Kalaulah
kita menafsirkan bahwa yang disebut emansipasi adalah proses perkembangan ke arah
yang lebih baik dari sebelumnya, maka sudah tentu yang menjadi tolak ukur bagi
wanita untuk berkembang adalah bagaimana keberadaan dirinya sebelumnya.
Perkembangan ini mengakibatkan kemajuan yang dialami oleh wanita lebih naluriah
sifatnya.
Namun
mengapa emansipasi pada saat ini cenderung lebih mempunyai makna adanya
keinginan wanita untuk memiliki dan melakukan sesuatu sama seperti dapat
dimiliki dan dapat dilakukan oleh
laki-laki. Mengapa dunia laki-laki, hak laki-laki dan kewajiban laki-laki yang
menjadi tolak ukur? Jika sang wanita sendiri mempunyai interpretasi terhadap
makna emansipasi seperti di atas, maka sebenarnya sang wanita sendiri yang
menyelimuti kaumnya dengan suasana diskriminatif. Sedangkan kedudukan wanita
menurut ajaran Islam tertera di dalam surat An-Nahl ayat 97, yang artinya
sebagai berikut “Barangsiapa berbuat
kebaikan, baik laki-laki maupun perempuan, sedang dia itu mukmin, maka akan
kami berikan kehidupan yan baik”. Sudah jelas bahwa dalam Islam antara
wanita dan pria mempunyai kedudukan yang sama.
Pada
dasarnya bagi wanita muslimah emansipasi telah didapatkan sejak lima belas abad
yang lalu. Islam adalah satu-satunya agama yang memberikan hak-hak kepada
wanita, tidak menghinakan, tidak mendewakan, tidak pula menyamaratakan, tetapi
berdiri tegak diantara tiga aliran tersebut, yakni wanita mempunyai hak-hak
yang sesuai dengan asal kejadian mereka, yang cocok dengan keadaan mereka
sesungguhnya, dan kiranya layak dengan
tabiat yang ada pada mereka sesuai dengan kodrat dan iradat dari Allah SWT.
Islam
memberi hak yang sama antara pria dan wanita. Tetapi persamaan yang diberikan
oleh Islam berlainan dengan yang telah berlaku di dunia Barat. Tingkatan wanita
di sisi Allah tidak berbeda dengan tingkatan pria. Wanita boleh mengerjakan
segala apa yang dikerjakan oleh pria, asal mereka selalu ingat akan hukum-hukum
atau peraturan dan batas-batas yang ditetapkan oleh Islam. Dalam mengerjakan
tugas dan pekerjaan harus menjaga batas-batas yang telah ditentukan oleh Islam,
dan dalam keadaan bagaimanapun harus ingat selalu akan citra kewanitaannya.
Jika tidak, maka kehancuranlah yang menimpa pada diri mereka sendiri,
sebagaimana yang telah terjadi dalam lingkungan kaum wanita yang telah
melupakan nilai kewanitaannya.
Berbicara
emansipasi dalam Islam menurut Amir Hamzah Pane (salah seorang instrur HMI)
pada makalah yang disampaikannya pada acara sambung rasa, diadakan oleh KOHATI
Komisariat FMIPA USU Medan, dengan judul “Menanti
Kasih Ibu”. Beberapa keyakinan yang masih hidup sekarang ini bahkan telah
menjadi mytos yang terkadang
menempatkan posisi wanita sangat rendah adalah dengan mengatakan bahwa yang
pertama kali yang berhasil digoda oleh iblis dan dengan demikian menjadi
pendosa pertama sejak awal mula penciptaan manusia adalah Hawa, yang merupakan
simbolisasi keberadaan wanita pertama sekali. Keyakinan ini terus terang
merupakn sinkretisasi ajaran Islam dengan konsep-konsep keberadaan wanita yang
berasal dari peradaban Yunani Kuno, Arab
Jahiliyah dan warisan periode zaman Patriarchal. Dan sampai saat ini ternyata masih banyak orang yang mempunyai keyakinan seperti itu.
Al-quran
mengisahkan tentang Adam di surga, namun tidak mengatakan bahwa iblis atau ular
menggoda Hawa, lalu Hawa menggoda Adam. Al-quran tidak menggambarkan Hawa
sebagai terdakwa utama, tidak pula membela kesuciannya dari dosa. Allah SWT. berfirman dalam surat
Al-A’raf ayat 9, yang artinya : “Hai
Adam, bertempat tinggallah kamu dan isterimu di surga serta makanlah olehmu
kapan dan bagaimana saja kamu sukai”. Di mana saja Al-quran memaparkan hal
godaan Iblis, Ia selalu menggunakan kata ganti dalam bentuk ganda, yakni
menunjukkan dua orang. Dalam surat Al-A’raf ayat 20 Allah SWT. berfirman : “Fa waswasa lahuma-syaithaanu” (maka
setan mengganggu keduanya). Pada surat Al-A’raf 22 : “Fadallahumaa bi ghuruurin” (dan ia membujuk keduanya dengan tipu
daya), dan pada surat Al-A’raf ayat 21 : “Fa
qasamuhuma inni lakuma laminan naasihin” (dan dia bersumpah kepada keduanya
: Sesungguhnya aku adalah termasuk orang yang memberi nasehat kepada kamu
berdua)”.
Dengan
demikian dalam artian boleh juga kita katakan bahwa Al-quran juga menolak
konsep yang tersiar, baik pada masa lalu ataupun saat ini yang hidup pada
kalangan tertentu bahwa wanita merupakan sumber godaan dan dosa, sebagai
makhluk setengah iblis.
Citra Wanita
Istilah
citra, selalu dan sering digunakan dan dikaitkan dengan wanita. Dan bila anda
pernah menyimak baik-baik dari lagu citra yang diciptakan oleh Bimbo anda pasti
juga sudah tahu apa maksud dan tujuan lagu tersebut, dan begitu juga dengan
sebuah film yang berjudul dengan citra. Yang dikatakan dengan citra adalah
potret atau gambaran, bayangan seseorang tentang sesuatu; suatu cermin, gagasan
yang diwujudkan dalam lambang dan kata-kata. Misalnya : Citra bangsa Indonesia
ramah tamah, artinya gambaran atau bayangan tentang bangsa Indonesia adalah
ramah tamah. Juga citra wanita Indonesia sering juga diwujudkan dengan gambar
atau wajah seorang wanita yang mengenakan kain kebaya dan bersanggul.
Gambaran
umum tersebut tidak selamanya sesuai dengan kenyataan. Banyak orang Indonesia
yang tidak ramah-tamah dan banyak wanita Indonesia, bahkan pada umumnya tidak
mengenakan kain kebaya sehari-hari. Namun demikian, kita tetap menggambarkan
demikian. Mengapa? Karena itu kita anggap ideal, yang kita harapkan dari bangsa
Indonesia atau dari wanita Indonesia. Dapat juga itu merupakan ciri-ciri yang
khas, sebab bukanlah wanita bangsa lain tidak mengenakan kain kebaya dan
sanggul seperti wanita Indonesia?
Citra
tentang wanita merupakan cermin dari anggapan tentang wanita, maupun cermin
keadaan kaum wanita itu sendiri. Kita dapat menemukan anggapan yang
berbeda-beda tentang wanita, yang memberikan gambaran atau citra yang
berbeda-beda tentang wanita.
Gamabaran
yang sama dapat dilihat sebagai sesuatu yang berbeda-beda. Sebab, kesan yang
ditangkap oleh mata kita sebagai alat panca indera dapat berbeda-beda, perbdaan
itu disebut perbedaan tanggap indrawi (perception
= persepsi). Penyebab dari perbedaan tanggap indrawi tersebut dapat terjadi
karena latar belakang pengalaman, pengetahuan, perasaan, pendidikan dan
nilai-nilai serta kebiasaan dilingkungan masing-masing. Dan itu mempengaruhi
cara kita melihat sesuatu, akhirnya kesan kita terhadap rangsangan panca indra
yang sama, dapat berbeda-beda. Demikian pula anggapan kita tentang sesuatu yang
sama seperti wanita, kewanitaan dan keibuan dan berbeda-beda.
Setiap
orang mempunyai gambaran tertentu, kesan atau persepsi dirinya sendiri, yang
disebut citra diri (self image).
Biasanya citra diri dipengaruhi oleh cara pandang orang sekitarnya terhadap diri seseorang, misalnya kita merasa
cantik atau kurang cantik, biasanya karena orang disekitar kita mengatakan
begitu. Citra seseorang tentang dirinya sangat terpangaruh terhadap pola
pikirnya, yang akan menentukan sikapnya dan sikap ini membentuk perilaku orang
tersebut. Citra diri ini merupakan salah satu unsur dalam pembentukan watak dan
konsep diri seseorang.
Adalagi
satu istilah yang mengatakan bahwa wanita itu telah mempunyai citra baku. Citra
baku wanita (stereotype) adalah
gambaran yang sudah baku tentang wanita, seolah-olah demikianlah adanya, tidak
mudah untuk dirubah. Hal ini merupakan pantulan dari anggapan yang sudah
mengendap mungkin turun temurun berabad-abad. Karenanya, tak disadari lagi dan
diterima bagitu saja, dipercaya dan diikuti. Contohnya : “Citra baku wanita
adalah makhluk yang lemah, lembut, manja”. Citra baku ini mempengaruhi
pembentukan citra diri.
Antara Citra dan Fakta
Fakta
sesuatu yang nyata atau benar-benar ada secara fisik atau sebagai pengamalan
nyata dalam kehidupan . Sekarang kita tinjau apakah citra baku tentang wanita
itu sudah cocok dengan fakta-fakta kehidupan, cocok dengan kenyataan?
Citra
wanita : lemah, lembut, manja, karena adanya pandangan atau anggapan yang
demikian, maka biasanya wanita tidak diserahi pekerjaan atau jabatan yang
membutuhkan tanggung jawab, ketegasan, yang sifatnya teknis, sehingga citra
wanita yang lemah, lembut, manja tadi dijadikan alasan untuk tidak memberikan
kesempatan kepada wanita untuk menduduki
jabatan pemimpin. Karena wanita dianggap lemah, maka dikiranya wanita
perlu dilindungi, sehingga wanita tidak dapat mengerjakan yang berat dan
membutuhkan kekuatan fisik, seperti pekerjaan supervisi ke daerah-daerah, atau masuk Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (ABRI) dengan tugas di lapangan.
Mari
kita tinjau fakta keadaan wanita sekarang. Makhluk yang katanya “lemah, lembut,
manja” ini sehari-hari bekerja lebih lama dari lawan jenisnya, demikian kata
sebuah penelitian di pedesaan. Makhluk yang katanya “lemah, lembut, manja” ini
umurnya lebih panjang dua tahun dari lawan jenisnya, demikian kata statistik
kependudukan. Dan makhluk yang katanya “lemah, lembut, maja” ini sanggup
mengerjakan pekerjaan besar seperti pimpinan negara, pekerja kasar di jalan,
pekerjaan berani dipeperangan, serta perannya dalam kejahatan juga meningkat.
Fakta
“tentang wanita” ini biasanya kurang diperhatikan dan diabaikan saja karena
sudah “terpatri” citra baku wanita yang sebaliknya. Citra baku tentang wanita
ini sudah terpatri dalam pikiran masyarakat, sukar untuk merubahnya. Walaupun
pada kenyataannya kita dapat menunjuk adanya banyak wanita yang pandai dalam
ilmu eksakta, tetapi kalau citra baku masih kuat, maka reaksi orang adalah
“itukan hanya pengecualian”.
Dalam
masyarakat, anggapan-anggapan tersebut berkembang dan berubah terus menerus,
tetapi perubahan tersebut biasanya berjalan lambat sekali, dan sangat
membutuhkan suatu proses yang panjang, yang pada dasarnya adalah suatu proses
belajar.
Sekarang
ini peranan wanita hampir disegala bidang dituntut dalam pembangunan, dan
mengapa wanita terlibat serta berperan dalam pembangunan? Karena kedudukan dan
peranan wanita dalam pembangunan juga berkembang terus menerus, sehingga
kesediaan kaum wanita untuk belajar terus menerus, mengubah sikap dan tingkah
lakunya dalam pengejawantahan kedudukannya dalam menjalankan peranannya dalam
masyarakat.
Hal
ini tidak mudah, karena wanit bagian
mutlak yang tak terpisahkan dengan keluarga dan masyarakatnya. Setiap
masyarakat mempunyai nilai dan norma sosial, budaya serta adat istiadat yang
berbeda, yang mempengaruhi pula persepsi, cara memandang, anggapan dan citra
baku seseorang terhadap wanita. Oleh karena itu usaha untuk merubah sikap dan
tingkah laku wanita tidak dapat dipisahkan dari usaha untuk merubah sikap dan
tingkah laku warga masyarakat lainnya.
Upaya
untuk mengatasi adanya citra baku yang menghambat adalah dengan memberikan
kemungkinan untuk memilih yang lain (alternative).
Misalnya dengan adanya peran ganda dimana kepada wanita ditawarkan kemungkinan
yang terbuka dengan berbagai resiko yang perlu diketahui, sehingga wanita tidak
terjebak oleh peran-peran yang kurang serasih dan seimbang dengan keadaan dalam
lingkungan keluarga dan masyarakat.
Ed: Ibnu Arsib Ritonga, mahasiswa Fakultas Hukum UISU
Nb: Tulisan ini disadur dari Lembaga
Pers Mahasiswa Fakultas Hukum UISU (Komunikasi Almamater, Lembaga Pers
Mahasiswa (LPM) FH UISU, Medan 10 Desember 1987, hlm : 14-16)
Sumber gambar ilustrasi: http://barunagrosir.com/
0 komentar:
Posting Komentar