Keresahan Seorang Pemuda

Rabu, 04 Januari 2017 0 komentar
Oleh: Ibnu Arsib Ritonga
Pagi yang begitu cerah. Suara burung-burung kecil bernyanyi-nyanyi, berpindah tempat dari satu dahan pohon ke dahan yang lain. Suara-suara kenderaan yang lewat masih jarang terdengar. Si Bapak tukang pencari butut memanggil-manggil. Si tukang butut masih bekerja tidak kenal lelah padahal hari itu hari libur, minggu. Si Bapak tukang butut tidak kenal kamus hari libur kerja kecuali ia sakit, itu pun ia paksakan demi kelangsungan hidup. Seorang pemuda itu baru pulang ke rumah kontrakannya dari kegiatan mengikuti pangajian rutin setiap hari ahad ba’da shalat shubuh di salah satu masjid dekat pemukimannya.
Masuk ke dalam rumah langsung menuju kamar. Pemuda itu duduk dan kemudian masih memikirkan, mengingat-ingat kembali isi tausiyah yang disampaikan seorang Ustadz yang menurutnya sangat banyak wawasan keagamaannya. Ia mengingat tentang surah dalam Al-qur’an yang disampaikan. Diapun meraih Al-qur’an terjemahan yang berada di atas meja belajarnya untuk memastikan apakah yang disampaikan si Ustadz tadi betul demikian. Suara-suara seorang ustadz itu pun masih terdengar syahdu dan jelas di telinga dan ingatannya. Pemuda itu pun membuka dan membaca tulisan Arabnya juga terjemahan bahasa Indonesia surah Al-Maidah ayat 1 dan 51, surah Al-A’raf ayat 172. Dibacanya pelan-pelan dengan mencoba merasakan aura ayat suci itu dan penuh penghayatan.
Pemuda itu pun merenungkan apa yang barusan dibacanya. Mengajak dirinya sendiri untuk berdiskusi. Melemparkan pertanyaan-pertanyaan dalam hati. Ia merasakan sesuatu. Pemuda itu pun menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya sambil mengusap-usap. Ingin rasanya ia menangis, tapi ia tidak tahu kenapa dan untuk apa ia menangis. Ingin rasanya ia berada di pantai untuk meneriakkan sekeras-kerasnya apa yang membuatnya resah. Sekujur tubuhnya menggigil ketika mengingat Hadist Rasululullah SAW. yang mengatakan bahwa kelak ummat Islam akan seperti buih di lautan, banyak tapi tidak bermanfaat. Rasanya memang seperti itu, ia melihat ummat Islam di negerinya, tanah pertiwi Indonesia. Ia berpendapat dalam pikirannya ummat Islam di Indonesia sudah seperti daging segar yang sedang diperebutkan oleh anjing-anjing.
“Ya...Allah. Ya...Rabb. Apa yang disabdakan oleh Rasul-Mu itu ternyata benar” ucapnya dengan suara dengan vocal yang kurang jelas karena mulutnya tertutup oleh telapak tangannya.
Pemuda itu pun melepaskan telapak tangannya dari wajahnya yang sedikit basah karena matanya mengeluarkan air keyakinan akan sabda Nabi Muhammad SAW.
Entah kenapa akhir-akhir ini dia memang terus merasakan keresahan yang begitu hebat. Polemik-polemik atau pun musibah yang menimpa ummat Islam di dunia sungguh sangat banyak. Belum usai pembantaian ummat Islam di Palestina sudah mulai pembunuhan ummat Islam di Aleppo, belum usai kasus pembantaian ummat Islam di Patani-Thailan terjadi lagi pembantaian dan pengusiran terhadap ummat Islam Rohingnya di Myanmar, belum usai kasus penghinaan agama Al-Qur’an oleh Gubernur non-aktif DKI Jakarta kembali terjadi bencana alam di Pidie Jaya-Aceh dan juga kasus-kasus lainnya. Apakah Allah tidak sayang kapada ummat Islam saat ini? Atau ummat Islam itu yang tidak konsisten pada ajaran-Nya? Sehingga harus diberikan azab supaya ummat Islam berubah kemudian memperkuat ukhuwah Islamiyah secara internasional dalam rangka mempertinggi derajat ummat Muslim sedunia.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang katanya adalah pelindung dunia, pejaga perdamaian, pelindung Hak Asasi Manusia (HAM), kenapa tidak dapat berperan untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut. Terkesan PBB hanya menonton layaknya seperti anak-anak yang sedang menonton film perang. Terkesan PBB menutup mata pada kejadian-kejadian itu. Hal yang paling diresahkan dan secara langsung dirasakan pemuda itu adalah ummat Islam yang terpecah-belah, terkhususnya ummat Islam di Indonesia, sudah seperti daging segar yang disobek-sobek oleh beberapa elit-elit dari Asing dan juga elit-elit yang hanya memenuhi kebutuhan nafsunya.
“Gajah-gajah yang berantam, semut-semut pun terjepit”. Cetusnya dalam hati
Dia merasakan bahwa di negara yang sedang ia tempati, negara yang berdasarkan Pancasila, telah terjedi pertentangan “Gajah antar Gajah” yang membuat “Semut-semut terjepit”. “Semut-semut itu pun bingung manya yang benar dan mana yang salah. Pemuka-pemuka yang dipercayai oleh mereka tidak jelas dan ragu dalam menentukan sikap. Mayoritas pemuka-pemuka itu pun menjadi pelindung bagi si “Gajah”. Hanya sedikit pemuka-pemuka yang berada di barisan “Semut-semut”.
“Banyak sekali orang munafik (muka nabi fikiran kotor) di negeri ini”. Kata-kata itu keluar dari mulutnya, entah kepada siapa kata-kata ia tujukan.
Sungguh keresahan terus menyelemuti ketika ia merenungkan situa kondisi di negeri ini. Pastinya bukan hanya dia saja, mungkin banyak sekali kaum-kaum muda yang begitu resah kalau melihat kondisi negara saat ini, mungkin juga sedemikian kaum tua. Rasa optimis dalam berbangsa dan bernegara terus diselimuti rasa fesimis. Kejadian-kejadian dalam aktivitas masyarakat banyak mengalami permasalahan yang dipengaruhi kecanggihan informasi tekhnologi, terkadang penuduhan yang tidak sesuai. Banyak sekali kelompok atau perseorangan yang dituduh anti-Pancasila ketika dirasa mengancam status kekuasaan pemerintah. Ada yang dituduh kelompok radikalisme, kelompok teroris dan penentang Pancasila. Ada lagi yang berpendapat seolah-olah Pancasila itu anti agama. Padahal, Pancasila sangatlah keberadaan dan keberagaman agama di negeri ini.
“Kenapa suatu ummat, kelompok, golongan atau perseorangan yang menuntut keadilan hukum karena kepercayainya telah dinistakan kemudian dituduh anti-Pancasila dan kemudian dituduh memecah belah dan menghancurkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)? Kenapa pemerintah yang selama ini menjalin dan bekerjasama dengan negara-negara komunis dan juga menjalin hubungan mesra dengan negara-negara komunis atau juga negara-negara penghisap (kapitalis) tidak dituduh anti-Pancasila atau orang yang menghianati Pancasila atau menghancurkan NKRI? Bukankah Pancasila dari dahulu sangat bertentangan dengan sistem kapitalis dan komunis?”. Suara pemuda itu sedikit keras membuat temannya yang sedang tidur terganggu.
Keresahan pemuda itu pun tak terbendung. Aura kekritisannya pun memuncak, semakin tajam dan keras. Mungkin, bisa jadi itu menjadi bom waktu yang saat-saat bisa meledak. Jikalau tidak membahayakan diri pribadi (disorientasi), bisa jadi pada orang lain. Pemuda itu pun mempunyai firasat tidak sampai setengah abad lagi negara Pancasila ini akan di embargo, kalau tidak ada perlawanan dari bangsanya. Mayoritas sumberdaya alam di negeri ini telah dikuasai oleh pihak-pihak yang notabenenya bukan bangsa pribumi, kalau pun itu dari bangsa sendiri, itu sifatnya penghisap, cukong-cukongnya asing. Lihat, laut dan darat telah dikuasai pihak lain. Barang-barang haram (Narkotika) dan barang-barang haram lainnya akan lebih gampang masuk ke Indonesia untuk menghancurkan generasi muda bangsa Indonesia. Generasi yang akan membela dan menyelamatkan negeri ini. Apa jadinya kalau pemuda-pemuda negeri ini di rusak moralnya, etikanya, agamanya dan kecintaannya pada negaranya.
“Akannkah agama hilang, Nasionalisme habis, Pancasila mati dan NKRI terpecah-belah? Uuhhh...”. pemuda itu mengusap-usap wajahnya yang terlihat merah, kemudian melemparkan sekeping logam ke arah cermin yang ada di kamarnya.
Astagfirullah...”. pemuda itu beristigfar, cermin itu terlihat garis-garis retak.
“Gelas...gelas, gelas pecah”. Temannya terbangun tak sadar mengucapkan gelas pecah, kemudian tidur kembali.
Pemuda itu tersenyum melihat melakukan temannya itu. Kelakuan temannya yang mengigo dan senyumnya sedikit mengobati keresahannya. Dan berharap mendapat jalan petunjuk, obat keresahan yang dia rasakan dan optimisme berbangsa dan bernegara.


*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum UISU Medan, Instruktur HMI Cabang Medan dan pecinta ilmu pengetahuan.

0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Ibnu Arsib Ritonga | TNB