Oleh: Dr. Asma Affan
Seminar
yang diadakan ini dapat mengisi empat hal yang relevan bagi kepentingan masa
depan bangsa yang kiranya dapat dibebankan di pundak kaum wanita di masa depan
(generasi akan datang), yaitu :
1. Kemampuan
wanita untuk turut mengantisipasi kemaslahatan bangsa.
2. Peka
terhadap apa yang menjadi kepentingan bangsa dan kepentingan wanita itu sendiri
yang berbudaya Indonesia.
3. Peningkatan
keterampilan wanita sehingga wanita lebih berperan dan produktif dalam memenuhi
kebutuhan keluarganya.
4. Dengan
kemampuan yang dimiliki wanita diharapkan banyak peluang diperoleh wanita di
masa depan jika memasuki pasar tenaga kerja.
Dengan
kata lain dapat disimpulkan wanita di masa depan adalah wanita produktif baik
di dalam rumah tangganya maupun diluar rumah tangganya.
Untuk
mempersiapkan generasi muda akan datang tentu tidaklah semudah yang dituliskan
diatas kertas yang terbatas ini, apalagi suatu tinjauan sosial budaya. Hal ini
disebabkan budaya Indonesia yang beragam, dan memandang kedudukan wanita
menurut ukuran budaya itu masing-masing. Namun demikian dalam proses
modernisasi berupa inovasi pandangan dan prilaku, dan proses penyadaran
masyarakat menjadi faktor yang esensial baik dalam proses pembangunan maupun
dalam mencapai tujuan pembangunan. Kesadaran adalah merupakan landasan kokoh
bagi pembudayaan teknologi dan partisipasi institusional melalui pengayaan
informasi. Keseluruhan modernisasi adalah mencakup tiga dimensi pokok yaitu
menyangkut dimensi manusia meliputi, (1). Pengetahuan, (2). Sikap dan prilaku,
(3). Keterampilan.
Masyarakat
dalam proses modernisasi mengutamakan sikap hidup yang berorientasi kepada
prestasi sesuai dengan kebudayaan yang juga mengalami perubahan kepada konsep
rasionalitas. Oleh sebab itulah diperlukan bentuk visi kehidupan masyarakat
Indonesia di masa depan pada umumnya dan wanita Indonesia pada khususnya. Dari
bentuk perubahan visi inilah wanita Indonesia dapat membentuk kepribadiannya
untuk menjadi yang berpotensi dan produktif bagi turut menyumbang dalam
pembangunan bangsa. Pembangunan manusia yang dalam hal ini membina adanya
perubahan perilaku wanita Indonesia tidak berdiri sendiri tetapi terkait pada
struktur budaya di Indonesia tercinta ini (soft
ware). Keberhasilan pembinaan peningkatan kemampun wanita terletak pada
perwujudan perubahan sikap masyarakat dan keluarga serta perubahan sikap wanita
itu sendiri. Sebagai negara yang sedang berkembang kemajuan pembangunan belum
merata di Nusantara ini. Kenyataan menunjukkan bahwa wanita di kota-kota besar
lebih banyak mendapat peluang untuk mewujudkan apa yang menjadi cita-citanya
tanpa mendapat rintangan budaya yang berarti jika dibandingkan dengan wanita di
daerah pedesaan yang sebenarnya jumlahnya lebih dari sepertiga penduduk
Indonesia.
Sistem Pembinaan Wanita Muda
Sebagai
ilustrasi ringan dari kebudayaan Jawa ada nilai-nilai yang mendorong seseorang
berusaha untuk memperoleh kesejahteraan (mukti) antara lain dengan “ber-tapa-brata” terikat atau “prihatin” yang menekankan pada
latihan-latihan bathiniah. Kegunaannya orang tidak harus menyerah kepada nasib
dan tidak berusaha lagi, orang tidak boleh “narimo” (pasrah-ed) atau apathy (apatis-ed). Eksistensi tradisi ini meskipun
sangat sederhana tetapi bentuknya sudah mengalami perubahan sesuai dengan
perkembangan pada saat sekarang ini. Perubahan itu tidak saja dialaskan pada
unsur bathiniah saja tetapi lebih kepada perbuatan nyata, dan dimodifikasi
sedemikian rupa sehingga menjadi suatu apa yang dinamakan “ ethos kerja”.
Berarti disini terdapat nilai-nilai baru yang perlu dibudidayakan. Prihatin
harus diganti pengertiannya dengan rajin (taberi), tertib (nastiti), setya,
tumemen, cermat (gemi), kesemuanya ini jika dibudayakan pada diri sendiri dapat
mendorong status menusia sebagai anggota masyarakat produktif bukan menjadi
anggota masyarakat yang ikut-ikutan yang tidak jelas arah yang akan dicapainya.
Dengan budaya yang dimodifikasi pelaksanaannya, dimana dia berada sebagai
anggota masyarakat yang produktif, bukan saja ditinjau dari segi materi tetapi
lebih luas lagi yang dampaknya dapat dirasakan oleh masyarakat banyak.
Perubahan semacam inilah yang telah terjadi dalam suatu transisi perilaku
kearah yang lebih modern.
Ini
pula yang dikatakan sumber daya pribadi untuk usaha pembangunan. Sumber daya
pribadi yang diperlukan dari setiap pribadi wanita adalah perubahan konstruktif
yang memerlukan lebih banyak bersifat mendasar pada perubahan perilaku, yang
bukan hanya merasa memiliki kedudukan yang sama dengan pria yang telah diakui
secara hukum. Perubahan yang sifat mendasar ini ditekankan pada beberapa aspek
sebagai berikut :
a. Kesadaran
dan kepekaan wanita terhadap lingkungan dimana dia hidup bermasyarakat. Dalam
proses perubahan bermasyarakat dapat mengamati pertentangan nilai-nilai sebagai
konsekuensi dari pembangunan. Dapat melihat realitas baru yang memerlukan
adanya upaya-upaya mengadaptasikan diri dengan perubahan yang terjadi.
Indikator adanya perubahan dalam proses beradaptasi ini adalah :
1. Kesalahan
melihat situasi yang diiringi dengan adanya keinginan kemauan untuk merubah
diri dan masyarakat baik itu masyarakat yang lebih kecil seperti keluarga atau
masyarakat yang luas lagi.
2. Dengan
keadaan diri sendiri didorong untuk berpikir yang dimulai sendiri tetapi saat
untuk menerapkannya diri sendiri akan didorong untuk melaksanakannya secara
melembaga. Kalau sudah seperti ini adalah merupakan embrionya adalah gagasan
baru.
3. Gagasan
jelas tidak dapat dikerjakan sendiri, tetapi adanya orang lain untuk
merealisasikan gagasan, kita memerlukan bantuan pihak lain untuk
mengerjakannya.
Jika
proses ini tidak pada wanita maka berarti belum terjadi perubahan yang mendasar
perilaku kesadaran ikut membangun kecuali ikut-ikutan saja. Kalau dengan dasar
ikut-ikutan proses perubahan perilaku untuk dapat berproduktif yang dianggap
berarti bagi perubahan pembangunan keluar akan berjalan sangat lambat dan masa
transisi akan memakan waktu yang lebih panjang.
b. Solidaritas
sosial tidak lagi ditekankan pada ikatan primordial tetapi lebih ditekankan
rasionalitas, yang ditekankan pada apa yang dapat kita kerjakan bersama yang
sifatnya lebih menekankan pada fungsionalisasi, bukan menekankan pada siapa
kita-kita ini yang mau ikut dari pada orang lain karena pekerjaan ini dapat
menguntungkan kita saja.
Pada
hal yang pertama lebih menekankan pada keberhasilan bersama secara
berkesinambungan, sedangkan hal yang kedua keberhasilan untuk sementara. Pada
yang pertama pekerjaan lebih mementingkan keberhasilan institusional dari pada
keberhasilan perorangan. Kalau wanita dalam keluarga ingin berusaha catering, lebih baik mengaji orang
(mengajari-ed) dengan keuntungan
menjadi berkurang dari pada anak dikorbankan sekolahnya untuk absen keringanan
atau kelelahan sehingga tidak tersisa lagi waktu untuk belajar.
Berpikir
secara rasional seperti ini adalah suatu perubahan perilaku yang mendasar.
Berapa banyak pada saat proses pembangunan masih saja wanita tidak dapat
memperhitungkan suatu keuntungan jangka panjang. Sebaliknya bagi wanita yang
secara ekonomis berlebihan juga tidak dapat berpikir realistis dan rasional.
Uang dihabiskan untuk konsumtif bagi keluarga sehingga anak dalam keluarga
sudah biasa tahu ada, yang terlatih dirinya tidak mandiri dan tidak ada
perjuangan hidup untuk memikirkan orang lain atau masyarakat banyak yang masih
membutuhkan uluran bantuan orang lain. Rasa sosial sesamanya tidak dipupuk
dalam rumah-rumah tangga. Kalaupun itu dilakukannya bukan sebagai suatu
perilaku yang berkeinginan membangun, tetapi lebih berkeinginan untuk status
dan popularitas. Dari sisi ini nilai budaya adalah terdapat pada setiap individu
yang sejak kecil telah diresapi dengan nilai-nilai yang hidup di dalam keluarga
dan dalam masyarakatnnya sehingga konsepsi-konsepsi ini telah lama berakar
dalam jiwa mereka. Untuk merubahnya tidak dapat dalam waktu yang singkat.
Termasuk dalam hal ini kebiasaan perilaku yang telah menjadi sikap perilaku
pribadinya. Tidak terdapat gambaran perilaku yang positif yang berarti
memberikan dampak bagi keinginan orang lain dalam bermasyarakat. Sudah
membudaya baginya bermasyarakat adalah kalau menguntungkan diri pribadinya
lebih dahulu bukan berpikir bahwa, kalau masyarakat beruntung saya juga
termasuk di dalamnya mendapatkan keuntungan (Sartono Kartodirjo, 1987;
Koencaranigrat, 1974).
Mencari Identitas Diri
Sampai
saat ini masih saja didiskusikan pakar-pakar di Indonesia bahwa wanita tidak
mungkin mengerjakan sesuatu hanya dengan pikiran, yang berarti wanita lebih
dari laki-laki yaitu mengerjakan sesuatu merupakan kesatuan jiwa raga dan
perasaan. Dalam pernyataan jiwanya diikutkan seluruh jiwanya. Wanita menggunakan
budidaya kemampuannya ini dianggap tidak berdasarkan pikiran yang rasional. Oleh sebab itu wanita
yang mempelajari ilmu pengetahuan belaka dianggap sebagai saingan dari
laki-laki. Anehnya pada beberapa budaya daerah dalam masa transisi berpikir,
laki-laki dan wanita boleh maju tetapi tidak boleh setarap dengan mereka,
dengan sendirinya akan berkembang perilaku bahwa cakrawala wanita itu sempit
dan hanya berada disekitar rumah saja, meskipun mereka tidak pernah
kemana-mana. Oleh akibat perilaku ini mereka tidak suka melihat wanita memiliki
kemampuan dari mereka dan berupaya tidak memberikan peluang apapun kepada
wanita. Wanita itu identik dengan tidak mempunyai kemampuan, pengalaman berumah
tangga toh diberi dan disediakan segala-galanya.
Kalaulah
perubahan pandangan dapat berubah dan dapat menyadari dan merasakan bahwa sifat
hakiki wanita adalah seluruh kepribadiannya yaitu perpaduan jiwa yang selaras
dalam ikatan batin yang erat dapat dikembangkan tanpa pamrih, rasa keibuan
membuktikan diri bagi kebaikan manusia dalam keluarga sebagai anggota keluarga.
Jika coba menyelami hal ini akan disadari dua kekuatan timbal balik yang dapat
dipupuk menjadi wanita yang kuat jiwanya dan selalu menjaga keseimbangan dalam
berkorban untuk orang lain dan mau melihat kenyataan. Oleh sebab itulah wanita
tahan menderita, tahan terhadap perubahan yang menggoncang, tabah dan gigih.
Bagi
wanita muda jika milik pribadi ini dapat dikembangkan dengan sadar, akan
diperoleh sesuatu kekuatan yang sangat diperlukan bagi pembangunan bangsa.
Kekuatan ini adalah kekuatan yang tidak kenal menyerah, malahan menjadi suatu
kebutuhan jiwanya yang menjadi sendi
dasar tidak akan pernah menarik jika mengalami kegagalan. Wanita yang lupa dan
tidak mengerti akan kekuatan dirinya ini, akan mengalami perjuangan sangat
berat dalam mencari keseimbangan, dan merasa kehilangan identitas dirinya
sendiri dan membuangkan (meninggalkan-ed)
dengan sia-sia yang dimilikinya. Sifat hakiki jiwa wanita adalah keibuan yang
sifat utamanya “keralaan untuk berbakti”.
Kekuatan
ini jika dikombinasikan dengan kemampuan ingin mengetahui lebih banyak apa yang
terjadi diluar rumah dengnan menambah ilmu, maka wanita muda akan melatih
dirinya secara bertahap, dapat bekerja lebih profesional ditengah masyarakat
dan secara bertahap pula akan mendapatkan identitas diri. Indikator wanita muda
yang menemukan identitas diri adalah :
1. Mandiri,
yang berarti dapat mengambil keputusan sendiri dengan cara berpikir rasional,
dan tidak didasarkan pada emosi belaka.
2. Mempelajari
dan mengenal norma-norma dan ketentuan yang ada dalam menjalankan tugasnya
dirumah tangga dan di tengah masyarakat, sehingga hanya dapat mentoleransi apa
yang telah mendasar dalam hidup bermasyarakat yang lebih luas.
3. Cakrawalanya
luas, yang berarti segala sesuatu tidak saja dilihat bagi keuntungan pribadi
tetapi dilihat bagi keuntungan bersama dan kebahagiaan bersama.
4. Wanita
dapat membatasi keinginan pribadi, lebih-lebih lagi dengan perimbangan tidak
merugikan orang lain.
5. Wanita
dapat membatasi keinginan pribadi, lebih-lebih lagi dengan pertimbangan tidak
merugikan orang lain.
Menyadari bahwa budaya
masyarakat konsumen sering diberi ciri materialis dan sering digunakan istilah ini untuk mengungkapkan kemiskinan
rohani dan berperilaku mementingkan diri sendiri. (Hans – Deter Evers, 1988).
Kegiatan yang Profesional
Kata
professional sudah menjadi makanan kuping banyak orang setiap hari (sudah
sering didengarkan publik-ed). Pada
saat sekarang ini, segala sesuatu harus dikerjakan secara profesional dan dapat dipertanggung jawabkan mutunya
(hasil) dari pekerjaan itu. Pengertian professi adalah keahlian dan
keterampilan seseorang dalam melakukan suatu tugas dan tanggung jawab yang
diembannya, yang diperolehnya dari menuntut ilmu dan dari pengalaman. Melalu
kedua proses inilah diperoleh suatu produksi kerja yang dapat dipertanggung
jawabkan mutunya, baik pekerjaan yang bersifat pelayanan maupun yang bersifat
pekerjaan nyata.
Professionalisme
dapat diperoleh melalui :
1. Penguasaan
Ilmu Pengetahuan
Dalam
rangka turut mensuksekan pembangunan nasional, masalah tujuan pribadi dan
tujuan pembangunan dipandang saling isi mengisi dan tidak berlawanan. Agar
kedua tujuan itu terwujud secara simultan maka harus dikuasai dua jenis ilmu
pengetahuan, yaitu : (a). Studi umum dalam bidang “humanities”, yang tujuannya untuk dapat menjawab diri dan
pembangunan pada umumnya untuk apa dan ditujukan untuk siapa ?. pilihan tujuan
ini selalu terikat dalam sesuai serta proses memahami nilai-nilai kebudayaan
yang dapat diekspresikan sikap mental, pandangan hidup, gaya hidup dan falsafah
hidup. Dalam produksi selalu menggunakan nilai-nilai seperti prinsip efisiensi
dan rasionalitas. Rasionalitas tidak didasarkan pada teknokratis semata-mata
tetapi lebih disesuaikan dengan filsapat ideologis dan etis. Dalam proses
menuntut ilmu pengetahuan maka perlu kemampuan mendalam sesuatu diarahkan pada
persiapan untuk suatu yang ada gunanya, untuk mempunyai nilai praktis seperti
untuk mendapatkan suatu keahlian yang dapat digunakan untuk mencari mata pencaharian,
disamping itu perlu pula mengembgkan pribadi yang harmonis sebagai alat dukung
dari profesi itu. Penambahan ilmu secara terus menerus diluar disiplin ilmu
yang dipelajari yang memberi peluang kepada setiap orang memiliki orientasi
aspek-aspek yang luas. Disinilah cakrawala baru mengisi kerangka pandangan
dalam melihat jauh kedepan. Kalau ditelaah lebih dalam pola pendidikan seperti
ini merupakan kebutuhan mendesak untuk dapat menghayati pola kelakuan yang
berorientasi tujuan sesuai dengan kultur dan budaya bangsa.
Bagi
wanita muda persyaratan ini juga dituntut tanpa pengecualian. Pilihan untuk
menjadi wanita muda yang prefesional identik dengan memiliki etos kerja dan
secara terus menerus meningkatkan diri melalui menuntut ilmu disamping
menguasai ilmu yang ada hubungannya
dengan kehidupan bersama. Disamping itu untuk mempertahankan jati diri wanita
sejati sebagaimana yang telah dikemukakan.
2. Pilihan
Nilai Budaya
Dalam
proses pembangunan dan proses modernisasi sering terjadi kegoncangan
nilai-nilai dan kesimpangsiuran norma-norma, kemerosotan nilai-nilai budaya.
Untuk membentuk erosi kultural, ini seperti manusia semakin individualistis,
dan tidak lagi dapat melihat kepentingan bersama tetapi kepentingan perorangan
yang hanya dinikmati sejenak saja. Disinilah wanita muda sebagai generasi
penerus ditantang untuk menjawab pertanyaan, adakah dalam kebudayaan Indonesia
suatu persediaan nilai-nilai yang dapat
membantu memberikan pengarahan kepada generasi muda ?.
Ada
dua kemungkinan jawabannya, pertama adalah anggapan tidak benar proses
modernisasi membawa keharusan tidak lagi menggunakan nilai-nilai masa lampau
seperti nilai-nilai tradisional. Jawaban yang kedua adalah mempertahankan
nilai-nilai yang ada dengan konsekuensi banyak menghambat kaum wanita muda
untuk berprestasi secara profesional.
Disinilah
tugas generasi muda terutama wanita untuk mampu memilah-milah dengan melakukan
pilihan-pilihan yang tepat sehingga citra wanita sejati tidak disesatkan oleh
perubahan yang terjadi. Dalam proses memilah ini upaya-upaya mempertahankan
jati diri wanita sejati tidak menjadi kabur, karena jelas wanita bisa menjadi
seperti laki-laki. Norma-norma budaya dan kultural yang menghambat dapat
diiliminasir tetapi bobot jati diri tidak berkurang bahwa kita wanita dengan segala
kelebihannya dan kekurangannya. Tuntutan akan bisa mandiri dan rasionalitas
juga harus dapat dipertahankan kalau ingin berkompetisi dangan laki-laki. Kita
tidak akan menjadi super dalam gaya tetapi dapat super dalam menunjukkan
prestasi. Untuk ini tidak mudah melawan pandangan dan citra wanita apa? Wanita
harus dapat menunjukkan prestasi dua kali lipat dari prianya untuk dapat
mengahapus citra tersebut. Tentunya dituntut juga kerja keras yang kadang kala dua kali lipat, karena meraih
sesuatu itu bagi wanita harus mengeluarkan energi ekstra. Bayangkan saja wanita
biasa disugukan dan diberitahu ada dirumah apa yang dibuthkan, dan sekarang
kita harus mencari sesuatu yang ingin dicapai dengan bersusah payah keluar
rumah. Kelelahan wanita tidak ada yang mempertimbangkan, itu sesuatu keharusan,
tetapi malah dianggap keterlampauan. Setidak-tidaknya akan tumbuh pula sikap
acuh terhadap komentar orang lain terhadap apa yang dikerjakan wanita.
Lagi-lagi dalam hal ini wanita dituntut bukan hanya kerja keras tetapi juga
harus keras hati menghadapi masalah dan tantangan.
*Tulisan ini disampaikan pada Seminar dalam rangka
peringatan Hari Kartini 1991, DPD KNPI TK-I Provinsi Sumatera Utara tanggal 11
Mei 1991, dengan judul asli SUATU
TINJAUAN SOSIAL BUDAYA TERHADAP WANITA MUDA YANG PROFESIONAL
*ed: Ibnu Arsib Ritonga
0 komentar:
Posting Komentar