Pagi yang begitu cerah. Suara burung-burung kecil bernyanyi-nyanyi,
berpindah tempat dari satu dahan pohon ke dahan yang lain. Suara-suara
kenderaan yang lewat masih jarang terdengar. Si Bapak tukang pencari butut
memanggil-manggil. Si tukang butut masih bekerja tidak kenal lelah padahal hari
itu hari libur, minggu. Si Bapak tukang butut tidak kenal kamus hari libur
kerja kecuali ia sakit, itu pun ia paksakan demi kelangsungan hidup. Seorang
pemuda itu baru pulang ke rumah kontrakannya dari kegiatan mengikuti pangajian
rutin setiap hari ahad ba’da shalat shubuh di salah satu masjid dekat
pemukimannya.
Masuk ke dalam rumah langsung menuju kamar. Pemuda itu duduk dan
kemudian masih memikirkan, mengingat-ingat kembali isi tausiyah yang
disampaikan seorang Ustadz yang menurutnya sangat banyak wawasan
keagamaannya. Ia mengingat tentang surah dalam Al-qur’an yang disampaikan.
Diapun meraih Al-qur’an terjemahan yang berada di atas meja belajarnya untuk
memastikan apakah yang disampaikan si Ustadz tadi betul demikian. Suara-suara
seorang ustadz itu pun masih terdengar syahdu dan jelas di telinga dan
ingatannya. Pemuda itu pun membuka dan membaca tulisan Arabnya juga terjemahan
bahasa Indonesia surah Al-Maidah ayat 1 dan 51, surah Al-A’raf
ayat 172. Dibacanya pelan-pelan dengan mencoba merasakan aura ayat suci itu dan
penuh penghayatan.
Pemuda itu pun merenungkan apa yang barusan dibacanya. Mengajak
dirinya sendiri untuk berdiskusi. Melemparkan pertanyaan-pertanyaan dalam hati.
Ia merasakan sesuatu. Pemuda itu pun menutup wajahnya dengan kedua telapak
tangannya sambil mengusap-usap. Ingin rasanya ia menangis, tapi ia tidak tahu
kenapa dan untuk apa ia menangis. Ingin rasanya ia berada di pantai untuk
meneriakkan sekeras-kerasnya apa yang membuatnya resah. Sekujur tubuhnya
menggigil ketika mengingat Hadist Rasululullah SAW. yang mengatakan bahwa kelak
ummat Islam akan seperti buih di lautan, banyak tapi tidak bermanfaat. Rasanya
memang seperti itu, ia melihat ummat Islam di negerinya, tanah pertiwi
Indonesia. Ia berpendapat dalam pikirannya ummat Islam di Indonesia sudah
seperti daging segar yang sedang diperebutkan oleh anjing-anjing.
“Ya...Allah. Ya...Rabb. Apa yang disabdakan oleh Rasul-Mu itu
ternyata benar” ucapnya dengan suara dengan vocal yang kurang jelas karena
mulutnya tertutup oleh telapak tangannya.
Pemuda itu pun melepaskan telapak tangannya dari wajahnya yang
sedikit basah karena matanya mengeluarkan air keyakinan akan sabda Nabi
Muhammad SAW.
Entah kenapa akhir-akhir ini dia memang terus merasakan keresahan
yang begitu hebat. Polemik-polemik atau pun musibah yang menimpa ummat Islam di
dunia sungguh sangat banyak. Belum usai pembantaian ummat Islam di Palestina
sudah mulai pembunuhan ummat Islam di Aleppo, belum usai kasus pembantaian
ummat Islam di Patani-Thailan terjadi lagi pembantaian dan pengusiran terhadap
ummat Islam Rohingnya di Myanmar, belum usai kasus penghinaan agama Al-Qur’an
oleh Gubernur non-aktif DKI Jakarta kembali terjadi bencana alam di Pidie
Jaya-Aceh dan juga kasus-kasus lainnya. Apakah Allah tidak sayang kapada ummat
Islam saat ini? Atau ummat Islam itu yang tidak konsisten pada ajaran-Nya?
Sehingga harus diberikan azab supaya ummat Islam berubah kemudian memperkuat ukhuwah
Islamiyah secara internasional dalam rangka mempertinggi derajat ummat
Muslim sedunia.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang katanya adalah pelindung
dunia, pejaga perdamaian, pelindung Hak Asasi Manusia (HAM), kenapa tidak dapat
berperan untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut. Terkesan PBB hanya menonton
layaknya seperti anak-anak yang sedang menonton film perang. Terkesan PBB menutup
mata pada kejadian-kejadian itu. Hal yang paling diresahkan dan secara langsung
dirasakan pemuda itu adalah ummat Islam yang terpecah-belah, terkhususnya ummat
Islam di Indonesia, sudah seperti daging segar yang disobek-sobek oleh beberapa
elit-elit dari Asing dan juga elit-elit yang hanya memenuhi kebutuhan nafsunya.
“Gajah-gajah yang berantam, semut-semut pun terjepit”. Cetusnya
dalam hati
Dia merasakan bahwa di negara yang sedang ia tempati, negara yang
berdasarkan Pancasila, telah terjedi pertentangan “Gajah antar Gajah” yang
membuat “Semut-semut terjepit”. “Semut-semut itu pun bingung manya yang benar
dan mana yang salah. Pemuka-pemuka yang dipercayai oleh mereka tidak jelas dan
ragu dalam menentukan sikap. Mayoritas pemuka-pemuka itu pun menjadi pelindung
bagi si “Gajah”. Hanya sedikit pemuka-pemuka yang berada di barisan
“Semut-semut”.
“Banyak sekali orang munafik (muka nabi fikiran kotor) di negeri
ini”. Kata-kata itu keluar dari mulutnya, entah kepada siapa kata-kata ia
tujukan.
Sungguh keresahan terus menyelemuti ketika ia merenungkan situa
kondisi di negeri ini. Pastinya bukan hanya dia saja, mungkin banyak sekali
kaum-kaum muda yang begitu resah kalau melihat kondisi negara saat ini, mungkin
juga sedemikian kaum tua. Rasa optimis dalam berbangsa dan bernegara terus
diselimuti rasa fesimis. Kejadian-kejadian dalam aktivitas masyarakat banyak
mengalami permasalahan yang dipengaruhi kecanggihan informasi tekhnologi,
terkadang penuduhan yang tidak sesuai. Banyak sekali kelompok atau perseorangan
yang dituduh anti-Pancasila ketika dirasa mengancam status kekuasaan
pemerintah. Ada yang dituduh kelompok radikalisme, kelompok teroris dan
penentang Pancasila. Ada lagi yang berpendapat seolah-olah Pancasila itu anti
agama. Padahal, Pancasila sangatlah keberadaan dan keberagaman agama di negeri
ini.
“Kenapa suatu ummat, kelompok, golongan atau perseorangan yang
menuntut keadilan hukum karena kepercayainya telah dinistakan kemudian dituduh
anti-Pancasila dan kemudian dituduh memecah belah dan menghancurkan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)? Kenapa pemerintah yang selama ini menjalin
dan bekerjasama dengan negara-negara komunis dan juga menjalin hubungan mesra
dengan negara-negara komunis atau juga negara-negara penghisap (kapitalis)
tidak dituduh anti-Pancasila atau orang yang menghianati Pancasila atau
menghancurkan NKRI? Bukankah Pancasila dari dahulu sangat bertentangan dengan
sistem kapitalis dan komunis?”. Suara pemuda itu sedikit keras membuat temannya
yang sedang tidur terganggu.
Keresahan pemuda itu pun tak terbendung. Aura kekritisannya pun
memuncak, semakin tajam dan keras. Mungkin, bisa jadi itu menjadi bom waktu
yang saat-saat bisa meledak. Jikalau tidak membahayakan diri pribadi
(disorientasi), bisa jadi pada orang lain. Pemuda itu pun mempunyai firasat
tidak sampai setengah abad lagi negara Pancasila ini akan di embargo, kalau
tidak ada perlawanan dari bangsanya. Mayoritas sumberdaya alam di negeri ini
telah dikuasai oleh pihak-pihak yang notabenenya bukan bangsa pribumi, kalau
pun itu dari bangsa sendiri, itu sifatnya penghisap, cukong-cukongnya asing.
Lihat, laut dan darat telah dikuasai pihak lain. Barang-barang haram
(Narkotika) dan barang-barang haram lainnya akan lebih gampang masuk ke
Indonesia untuk menghancurkan generasi muda bangsa Indonesia. Generasi yang
akan membela dan menyelamatkan negeri ini. Apa jadinya kalau pemuda-pemuda
negeri ini di rusak moralnya, etikanya, agamanya dan kecintaannya pada
negaranya.
“Akannkah agama hilang, Nasionalisme habis, Pancasila mati dan NKRI
terpecah-belah? Uuhhh...”. pemuda itu mengusap-usap wajahnya yang terlihat
merah, kemudian melemparkan sekeping logam ke arah cermin yang ada di kamarnya.
“Astagfirullah...”. pemuda itu beristigfar, cermin itu
terlihat garis-garis retak.
“Gelas...gelas, gelas pecah”. Temannya terbangun tak sadar
mengucapkan gelas pecah, kemudian tidur kembali.
Pemuda itu tersenyum melihat melakukan temannya itu. Kelakuan
temannya yang mengigo dan senyumnya sedikit mengobati keresahannya. Dan
berharap mendapat jalan petunjuk, obat keresahan yang dia rasakan dan optimisme
berbangsa dan bernegara.
*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum UISU Medan, Instruktur HMI
Cabang Medan dan pecinta ilmu pengetahuan.
0 komentar:
Posting Komentar