Oleh
: Ibnu Arsib Ritonga*
Bangsa
Indonesia saat ini dilanda banyak masalah. Dalam berbangsa dan bernegara banyak
sekali konflik-konflik yang terjadi, baik itu konflik diranah hukum yang tak
kunjung selesai, konflik dibidang ekonomi, politik, sosial-budaya, pendidikan
hingga pada kasus-kasus SARA (suku, adat, ras dan agama). Masalah yang satu
belum selesai ditangani oleh penegak hukum, kemudian timbul lagi masalah baru.
Bahkan, ada suatu masalah sengaja dibuat, sudah diatur dengan tujuan
mengalihkan isu publik. Masyarakat kita pun terkadang bingung, ditambah lagi
media-media saat ini kurang independen dalam menyajikan informasi-informasi.
Pada
zaman yang dipengaruhi kecanggihan informasi tekhnologi saat ini, kemaksiatan
dan kemungkaran pun merajalela dengan mudahnya. Semua kalangan, baik dari
anak-anak, kaum pemuda hingga kaum tua mayoritas sudah terpengaruhi dengan
tekhnologi. Terkhususnya, anak-anak dan kaum pemuda Indonesia saat ini mudah
sekali terpengaruh oleh hasutan-hasutan yang menyesatkan lewat media televisi
dan media daring lainnya. Semua dikonsumsi tanpa ada proses penyaringan
(filterisasi). Orangtua kita pun merasa kewalahan dalam menghadapi
pengaruh-pengaruh buruk yang melanda anak-anak muda Indonsia sekarang ini.
Dari
kondisi dan situasi buruk saat ini, seruan-seruan secara langsung untuk perbaikan
pun digelar dimana-mana untuk menyelamatkan kaum muda. Yang dianggap tempat
maksiat dihancurkan, rajia narkoba dan sejenisnya ada dimana-mana, sekolah
memperketat peraturan, banyak terjadi pengekangan terhadap kaum pemuda. Dan
banyak sekali metode-metode yang dilakukan untuk mengantisipasi
pengaruh-pengaruh buruk, dimana metode-metode itu kurang tepat karena tindakan
terlalu lansung dan kasar.
Dalam
hal menanggapi, mengahadapi dan menyelesaikan masalah di Indonesia ini, kita
masih sering melihat dari lahiriahnya saja, kita masih melihat dari furu’iyahnya
(cabang). Kita jarang sekali memfokuskan pada intinya atau ushulnya
(pokok). Kita sibuk mengurus yang lahiriah dan tidak pada pokoknya. Ingin
langsung memesuki medan peperangan secara langsung dan ingin ikut terlibat
dalam pertentangan lahiriah dengan dalih ingin merubah atau memperbaiki
realitas dan menghapus kemungkaran.
Saya
sangat setuju apa yang dikatakan Syaikh Musthafa Masyhur dalam kitabnya yang
berjudul “Min Fiqh ad-Da’wah (Fiqh Dakwah)”. Beliau mengatakan lewat
tulisannya, bahwa rasa tanggung jawab untuk merubah kenyataan masyarakat yang
buruk dan hina serta terselubung dengan segala adat lapuk, pusaka usang
jahiliyah yang penuh kerusakan, tidak berarti harus diubah serta merta dan
memeranginya secara langsung. Hal ini menurut beliau, akan melibatkan para
pendukungnya jatuh kedalam satu pertentangan parsial yang mungkin akan
memburukkan bentuk usaha yang dilakukan.
Musthafa
Masyhur menguatkan argumentasinya dengan memberikan contoh, jangan disangka
(kata beliau), dengan meruntuhkan tempat yang dianggap manusia sebagai tempat
keramat dan sakti akan dapat menghalangi orang awam untuk tidak melakukannya kembali.
Jangan disangka, dengan meruntuhkan kedai-kedai arak dan tempat-tempat hiburan
akan menghapus kemungkaran dan juga membersihkan masyarakat darinya.
Dewasa
ini, pernah terjadi segolongan manusia meruntuhkan beberapa bangunan hiburan,
tempat prostitusi dan kedai arak. Apa yang terjadi sesudah itu? Para pendukung
maksiat dan kemungkaran semakin merajalela. Mereka cepat-cepat membangun
kembali tempat yang lebih mewah, lengkap dengan fasilitas yang mewah pula
dibanding tempat yang diruntuhkan sebelumnya. Bahkan mereka tidak segan-segan
dengan kesombongannya mempropogandakan lewat surat kabar dan periklanan.
Hal
di atas sebagai suatu misal, dan masih banyak lagi contoh-contoh lebih
berbahaya dari itu yang mesti diperhatikan dan diwaspadai. Menurut Syaikh
Musthafa Masyhur, merubah kemungkaran dan kemaksiatan yang menjadi masalah
dengan jalan seperti ini kurang tepat. Tapi, jangan pula dianggap bahwa dengan
tidak berbuat demikian kita dianggap mengakui masalah itu. Maksudnya, tidak ada
gunanya kita berusaha memperbaiki cabang-cabang masalah sedangkan pokonya telah
rusak dan binasa.
Jadi,
apakah pokok-pokok (ushul) yang haru diperbaiki supaya kemungkaran dan
kemaksiatan tidak merajalela di negeri ini? Menurut penulis, pokok yang harus
dijaga, pertama adalah kekuatan aqidah atua keimanan. Kekuatan akidah
ini menjadi landasan kita bahwa kemungkaran dan kemaksiatan sangat bertentangan
dengan ajaran akidah dalam beragama. Ketakwaan menjadi jalan untuk menguatkan
akidah dan keimanan kita. Kedua, mematuhi aturan-aturan yang tidak bertentangan
dengan syariat agama. Ketiga, menjauhkan dari kita, teerkhusunya dari pemuda
suatu paham pemikiran yang menyesatkan. Seperti virus paham pemikiran komunisme,
materialisme, sosialisme, kapitalisme, nihilisme, relativisme, skeptisisme,
sekularisme, pluralisme, liberalisme dan paham pemikiran sesat lainnya. Dan
banyak lagi ussaha-usaha pokok yang harus ditanamkan pada masyarakat,
terkhususnya generasi muda (bunga-bunga yang sedang mekar).
Pokok-pokok
(ushul) yang disebutkan tadi harus dijaga dengan baik dan benar, supaya
tidak terpengaruh dengan pokok-pokok kemungkaran dan kemaksiatan. Dengan
pokok-pokok yang baik tadi kita akan kuat untuk menghancurkan kemaksiatan dan
bisa mengatasi pokok-pokok permasalahan. Untuk menguatkan ushul tadi,
harus ditanamkan pada diri seseorang secara pelan-pelan, berangsur-angsur,
bertahap-tahap hingga menjadi kuat, hingga akhirnya dengan ijin Allah SWT dapat
menegakkan kebenaran menyampingkan berhala-berhala kebathilan.
“Dan katakanlah: Yang benar telah
datang dan yang bathil telah lenyap, njsesungguhnya yang bathil itu adalah
sesuatu yang pasti lenyap”. (QS. Al-Isra’:
81)
*Penulis adalah Mahasiswa UISU-Medan dan Pengelola Good Cadre Group
0 komentar:
Posting Komentar