Cara Mengenal Allah

Kamis, 30 Maret 2017 0 komentar

Prinsip agama adalah keimanan kepada wujud Tuhan yang menciptakan alam semesta, dan bahwa perbedaan mendasar antara pandangan dunia Ilahi dan pandangan dunia Materialisme terletak pada ada tidaknya keimanan kepada Tuhan pencipta alam ini, maka upaya pertama yang perlu dijalani oleh seseorang pencari kebenaran sebelum segala sesuatunya, yaitu bagaimana ia memberikan jawaban terhadap pertanyaan apakah Allah itu ada ataukah tidak? Kalau ada, apakah Allah dapat dikenali?-peny.

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus menggunakan akal sehingga sehingga nanti akan dapat menemukan jawaban, positif atau negatif, yang betul-betul meyakinkan. Ketika jawaban itu positif, barulah kita akan membahas masalah-masalah berikutnya, yaitu masalah tauhid, keadilan Ilahi dan seluruh sifat Allah SWT. Sedangkan bila jawaban itu negatif yang berarti bukti atas kebenaran pandangan dunia materialisme, kita tidak perlu lagi membahas semua persoalan yang berkaitan dengan agama.

Pengetahuan Hudhuri dan Pengetahuan Hushuli

Dalam rangka mengenal Allah, ada dua macam pengetahuan di hadapan kita, yaitu pengetahuan hudhuri (presentif) dan pengetahuan hushuli (representatif). Pada pengetahuan hudhuri, seseorang dapat mengetahuan dan mengenal Allah dengan jalur hati dan batin (syuhudi, qalbi), tanpa perantara pemahaman-pemahaman yang berupa gambaran konseptual di benak. Jelas bahwa seseorang yang memiliki pengetahuan hudhuri mengenai Allah, sebagaimana yang diakui oleh para urafa’, tidak membutuhkan argumentasi rasional.
Tetapi, sebagai telah kami jelaskan, pengetahuan hudhuri atau syuhudi tidak dapat dikuasai oleh manusia biasa tanpa terlebih dahulu membina jiwanya melalui sair suluk Islami. Adapun tingkatan-tingkatan yang rendah dari pengetahuan ini, walaupun dapat dicapai oleh orang-orang biasa, tetapi karena biasanya ia tidak dilandasi kesadaran, tidaklah cukup untuk membentuk pandangan dunia yang berlandaskan kesadaran.
Pada pengetahuan hushuli, seseorang mengenal Allah melauli konsep-konsep universal seperti Sang Pencipta, Mahakaya, Mahatahu, Mahakuasa dan meyakini keberadaan-Nya. Kemudian, dia menggabungkannya dengan pengetahuan hushul lainnya hingga ia dapat memperoleh suatu pandangan dunia yang utuh. Semua pengetahuan yang didapatkan manusia dari studi rasional dan argumentasi filosofis, masuk ke dalam pengetahuan hushuli ini. Ketika manusia telah memiliki ilmu semacam ini, ia pun dapat mengenal Allah dengan ilmu hudhuri.
Pengetahuan Fitrah
Dalam hadis para imam atau ucapan kaum urafa’ seringkali kita menjumpai ungkapan seperti “pengenalan fitriah tentang Tuhan” atau “secara fitrah, manusia mengenal Tuhannya”. Untuk memahami ungkapan semacam ini, terlebih dahulu kita perlu menjelaskan kata fitrah. Kata ini berasal dari bahasa Arab yang berarti “sebuah bentuk penciptaan”. Sesuatu itu fitriah (dinisbahkan kepada fitriah) ketika bentuk penciptaan suatu makhluk menuntut sesuatu itu.
Dari sinilah kita dapat memperhatikan tiga karakteristik pada perkara-perkara fitriaah:
1.        Perkara-perkara fitriah adalah titik kesamaan bagi makhluk-makhluk satu spesis, kendati keberadaannya itu berbeda dari sisi kualitas, lemah dan kuatnya.
2.        Perkara-perkara fitriah selalu ada sepanjang hidup manusia. Dan tidak mungkin setiap makhluk mempunyai fitrah yang mengalami perubahan dan perbedaan dari satu masa ke masa.
Inilah fitrah Allah yang telah Dia ciptakan manusia atas dasar fitrah itu dan tidak mungkin mengalami perubahan bagi Allah. (QS. Ar-Rum: 30)
3.     Karena perkara-perkara fitriah itu sebuah kemestian dari penciptaan makhluk, ia tidak diusahakan melalui proses pembelajaran, walaupun untuk memperkuat dan mengembangkannya membutuhkan bimbingan dan arahan
Perkara-perkara fitri yang ada pada manusia dapat dibagi kepada dua macam: Pertama, pengetahuan-pengetahuan fitriah yang dimiliki oleh setiap orang tanpa memerlukan proses belajar. Kedua, kecenderungan-kecenderungan fitriah. Maka, jika pada seseorang terbukti adanya semacam pengetahuan tentang Allah (ma’rifatullah) yang tidak perlu proses belajar, pengetahuan itu dapat dinamakan pengenalan fitriah terhadap Allah (ma’rifatullah ‘alal fithrah). Apabila terbukti adanya kecenderungan kepada Allah dan kecondongan untuk menghambakan kepada-Nya pada setiap manusia, hal itu dapat dinamakan penghambaan fitriah kepada Allah.
Kebanyakan pemikir memandang agama dan kecenderungan kepada Allah termasuk keistemewaan yang ada pada setiap manusia, sebagai perasaan atau kesadaran beragama. Kami pun akan menambahkan di sini bahwa mengenal Allah dapat pula dikategorikan sebagai kelaziman fitrah setiap manusia.
Akan tetapi, sebagaimana dorongan fitrah dalam penghambaan diri kepada Allah itu bukan termasuk golongan yang berkesadaran (syu’uri), begitu pula dorongan fitriah dalam menganal Allah itu bukanlah pengetahuan yang berkesadaran, yaitu pengetahuan yang didasari oleh kesadaran di mana orang-orang biasa tidak lagi membutuhkan telaah rasional dalam rangka mengenal Allah.
Di samping itu, patut diperhatikan catatan berikut ini, bahwa pada setiap individu terdapat derajat pengenalan kepada Allah yang bersifat hudhuri (presentif) atau fitriah, walaupun derajat ini itu sangatlah rendah. Oleh karena itu, mungkin setiap orang akan meyakini adanya Allah hanya dengan merenung sejenak atau dengan bernalar secara sederhana. Kemudian ia akan berusaha berangsur-angsur untuk meningkatkan dan memperkokoh pengenalannya kepada Allah sampai mata batinnya terbuka, atau bahkan ia akan sampai kepada derajat syu’uriyah, yaitu pengetahuan yang penuh kesadaran.
Kesimpulannya, mengenal Allah secara fitriah yaitu bahwa hati seseorang dapat mengenal Allah, dan di dalam jiwanya terdapat potensi pengenalan ini secara sadar, yang kemudian dapat menjadi kuat. Akan tetapi, potensi-potensi fitriah ini pada orang biasa tidak sebegitu kuat disadari. Artinya, selain melalui fitrah, mereka tetap membutuhkan pembahasan rasional untuk dapat mengenal Allah secara sadar.
Cara-Cara Mengenal Allah
Untuk mengenal Allah, terdapat berbagai macam cara dan metode yang telah dijelaskan dalam buku-buku filsafat dan kalam, juga dalam hadis-hadis para imam suci serta dalam kitab-kitab samawi. Berbagai macam argumen yang disebutkan dalam kitab-kitab tersebut menjelaskan sisi dan dimensinya masing-masing. Misalanya dalam suatu buku, dijelaskan premis-premis secara empirik. Sedangkan buku yang lainnya menjelaskan premis-premis yang bersifat rasional semata. Bahkan ada sebagian buku yang membuktikan keberadaan Allah Swt secara langsung, sebagaimana juga dalam buku lainnya menjelaskan keberadaan sesuatu yang tidak membutuhkan selainnya (wajib al-wujud). Berdasarkan argumen ini, untuk menetapkan sifat-sifat Allah haruslah bersandar kepada argumentasi yang khas.
Sehubungan dengan argumen-argumen atas keberadaan Allah Swt tersebut, dapat kita umpamakan dengan jembatan-jembatan yang dipasang di atas sebuah sungai besar yang dilalui oleh orang-orang untuk menyebrang ke tepi lainnya. Salah satu dari jembatan itu dibuat dari kayu-kayu yang sederhana ditancapkan di atas sungai tersebut untuk tujuan agar setiap orang yang membawa barang-barang yang ringan dapat melewati dan berjalan di atas jembatan tersebut menuju ke tempat tujuannya dengan segera. Sedangkan jembatan yang lainnya dibuat dari batu-batu beton yang panjang memiliki kekuatan luar biasa, tetapi untuk melewati jembatan tersebut membutuhkan waktu yang lama.
Terdapat dalil-dalil yang dibangun bagaikan jalan-jalan yang terbuat dari besi yang kuat, berkelok, dan berliku serta harus melewati bukit dan dataran luas yang akan dilewati kereta-kereta yang membawa beban cukup berat.
Seseorang yang hanya memiliki pemikiran sederhana, ia dapat mengenal Tuhannya dengan cara yang sangat sederhana pula. Kemudian ia mempraktikkannya dalam beribadah. Adapun seseorang yang akal pikirannya mampu menampung beban keraguan, ia dapat melewati jalan-jalan terjal. Sementara orang-orang yang membawa tumpukan beban yang berat serta mampu menghadapi berbagai keraguan dan kritikan, maka ia harus melewati jalan yang dibuat di atas dasar-dasar yang kokoh, sehingga ia mampu bertahan ketika di tengah jalan mendapatkan berbagai tantangan, kesulitan, dan cobaan.
Keistimewaan Cara Mudah
Cara mudah untuk membuktikan adanya Allah Swt mempunyai beberapa keistimewaan. Pertama, bahwa cara ini tidak memerlukan premis-presmis yang sulit, rumit dan teknis, serta dapat dijelaskan dengan mudah dan gamblang. Oleh karena itu, semua orang – dengan berbagai tingkat pengetahuannya akan dapat memahaminya dengna baik.
Kedua, cara mudah ini akan mengantarkan manusia secara langsung untuk mengenal Allah, Sang Pencipta Alam Semesta Yang Mahakuasa. Berbeda dengan kebanyakan argumentasi filosofis dan teologis yang terlebih dahulu membuktikan keberadaan Zat Allah yang dikenal dengan Wajib al-Wujud. Setelah itu sifat-sifat Allah seperti ilmu, kuasa, dan sifat-sifat lainnya akan dibuktikan oleh argumentasi lainnya.
Ketiga, kesan utama cara ini ialah membangkitkan fitrah manusia dan membimbing pengetahuan fitriah mereka kepada jenjang kesadaran. Apabila seseorang berusaha mamahami cara mudah ini dengan baik, ia akan merasakan kondisi irfani, seolah-olah ia dapat menyaksikan kekuasaan Allah dalam menciptakan alam dan kejadian-kejadiannya beserta pengaturannya. Itulah pengetahuan yang ditunjukkan oleh fitrah seseorang di dalam mata batinnya.
Keistimewaan-keistimewaan di atas membuat para ulama dan tokoh-tokoh agama langit memilih cara ini guna menjelaskan dan membuktikan wujud Allah, serta mengajak masyarakat untuk menapakinya. Sedangkan kepada para pengikut setia, mereka mengajarkan metode argumentasi lain. Mereka pun menggunakan argumen-argumen yang rumit dalam perdebatan dan diskusi dengan para pemuka ateis atau para filosof materialis.
Penutup
Sesungguhnya cara mudah untuk menetapkan wujud Allah Swt dapat diperoleh dengan merenungkan ayat-ayat, tanda-tanda kekuasaan-Nya yang terhampar dan memenuhi jagad raya ini. Al-Qur’an mengungkapkannya dengan istilah tafakkur li ayatillah (memikirkan ayat-ayat Tuhan). Seakan-akan setiap individu dan fenomena ini, baik yang ada di bumi atau di langit atau pun yang ada pada diri manusia itu sendiri, merupakan dalil dan ayat-ayat Allah Swt yang memberikan petunjuk kepada hati untuk beranjak menuju pusat wujud yang hadir pada setiap ruang dan waktu.
Allah berfirman, Sesungguhnya Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. Demikian itulah Allah, maka mengapa kamu masih berpaling? (QS. Al-An’am: 95)
Jelas bahwa semakin banyak dan luasnya pengetahuan manusia dan semakin banyak sistem serta hubungan antara fenomena alam yang dapat disingkap, maka semakin jelas pula rahasia-rahasia penciptaan alam semesta ini. Akan tetapi, memikirkan fenomena alam yang sederhana melalui dalil-dalil yang jelas sudah cukup bagi hati yang tulus untuk membuktikan keberadaan wujud Sang Pencipta alam yang Mahakuasa.




Catatan: Tulisan di atas, disadur dari karya Muhammad Taqi Mishbah Yazdi dalam bukunya Amuzesye Aqayid (Iman Semesta: Merancang Piramida Keyakinan – terj).
Sumber gambar ilustrasi:http://www.satushof.com/tafsir/

0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Ibnu Arsib Ritonga | TNB