Wanita: Diantara Tuntutan Emansipasi dan Citra

Jumat, 13 Januari 2017 0 komentar
Kalaulah kita menafsirkan bahwa yang disebut emansipasi adalah proses perkembangan ke arah yang lebih baik dari sebelumnya, maka sudah tentu yang menjadi tolak ukur bagi wanita untuk berkembang adalah bagaimana keberadaan dirinya sebelumnya. Perkembangan ini mengakibatkan kemajuan yang dialami oleh wanita lebih naluriah sifatnya.
Namun mengapa emansipasi pada saat ini cenderung lebih mempunyai makna adanya keinginan wanita untuk memiliki dan melakukan sesuatu sama seperti dapat dimiliki  dan dapat dilakukan oleh laki-laki. Mengapa dunia laki-laki, hak laki-laki dan kewajiban laki-laki yang menjadi tolak ukur? Jika sang wanita sendiri mempunyai interpretasi terhadap makna emansipasi seperti di atas, maka sebenarnya sang wanita sendiri yang menyelimuti kaumnya dengan suasana diskriminatif. Sedangkan kedudukan wanita menurut ajaran Islam tertera di dalam surat An-Nahl ayat 97, yang artinya sebagai berikut “Barangsiapa berbuat kebaikan, baik laki-laki maupun perempuan, sedang dia itu mukmin, maka akan kami berikan kehidupan yan baik”. Sudah jelas bahwa dalam Islam antara wanita dan pria mempunyai kedudukan yang sama. 
Pada dasarnya bagi wanita muslimah emansipasi telah didapatkan sejak lima belas abad yang lalu. Islam adalah satu-satunya agama yang memberikan hak-hak kepada wanita, tidak menghinakan, tidak mendewakan, tidak pula menyamaratakan, tetapi berdiri tegak diantara tiga aliran tersebut, yakni wanita mempunyai hak-hak yang sesuai dengan asal kejadian mereka, yang cocok dengan keadaan mereka sesungguhnya, dan kiranya layak  dengan tabiat yang ada pada mereka sesuai dengan kodrat dan iradat dari Allah SWT.
Islam memberi hak yang sama antara pria dan wanita. Tetapi persamaan yang diberikan oleh Islam berlainan dengan yang telah berlaku di dunia Barat. Tingkatan wanita di sisi Allah tidak berbeda dengan tingkatan pria. Wanita boleh mengerjakan segala apa yang dikerjakan oleh pria, asal mereka selalu ingat akan hukum-hukum atau peraturan dan batas-batas yang ditetapkan oleh Islam. Dalam mengerjakan tugas dan pekerjaan harus menjaga batas-batas yang telah ditentukan oleh Islam, dan dalam keadaan bagaimanapun harus ingat selalu akan citra kewanitaannya. Jika tidak, maka kehancuranlah yang menimpa pada diri mereka sendiri, sebagaimana yang telah terjadi dalam lingkungan kaum wanita yang telah melupakan nilai kewanitaannya.
Berbicara emansipasi dalam Islam menurut Amir Hamzah Pane (salah seorang instrur HMI) pada makalah yang disampaikannya pada acara sambung rasa, diadakan oleh KOHATI Komisariat FMIPA USU Medan, dengan judul “Menanti Kasih Ibu”. Beberapa keyakinan yang masih hidup sekarang ini bahkan telah menjadi mytos yang terkadang menempatkan posisi wanita sangat rendah adalah dengan mengatakan bahwa yang pertama kali yang berhasil digoda oleh iblis dan dengan demikian menjadi pendosa pertama sejak awal mula penciptaan manusia adalah Hawa, yang merupakan simbolisasi keberadaan wanita pertama sekali. Keyakinan ini terus terang merupakn sinkretisasi ajaran Islam dengan konsep-konsep keberadaan wanita yang berasal  dari peradaban Yunani Kuno, Arab Jahiliyah dan warisan periode zaman Patriarchal. Dan sampai saat ini  ternyata masih banyak  orang yang mempunyai keyakinan seperti itu.
Al-quran mengisahkan tentang Adam di surga, namun tidak mengatakan bahwa iblis atau ular menggoda Hawa, lalu Hawa menggoda Adam. Al-quran tidak menggambarkan Hawa sebagai terdakwa utama, tidak pula membela kesuciannya  dari dosa. Allah SWT. berfirman dalam surat Al-A’raf ayat 9, yang artinya : “Hai Adam, bertempat tinggallah kamu dan isterimu di surga serta makanlah olehmu kapan dan bagaimana saja kamu sukai”. Di mana saja Al-quran memaparkan hal godaan Iblis, Ia selalu menggunakan kata ganti dalam bentuk ganda, yakni menunjukkan dua orang. Dalam surat Al-A’raf ayat 20 Allah SWT. berfirman : “Fa waswasa lahuma-syaithaanu” (maka setan mengganggu keduanya). Pada surat Al-A’raf 22 : “Fadallahumaa bi ghuruurin” (dan ia membujuk keduanya dengan tipu daya), dan pada surat Al-A’raf ayat 21 : “Fa qasamuhuma inni lakuma laminan naasihin” (dan dia bersumpah kepada keduanya : Sesungguhnya aku adalah termasuk orang yang memberi nasehat kepada kamu berdua)”.
Dengan demikian dalam artian boleh juga kita katakan bahwa Al-quran juga menolak konsep yang tersiar, baik pada masa lalu ataupun saat ini yang hidup pada kalangan tertentu bahwa wanita merupakan sumber godaan dan dosa, sebagai makhluk setengah iblis.

Citra Wanita
Istilah citra, selalu dan sering digunakan dan dikaitkan dengan wanita. Dan bila anda pernah menyimak baik-baik dari lagu citra yang diciptakan oleh Bimbo anda pasti juga sudah tahu apa maksud dan tujuan lagu tersebut, dan begitu juga dengan sebuah film yang berjudul dengan citra. Yang dikatakan dengan citra adalah potret atau gambaran, bayangan seseorang tentang sesuatu; suatu cermin, gagasan yang diwujudkan dalam lambang dan kata-kata. Misalnya : Citra bangsa Indonesia ramah tamah, artinya gambaran atau bayangan tentang bangsa Indonesia adalah ramah tamah. Juga citra wanita Indonesia sering juga diwujudkan dengan gambar atau wajah seorang wanita yang mengenakan kain kebaya dan bersanggul. 
Gambaran umum tersebut tidak selamanya sesuai dengan kenyataan. Banyak orang Indonesia yang tidak ramah-tamah dan banyak wanita Indonesia, bahkan pada umumnya tidak mengenakan kain kebaya sehari-hari. Namun demikian, kita tetap menggambarkan demikian. Mengapa? Karena itu kita anggap ideal, yang kita harapkan dari bangsa Indonesia atau dari wanita Indonesia. Dapat juga itu merupakan ciri-ciri yang khas, sebab bukanlah wanita bangsa lain tidak mengenakan kain kebaya dan sanggul seperti wanita Indonesia?
Citra tentang wanita merupakan cermin dari anggapan tentang wanita, maupun cermin keadaan kaum wanita itu sendiri. Kita dapat menemukan anggapan yang berbeda-beda tentang wanita, yang memberikan gambaran atau citra yang berbeda-beda tentang wanita.
Gamabaran yang sama dapat dilihat sebagai sesuatu yang berbeda-beda. Sebab, kesan yang ditangkap oleh mata kita sebagai alat panca indera dapat berbeda-beda, perbdaan itu disebut perbedaan tanggap indrawi (perception = persepsi). Penyebab dari perbedaan tanggap indrawi tersebut dapat terjadi karena latar belakang pengalaman, pengetahuan, perasaan, pendidikan dan nilai-nilai serta kebiasaan dilingkungan masing-masing. Dan itu mempengaruhi cara kita melihat sesuatu, akhirnya kesan kita terhadap rangsangan panca indra yang sama, dapat berbeda-beda. Demikian pula anggapan kita tentang sesuatu yang sama seperti wanita, kewanitaan dan keibuan dan berbeda-beda.
Setiap orang mempunyai gambaran tertentu, kesan atau persepsi dirinya sendiri, yang disebut citra diri (self image). Biasanya citra diri dipengaruhi oleh cara pandang orang sekitarnya  terhadap diri seseorang, misalnya kita merasa cantik atau kurang cantik, biasanya karena orang disekitar kita mengatakan begitu. Citra seseorang tentang dirinya sangat terpangaruh terhadap pola pikirnya, yang akan menentukan sikapnya dan sikap ini membentuk perilaku orang tersebut. Citra diri ini merupakan salah satu unsur dalam pembentukan watak dan konsep diri seseorang.
Adalagi satu istilah yang mengatakan bahwa wanita itu telah mempunyai citra baku. Citra baku wanita (stereotype) adalah gambaran yang sudah baku tentang wanita, seolah-olah demikianlah adanya, tidak mudah untuk dirubah. Hal ini merupakan pantulan dari anggapan yang sudah mengendap mungkin turun temurun berabad-abad. Karenanya, tak disadari lagi dan diterima bagitu saja, dipercaya dan diikuti. Contohnya : “Citra baku wanita adalah makhluk yang lemah, lembut, manja”. Citra baku ini mempengaruhi pembentukan citra diri.

Antara Citra dan Fakta
Fakta sesuatu yang nyata atau benar-benar ada secara fisik atau sebagai pengamalan nyata dalam kehidupan . Sekarang kita tinjau apakah citra baku tentang wanita itu sudah cocok dengan fakta-fakta kehidupan, cocok dengan kenyataan?
Citra wanita : lemah, lembut, manja, karena adanya pandangan atau anggapan yang demikian, maka biasanya wanita tidak diserahi pekerjaan atau jabatan yang membutuhkan tanggung jawab, ketegasan, yang sifatnya teknis, sehingga citra wanita yang lemah, lembut, manja tadi dijadikan alasan untuk tidak memberikan kesempatan kepada wanita untuk menduduki  jabatan pemimpin. Karena wanita dianggap lemah, maka dikiranya wanita perlu dilindungi, sehingga wanita tidak dapat mengerjakan yang berat dan membutuhkan kekuatan fisik, seperti pekerjaan supervisi ke daerah-daerah, atau masuk Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dengan tugas di lapangan.
Mari kita tinjau fakta keadaan wanita sekarang. Makhluk yang katanya “lemah, lembut, manja” ini sehari-hari bekerja lebih lama dari lawan jenisnya, demikian kata sebuah penelitian di pedesaan. Makhluk yang katanya “lemah, lembut, manja” ini umurnya lebih panjang dua tahun dari lawan jenisnya, demikian kata statistik kependudukan. Dan makhluk yang katanya “lemah, lembut, maja” ini sanggup mengerjakan pekerjaan besar seperti pimpinan negara, pekerja kasar di jalan, pekerjaan berani dipeperangan, serta perannya dalam kejahatan juga meningkat.
Fakta “tentang wanita” ini biasanya kurang diperhatikan dan diabaikan saja karena sudah “terpatri” citra baku wanita yang sebaliknya. Citra baku tentang wanita ini sudah terpatri dalam pikiran masyarakat, sukar untuk merubahnya. Walaupun pada kenyataannya kita dapat menunjuk adanya banyak wanita yang pandai dalam ilmu eksakta, tetapi kalau citra baku masih kuat, maka reaksi orang adalah “itukan hanya pengecualian”.
Dalam masyarakat, anggapan-anggapan tersebut berkembang dan berubah terus menerus, tetapi perubahan tersebut biasanya berjalan lambat sekali, dan sangat membutuhkan suatu proses yang panjang, yang pada dasarnya adalah suatu proses belajar.
Sekarang ini peranan wanita hampir disegala bidang dituntut dalam pembangunan, dan mengapa wanita terlibat serta berperan dalam pembangunan? Karena kedudukan dan peranan wanita dalam pembangunan juga berkembang terus menerus, sehingga kesediaan kaum wanita untuk belajar terus menerus, mengubah sikap dan tingkah lakunya dalam pengejawantahan kedudukannya dalam menjalankan peranannya dalam masyarakat.
Hal ini tidak mudah, karena wanit  bagian mutlak yang tak terpisahkan dengan keluarga dan masyarakatnya. Setiap masyarakat mempunyai nilai dan norma sosial, budaya serta adat istiadat yang berbeda, yang mempengaruhi pula persepsi, cara memandang, anggapan dan citra baku seseorang terhadap wanita. Oleh karena itu usaha untuk merubah sikap dan tingkah laku wanita tidak dapat dipisahkan dari usaha untuk merubah sikap dan tingkah laku warga masyarakat lainnya.
Upaya untuk mengatasi adanya citra baku yang menghambat adalah dengan memberikan kemungkinan untuk memilih yang lain (alternative). Misalnya dengan adanya peran ganda dimana kepada wanita ditawarkan kemungkinan yang terbuka dengan berbagai resiko yang perlu diketahui, sehingga wanita tidak terjebak oleh peran-peran yang kurang serasih dan seimbang dengan keadaan dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.


Ed: Ibnu Arsib Ritonga, mahasiswa Fakultas Hukum UISU

Nb: Tulisan ini disadur dari Lembaga Pers Mahasiswa Fakultas Hukum UISU (Komunikasi Almamater, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) FH UISU, Medan 10 Desember 1987, hlm : 14-16)
Sumber gambar ilustrasi: http://barunagrosir.com/

0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Ibnu Arsib Ritonga | TNB