan kata lain dapat disimpulkan wanita di masa depan adalah wanita produktif baik di dalam rumah tangganya maupun diluar rumah tangganya.

Untuk mempersiapkan generasi muda akan datang tentu tidaklah semudah yang dituliskan diatas kertas yang terbatas ini, apalagi suatu tinjauan sosial budaya. Hal ini disebabkan budaya Indonesia yang beragam, dan memandang kedudukan wanita menurut ukuran budaya itu masing-masing. Namun demikian dalam proses modernisasi berupa inovasi pandangan dan prilaku, dan proses penyadaran masyarakat menjadi faktor yang esensial baik dalam proses pembangunan maupun dalam mencapai tujuan pembangunan. Kesadaran adalah merupakan landasan kokoh bagi pembudayaan teknologi dan partisipasi institusional melalui pengayaan informasi. Keseluruhan modernisasi adalah mencakup tiga dimensi pokok yaitu menyangkut dimensi manusia meliputi, (1). Pengetahuan, (2). Sikap dan prilaku, (3). Keterampilan.

Masyarakat dalam proses modernisasi mengutamakan sikap hidup yang berorientasi kepada prestasi sesuai dengan kebudayaan yang juga mengalami perubahan kepada konsep rasionalitas. Oleh sebab itulah diperlukan bentuk visi kehidupan masyarakat Indonesia di masa depan pada umumnya dan wanita Indonesia pada khususnya. Dari bentuk perubahan visi inilah wanita Indonesia dapat membentuk kepribadiannya untuk menjadi yang berpotensi dan produktif bagi turut menyumbang dalam pembangunan bangsa. Pembangunan manusia yang dalam hal ini membina adanya perubahan perilaku wanita Indonesia tidak berdiri sendiri tetapi terkait pada struktur budaya di Indonesia tercinta ini (soft ware). Keberhasilan pembinaan peningkatan kemampun wanita terletak pada perwujudan perubahan sikap masyarakat dan keluarga serta perubahan sikap wanita itu sendiri. Sebagai negara yang sedang berkembang kemajuan pembangunan belum merata di Nusantara ini. Kenyataan menunjukkan bahwa wanita di kota-kota besar lebih banyak mendapat peluang untuk mewujudkan apa yang menjadi cita-citanya tanpa mendapat rintangan budaya yang berarti jika dibandingkan dengan wanita di daerah pedesaan yang sebenarnya jumlahnya lebih dari sepertiga penduduk Indonesia.

 Sistem Pembinaan Wanita Muda
Sebagai ilustrasi ringan dari kebudayaan Jawa ada nilai-nilai yang mendorong seseorang berusaha untuk memperoleh kesejahteraan (mukti) antara lain dengan “ber-tapa-brata” terikat atau “prihatin” yang menekankan pada latihan-latihan bathiniah. Kegunaannya orang tidak harus menyerah kepada nasib dan tidak berusaha lagi, orang tidak boleh “narimo” (pasrah-ed) atau apathy (apatis-ed). Eksistensi tradisi ini meskipun sangat sederhana tetapi bentuknya sudah mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan pada saat sekarang ini. Perubahan itu tidak saja dialaskan pada unsur bathiniah saja tetapi lebih kepada perbuatan nyata, dan dimodifikasi sedemikian rupa sehingga menjadi suatu apa yang dinamakan “ ethos kerja”. Berarti disini terdapat nilai-nilai baru yang perlu dibudidayakan. Prihatin harus diganti pengertiannya dengan rajin (taberi), tertib (nastiti), setya, tumemen, cermat (gemi), kesemuanya ini jika dibudayakan pada diri sendiri dapat mendorong status menusia sebagai anggota masyarakat produktif bukan menjadi anggota masyarakat yang ikut-ikutan yang tidak jelas arah yang akan dicapainya. Dengan budaya yang dimodifikasi pelaksanaannya, dimana dia berada sebagai anggota masyarakat yang produktif, bukan saja ditinjau dari segi materi tetapi lebih luas lagi yang dampaknya dapat dirasakan oleh masyarakat banyak. Perubahan semacam inilah yang telah terjadi dalam suatu transisi perilaku kearah yang lebih modern.

Ini pula yang dikatakan sumber daya pribadi untuk usaha pembangunan. Sumber daya pribadi yang diperlukan dari setiap pribadi wanita adalah perubahan konstruktif yang memerlukan lebih banyak bersifat mendasar pada perubahan perilaku, yang bukan hanya merasa memiliki kedudukan yang sama dengan pria yang telah diakui secara hukum. Perubahan yang sifat mendasar ini ditekankan pada beberapa aspek sebagai berikut :
a.       Kesadaran dan kepekaan wanita terhadap lingkungan dimana dia hidup bermasyarakat. Dalam proses perubahan bermasyarakat dapat mengamati pertentangan nilai-nilai sebagai konsekuensi dari pembangunan. Dapat melihat realitas baru yang memerlukan adanya upaya-upaya mengadaptasikan diri dengan perubahan yang terjadi. Indikator adanya perubahan dalam proses beradaptasi ini adalah :
1.      Kesalahan melihat situasi yang diiringi dengan adanya keinginan kemauan untuk merubah diri dan masyarakat baik itu masyarakat yang lebih kecil seperti keluarga atau masyarakat yang luas lagi.
2.      Dengan keadaan diri sendiri didorong untuk berpikir yang dimulai sendiri tetapi saat untuk menerapkannya diri sendiri akan didorong untuk melaksanakannya secara melembaga. Kalau sudah seperti ini adalah merupakan embrionya adalah gagasan baru.
3.      Gagasan jelas tidak dapat dikerjakan sendiri, tetapi adanya orang lain untuk merealisasikan gagasan, kita memerlukan bantuan pihak lain untuk mengerjakannya.

Jika proses ini tidak pada wanita maka berarti belum terjadi perubahan yang mendasar perilaku kesadaran ikut membangun kecuali ikut-ikutan saja. Kalau dengan dasar ikut-ikutan proses perubahan perilaku untuk dapat berproduktif yang dianggap berarti bagi perubahan pembangunan keluar akan berjalan sangat lambat dan masa transisi akan memakan waktu yang lebih panjang. 

b.      Solidaritas sosial tidak lagi ditekankan pada ikatan primordial tetapi lebih ditekankan rasionalitas, yang ditekankan pada apa yang dapat kita kerjakan bersama yang sifatnya lebih menekankan pada fungsionalisasi, bukan menekankan pada siapa kita-kita ini yang mau ikut dari pada orang lain karena pekerjaan ini dapat menguntungkan kita saja.

Pada hal yang pertama lebih menekankan pada keberhasilan bersama secara berkesinambungan, sedangkan hal yang kedua keberhasilan untuk sementara. Pada yang pertama pekerjaan lebih mementingkan keberhasilan institusional dari pada keberhasilan perorangan. Kalau wanita dalam keluarga ingin berusaha catering, lebih baik mengaji orang (mengajari-ed) dengan keuntungan menjadi berkurang dari pada anak dikorbankan sekolahnya untuk absen keringanan atau kelelahan sehingga tidak tersisa lagi waktu untuk belajar.

Berpikir secara rasional seperti ini adalah suatu perubahan perilaku yang mendasar. Berapa banyak pada saat proses pembangunan masih saja wanita tidak dapat memperhitungkan suatu keuntungan jangka panjang. Sebaliknya bagi wanita yang secara ekonomis berlebihan juga tidak dapat berpikir realistis dan rasional. Uang dihabiskan untuk konsumtif bagi keluarga sehingga anak dalam keluarga sudah biasa tahu ada, yang terlatih dirinya tidak mandiri dan tidak ada perjuangan hidup untuk memikirkan orang lain atau masyarakat banyak yang masih membutuhkan uluran bantuan orang lain. Rasa sosial sesamanya tidak dipupuk dalam rumah-rumah tangga. Kalaupun itu dilakukannya bukan sebagai suatu perilaku yang berkeinginan membangun, tetapi lebih berkeinginan untuk status dan popularitas. Dari sisi ini nilai budaya adalah terdapat pada setiap individu yang sejak kecil telah diresapi dengan nilai-nilai yang hidup di dalam keluarga dan dalam masyarakatnnya sehingga konsepsi-konsepsi ini telah lama berakar dalam jiwa mereka. Untuk merubahnya tidak dapat dalam waktu yang singkat. Termasuk dalam hal ini kebiasaan perilaku yang telah menjadi sikap perilaku pribadinya. Tidak terdapat gambaran perilaku yang positif yang berarti memberikan dampak bagi keinginan orang lain dalam bermasyarakat. Sudah membudaya baginya bermasyarakat adalah kalau menguntungkan diri pribadinya lebih dahulu bukan berpikir bahwa, kalau masyarakat beruntung saya juga termasuk di dalamnya mendapatkan keuntungan (Sartono Kartodirjo, 1987; Koencaranigrat, 1974).

Mencari Identitas Diri
Sampai saat ini masih saja didiskusikan pakar-pakar di Indonesia bahwa wanita tidak mungkin mengerjakan sesuatu hanya dengan pikiran, yang berarti wanita lebih dari laki-laki yaitu mengerjakan sesuatu merupakan kesatuan jiwa raga dan perasaan. Dalam pernyataan jiwanya diikutkan seluruh jiwanya. Wanita menggunakan budidaya kemampuannya ini dianggap tidak berdasarkan  pikiran yang rasional. Oleh sebab itu wanita yang mempelajari ilmu pengetahuan belaka dianggap sebagai saingan dari laki-laki. Anehnya pada beberapa budaya daerah dalam masa transisi berpikir, laki-laki dan wanita boleh maju tetapi tidak boleh setarap dengan mereka, dengan sendirinya akan berkembang perilaku bahwa cakrawala wanita itu sempit dan hanya berada disekitar rumah saja, meskipun mereka tidak pernah kemana-mana. Oleh akibat perilaku ini mereka tidak suka melihat wanita memiliki kemampuan dari mereka dan berupaya tidak memberikan peluang apapun kepada wanita. Wanita itu identik dengan tidak mempunyai kemampuan, pengalaman berumah tangga toh diberi dan disediakan segala-galanya.

Kalaulah perubahan pandangan dapat berubah dan dapat menyadari dan merasakan bahwa sifat hakiki wanita adalah seluruh kepribadiannya yaitu perpaduan jiwa yang selaras dalam ikatan batin yang erat dapat dikembangkan tanpa pamrih, rasa keibuan membuktikan diri bagi kebaikan manusia dalam keluarga sebagai anggota keluarga. Jika coba menyelami hal ini akan disadari dua kekuatan timbal balik yang dapat dipupuk menjadi wanita yang kuat jiwanya dan selalu menjaga keseimbangan dalam berkorban untuk orang lain dan mau melihat kenyataan. Oleh sebab itulah wanita tahan menderita, tahan terhadap perubahan yang menggoncang, tabah dan gigih.

Bagi wanita muda jika milik pribadi ini dapat dikembangkan dengan sadar, akan diperoleh sesuatu kekuatan yang sangat diperlukan bagi pembangunan bangsa. Kekuatan ini adalah kekuatan yang tidak kenal menyerah, malahan menjadi suatu kebutuhan  jiwanya yang menjadi sendi dasar tidak akan pernah menarik jika mengalami kegagalan. Wanita yang lupa dan tidak mengerti akan kekuatan dirinya ini, akan mengalami perjuangan sangat berat dalam mencari keseimbangan, dan merasa kehilangan identitas dirinya sendiri dan membuangkan (meninggalkan-ed) dengan sia-sia yang dimilikinya. Sifat hakiki jiwa wanita adalah keibuan yang sifat utamanya “keralaan untuk berbakti”.

Kekuatan ini jika dikombinasikan dengan kemampuan ingin mengetahui lebih banyak apa yang terjadi diluar rumah dengnan menambah ilmu, maka wanita muda akan melatih dirinya secara bertahap, dapat bekerja lebih profesional ditengah masyarakat dan secara bertahap pula akan mendapatkan identitas diri. Indikator wanita muda yang menemukan identitas diri adalah :
1.      Mandiri, yang berarti dapat mengambil keputusan sendiri dengan cara berpikir rasional, dan tidak didasarkan pada emosi belaka.
2.      Mempelajari dan mengenal norma-norma dan ketentuan yang ada dalam menjalankan tugasnya dirumah tangga dan di tengah masyarakat, sehingga hanya dapat mentoleransi apa yang telah mendasar dalam hidup bermasyarakat yang lebih luas.
3.      Cakrawalanya luas, yang berarti segala sesuatu tidak saja dilihat bagi keuntungan pribadi tetapi dilihat bagi keuntungan bersama dan kebahagiaan bersama.
4.      Wanita dapat membatasi keinginan pribadi, lebih-lebih lagi dengan perimbangan tidak merugikan orang lain.
5.      Wanita dapat membatasi keinginan pribadi, lebih-lebih lagi dengan pertimbangan tidak merugikan orang lain.
Menyadari bahwa budaya masyarakat konsumen sering diberi ciri materialis dan sering digunakan  istilah ini untuk mengungkapkan kemiskinan rohani dan berperilaku mementingkan diri sendiri. (Hans – Deter Evers, 1988).

Kegiatan yang Profesional
Kata professional sudah menjadi makanan kuping banyak orang setiap hari (sudah sering didengarkan publik-ed). Pada saat sekarang ini, segala sesuatu harus dikerjakan secara profesional  dan dapat dipertanggung jawabkan mutunya (hasil) dari pekerjaan itu. Pengertian professi adalah keahlian dan keterampilan seseorang dalam melakukan suatu tugas dan tanggung jawab yang diembannya, yang diperolehnya dari menuntut ilmu dan dari pengalaman. Melalu kedua proses inilah diperoleh suatu produksi kerja yang dapat dipertanggung jawabkan mutunya, baik pekerjaan yang bersifat pelayanan maupun yang bersifat pekerjaan nyata.

Professionalisme dapat diperoleh melalui :
1.      Penguasaan Ilmu Pengetahuan
Dalam rangka turut mensuksekan pembangunan nasional, masalah tujuan pribadi dan tujuan pembangunan dipandang saling isi mengisi dan tidak berlawanan. Agar kedua tujuan itu terwujud secara simultan maka harus dikuasai dua jenis ilmu pengetahuan, yaitu : (a). Studi umum dalam bidang “humanities”, yang tujuannya untuk dapat menjawab diri dan pembangunan pada umumnya untuk apa dan ditujukan untuk siapa ?. pilihan tujuan ini selalu terikat dalam sesuai serta proses memahami nilai-nilai kebudayaan yang dapat diekspresikan sikap mental, pandangan hidup, gaya hidup dan falsafah hidup. Dalam produksi selalu menggunakan nilai-nilai seperti prinsip efisiensi dan rasionalitas. Rasionalitas tidak didasarkan pada teknokratis semata-mata tetapi lebih disesuaikan dengan filsapat ideologis dan etis. Dalam proses menuntut ilmu pengetahuan maka perlu kemampuan mendalam sesuatu diarahkan pada persiapan untuk suatu yang ada gunanya, untuk mempunyai nilai praktis seperti untuk mendapatkan suatu keahlian yang dapat digunakan untuk mencari mata pencaharian, disamping itu perlu pula mengembgkan pribadi yang harmonis sebagai alat dukung dari profesi itu. Penambahan ilmu secara terus menerus diluar disiplin ilmu yang dipelajari yang memberi peluang kepada setiap orang memiliki orientasi aspek-aspek yang luas. Disinilah cakrawala baru mengisi kerangka pandangan dalam melihat jauh kedepan. Kalau ditelaah lebih dalam pola pendidikan seperti ini merupakan kebutuhan mendesak untuk dapat menghayati pola kelakuan yang berorientasi tujuan sesuai dengan kultur dan budaya bangsa.

Bagi wanita muda persyaratan ini juga dituntut tanpa pengecualian. Pilihan untuk menjadi wanita muda yang prefesional identik dengan memiliki etos kerja dan secara terus menerus meningkatkan diri melalui menuntut ilmu disamping menguasai ilmu  yang ada hubungannya dengan kehidupan bersama. Disamping itu untuk mempertahankan jati diri wanita sejati sebagaimana yang telah dikemukakan.

2.      Pilihan Nilai Budaya
Dalam proses pembangunan dan proses modernisasi sering terjadi kegoncangan nilai-nilai dan kesimpangsiuran norma-norma, kemerosotan nilai-nilai budaya. Untuk membentuk erosi kultural, ini seperti manusia semakin individualistis, dan tidak lagi dapat melihat kepentingan bersama tetapi kepentingan perorangan yang hanya dinikmati sejenak saja. Disinilah wanita muda sebagai generasi penerus ditantang untuk menjawab pertanyaan, adakah dalam kebudayaan Indonesia suatu  persediaan nilai-nilai yang dapat membantu memberikan pengarahan kepada generasi muda ?.

Ada dua kemungkinan jawabannya, pertama adalah anggapan tidak benar proses modernisasi membawa keharusan tidak lagi menggunakan nilai-nilai masa lampau seperti nilai-nilai tradisional. Jawaban yang kedua adalah mempertahankan nilai-nilai yang ada dengan konsekuensi banyak menghambat kaum wanita muda untuk berprestasi secara profesional.

Disinilah tugas generasi muda terutama wanita untuk mampu memilah-milah dengan melakukan pilihan-pilihan yang tepat sehingga citra wanita sejati tidak disesatkan oleh perubahan yang terjadi. Dalam proses memilah ini upaya-upaya mempertahankan jati diri wanita sejati tidak menjadi kabur, karena jelas wanita bisa menjadi seperti laki-laki. Norma-norma budaya dan kultural yang menghambat dapat diiliminasir tetapi bobot jati diri tidak berkurang bahwa kita wanita dengan segala kelebihannya dan kekurangannya. Tuntutan akan bisa mandiri dan rasionalitas juga harus dapat dipertahankan kalau ingin berkompetisi dangan laki-laki. Kita tidak akan menjadi super dalam gaya tetapi dapat super dalam menunjukkan prestasi. Untuk ini tidak mudah melawan pandangan dan citra wanita apa? Wanita harus dapat menunjukkan prestasi dua kali lipat dari prianya untuk dapat mengahapus citra tersebut. Tentunya dituntut juga kerja keras yang  kadang kala dua kali lipat, karena meraih sesuatu itu bagi wanita harus mengeluarkan energi ekstra. Bayangkan saja wanita biasa disugukan dan diberitahu ada dirumah apa yang dibuthkan, dan sekarang kita harus mencari sesuatu yang ingin dicapai dengan bersusah payah keluar rumah. Kelelahan wanita tidak ada yang mempertimbangkan, itu sesuatu keharusan, tetapi malah dianggap keterlampauan. Setidak-tidaknya akan tumbuh pula sikap acuh terhadap komentar orang lain terhadap apa yang dikerjakan wanita. Lagi-lagi dalam hal ini wanita dituntut bukan hanya kerja keras tetapi juga harus keras hati menghadapi masalah dan tantangan.



*Tulisan ini disampaikan pada Seminar dalam rangka peringatan Hari Kartini 1991, DPD KNPI TK-I Provinsi Sumatera Utara tanggal 11 Mei 1991, dengan judul asli SUATU TINJAUAN SOSIAL BUDAYA TERHADAP WANITA MUDA YANG PROFESIONAL

*ed: Ibnu Arsib Ritonga

0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Ibnu Arsib Ritonga | TNB