Fokus Pada Ushul Bukan Pada Furu'iyah

Rabu, 04 Januari 2017 0 komentar
Oleh : Ibnu Arsib Ritonga*
Bangsa Indonesia saat ini dilanda banyak masalah. Dalam berbangsa dan bernegara banyak sekali konflik-konflik yang terjadi, baik itu konflik diranah hukum yang tak kunjung selesai, konflik dibidang ekonomi, politik, sosial-budaya, pendidikan hingga pada kasus-kasus SARA (suku, adat, ras dan agama). Masalah yang satu belum selesai ditangani oleh penegak hukum, kemudian timbul lagi masalah baru. Bahkan, ada suatu masalah sengaja dibuat, sudah diatur dengan tujuan mengalihkan isu publik. Masyarakat kita pun terkadang bingung, ditambah lagi media-media saat ini kurang independen dalam menyajikan informasi-informasi.
Pada zaman yang dipengaruhi kecanggihan informasi tekhnologi saat ini, kemaksiatan dan kemungkaran pun merajalela dengan mudahnya. Semua kalangan, baik dari anak-anak, kaum pemuda hingga kaum tua mayoritas sudah terpengaruhi dengan tekhnologi. Terkhususnya, anak-anak dan kaum pemuda Indonesia saat ini mudah sekali terpengaruh oleh hasutan-hasutan yang menyesatkan lewat media televisi dan media daring lainnya. Semua dikonsumsi tanpa ada proses penyaringan (filterisasi). Orangtua kita pun merasa kewalahan dalam menghadapi pengaruh-pengaruh buruk yang melanda anak-anak muda Indonsia sekarang ini.
Dari kondisi dan situasi buruk saat ini, seruan-seruan secara langsung untuk perbaikan pun digelar dimana-mana untuk menyelamatkan kaum muda. Yang dianggap tempat maksiat dihancurkan, rajia narkoba dan sejenisnya ada dimana-mana, sekolah memperketat peraturan, banyak terjadi pengekangan terhadap kaum pemuda. Dan banyak sekali metode-metode yang dilakukan untuk mengantisipasi pengaruh-pengaruh buruk, dimana metode-metode itu kurang tepat karena tindakan terlalu lansung dan kasar.
Dalam hal menanggapi, mengahadapi dan menyelesaikan masalah di Indonesia ini, kita masih sering melihat dari lahiriahnya saja, kita masih melihat dari furu’iyahnya (cabang). Kita jarang sekali memfokuskan pada intinya atau ushulnya (pokok). Kita sibuk mengurus yang lahiriah dan tidak pada pokoknya. Ingin langsung memesuki medan peperangan secara langsung dan ingin ikut terlibat dalam pertentangan lahiriah dengan dalih ingin merubah atau memperbaiki realitas dan menghapus kemungkaran.
Saya sangat setuju apa yang dikatakan Syaikh Musthafa Masyhur dalam kitabnya yang berjudul “Min Fiqh ad-Da’wah (Fiqh Dakwah)”. Beliau mengatakan lewat tulisannya, bahwa rasa tanggung jawab untuk merubah kenyataan masyarakat yang buruk dan hina serta terselubung dengan segala adat lapuk, pusaka usang jahiliyah yang penuh kerusakan, tidak berarti harus diubah serta merta dan memeranginya secara langsung. Hal ini menurut beliau, akan melibatkan para pendukungnya jatuh kedalam satu pertentangan parsial yang mungkin akan memburukkan bentuk usaha yang dilakukan.
Musthafa Masyhur menguatkan argumentasinya dengan memberikan contoh, jangan disangka (kata beliau), dengan meruntuhkan tempat yang dianggap manusia sebagai tempat keramat dan sakti akan dapat menghalangi orang awam untuk tidak melakukannya kembali. Jangan disangka, dengan meruntuhkan kedai-kedai arak dan tempat-tempat hiburan akan menghapus kemungkaran dan juga membersihkan masyarakat darinya.
Dewasa ini, pernah terjadi segolongan manusia meruntuhkan beberapa bangunan hiburan, tempat prostitusi dan kedai arak. Apa yang terjadi sesudah itu? Para pendukung maksiat dan kemungkaran semakin merajalela. Mereka cepat-cepat membangun kembali tempat yang lebih mewah, lengkap dengan fasilitas yang mewah pula dibanding tempat yang diruntuhkan sebelumnya. Bahkan mereka tidak segan-segan dengan kesombongannya mempropogandakan lewat surat kabar dan periklanan.
Hal di atas sebagai suatu misal, dan masih banyak lagi contoh-contoh lebih berbahaya dari itu yang mesti diperhatikan dan diwaspadai. Menurut Syaikh Musthafa Masyhur, merubah kemungkaran dan kemaksiatan yang menjadi masalah dengan jalan seperti ini kurang tepat. Tapi, jangan pula dianggap bahwa dengan tidak berbuat demikian kita dianggap mengakui masalah itu. Maksudnya, tidak ada gunanya kita berusaha memperbaiki cabang-cabang masalah sedangkan pokonya telah rusak dan binasa.
Jadi, apakah pokok-pokok (ushul) yang haru diperbaiki supaya kemungkaran dan kemaksiatan tidak merajalela di negeri ini? Menurut penulis, pokok yang harus dijaga, pertama adalah kekuatan aqidah atua keimanan. Kekuatan akidah ini menjadi landasan kita bahwa kemungkaran dan kemaksiatan sangat bertentangan dengan ajaran akidah dalam beragama. Ketakwaan menjadi jalan untuk menguatkan akidah dan keimanan kita. Kedua, mematuhi aturan-aturan yang tidak bertentangan dengan syariat agama. Ketiga, menjauhkan dari kita, teerkhusunya dari pemuda suatu paham pemikiran yang menyesatkan. Seperti virus paham pemikiran komunisme, materialisme, sosialisme, kapitalisme, nihilisme, relativisme, skeptisisme, sekularisme, pluralisme, liberalisme dan paham pemikiran sesat lainnya. Dan banyak lagi ussaha-usaha pokok yang harus ditanamkan pada masyarakat, terkhususnya generasi muda (bunga-bunga yang sedang mekar).
Pokok-pokok (ushul) yang disebutkan tadi harus dijaga dengan baik dan benar, supaya tidak terpengaruh dengan pokok-pokok kemungkaran dan kemaksiatan. Dengan pokok-pokok yang baik tadi kita akan kuat untuk menghancurkan kemaksiatan dan bisa mengatasi pokok-pokok permasalahan. Untuk menguatkan ushul tadi, harus ditanamkan pada diri seseorang secara pelan-pelan, berangsur-angsur, bertahap-tahap hingga menjadi kuat, hingga akhirnya dengan ijin Allah SWT dapat menegakkan kebenaran menyampingkan berhala-berhala kebathilan.
“Dan katakanlah: Yang benar telah datang dan yang bathil telah lenyap, njsesungguhnya yang bathil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap”. (QS. Al-Isra’: 81)


*Penulis adalah Mahasiswa UISU-Medan dan Pengelola Good Cadre Group

0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Ibnu Arsib Ritonga | TNB