Islam: Ideologi Universal dan Komprehensif

Senin, 20 Maret 2017 0 komentar

Islam yang didasarkan pada ideologi seperti itu adalah suatu ideologi yang universal lagi realistis. Di dalam Islam, seluruh aspek kebutuhan manusia, tak soal apakah mereka bersifat keduniaan atau keilahian, bersifat fisik atau spiritual, invidual atau sosial, rasional atau emosional, telah dijadikannya pusat perhatian. Dipandang dari sudut suatu tertentu, ajaran-ajaran total Islam terbagi menjadi tiga bagian.

Pertama, asas keyakinan. Sehubungan dengan asas-asas ini, setiap individu Muslim wajib menyelenggarakan suatu studi ilmiah dan kesarjanaan sedemikian sehingga ia secara logis yakin pada kesahihannya, asas-asas ini tidak bisa diterima secara membuta sebagai bahan keimanan.
Kedua, asas moral. Yang merupakan ciri-ciri yang mesti dicapai oleh setiap Muslim dan yang kebalikannya mesti ia hindari. Yang mesti dilakukan oleh seseorang dalam hal ini ialah menahan nafsu dan membentuk wataknya.

Ketiga, perintah-perintah yang merupakan arah sehubungan dengan kegiatan-kegiatan objektif dan eksternal seseorang. Apakah kesemuanya itu ditujukan untuk memperbaiki kehidupan masa kini orang itu atau untuk meningkatkan status orang itu di dunia yang akan datang? Atau, apakah kesemuanya itu hanya berurusan dengan kehidupan pribadi atau sosial orang itu?
Asas keimanan di dalam Islam ada lima: monoteisme, keadilan, kenabian, dan imamah, serta kebangkitan.

Sehubungan dengan asas-asas keimanan ini, merupakan tugas setiap individu untuk mempelajari dan menyelidiki kesemuanya itu dan meraih keyakinan yang benar terhadap asas-asas itu. Islam tidak menganggap cukup untuk menganut dan menaati para pemimpin secara membuta. Islam menuntut setiap individu untuk menyelidiki kesahihan keimanannya secara pribadi. Ibadah, menurut Islam, tidak hanya terbatas pada ibadah fisik, seperti shalat dan berpuasa, atau kewajiban-kewajiban finansial, seperti zakat dan sedekah.

Masih ada satu jenis ibadah lain, dan itu adalah tafakkur, yang apabila diarahkan menuju kebangkitan dan pencerahan spiritual akan lebih unggul daripada bertahun-tahun ibadah fisik.

Kesalahan-Kesalahan Pemikiran dalam Pandangan Al-Qur’an
Al-Qur’an, yang menyeru pemikiran dan kesimpulan-kesimpulan yang saksama, yang menganggap tafakkur sebagai jenis ibadah dan tidak menganggap asas-asas keyakinan boleh diterima kecuali setelah didapatkan melalui analisis logis, telah memberikan perhatian kepada suatu permasalahan mendasar. Masalahnya adalah: bagaimana proses timbulnya kesalahan dalam pemikiran? Apakah yang menjadi sumber utama kesalahan dan dosa? Apa yang mesti dilakukan seseorang jika ia ingin berpikir secara benar dan tidak membuat kesalahan-kesalahan atau menyeleweng?
Di dalam Al-Qur’an, banyak penyebab kesalahan dan kekeliruan telah disebutkan, sebagai berikut:
1.      Mengandalkan Persangkaan Daripada Ilmu dan Kepastian.

      1. Al-Qur’an berkata:

Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkan dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). (QS. Al-An’am: 116)

Di dalam beberapa ayat, Al-Qur’an dengan tegas menentang manusia yang hanya mengandalkan persangkaan-persangkaan:

Dan jangan engkau ikuti apa-apa yang engkau tidak punya pengetahuan tentangnya. (QS. Al-Isra’: 36)

Di masa kini filsafat telah menjelaskan bahwa mengikuti persangkaan merupakan satu di antara penyebab-penyebab kesalahan. Seribu tahun setelah turunya Al-Qur’an, Descartes menganggap hal ini sebagai asas logis pertamanya. Ia berkata “...saya tidak akan menerima sesuatu sebagai benar (kebenaran-ed), apa yang tidak saya kenali secara jelas dan benar. Atau, secara lebih hati-hati, bisa kita katakan: untuk menhindari penyimpulan yang terlalu prematur dan prasangka dalam penilaian; dan saya tidak akan menerima segala sesuatu lebih dari yang telah tersaksikan pada pikiran saya secara jelas dan pasti sedemikian sehingga saya tidak memiliki keraguan sedikit pun tentangnya.” 

2. Hasrat dan Kecondongan (Bias) Pribadi

Demi memiliki penilaian yang benar, seseorang mesti terus memelihara sikap tidak memihak ketika memikirkan sesuatu; yakni, ia mesti mencoba untuk hanya mencari kebenaran dan mengakui hanya bukti-bukti yang otentik, sebagaimana seorang hakim yang menyelidiki suatu kasus tidak boleh memihak kepada salah satu yang terlibat. Jika hakim itu memiliki kecondongan pribadi kepada salah satu di antara kedua pihak yang terlibat, ia akan secara tidak sadar tertarik kepada bukti-bukti yang menguatkan kelompok tersebut dan tidak akan mampu melihat bukti-bukti yang menguatkan kelompok lainnya, dan hal ini menyebabkan hakim itu membuat suatu kesalahan.

Jika manusia tidak menghindari di dalam menolak atau menegaskan suatu argumentasi dan jika kecondongan pribadinya tertuju pada salah satu pihak, secara tidak sadar ia akan menilai sesuatu sesuai dengan kecenderungan pribadinya. Inilah sebabnya mengapa Al-Qur’an menganggap kecondongan pribadi, seperti mengandalkan kecurigaan, merupakan salah satu penyebab penyimpangan dari kebenaran. Dalam Al-Qur’an dikatakan:

Mereka tidak mengikuti apa-apa kecuali persangkaan dan hasrat mereka. (QS. Al-Najm: 23)

3. Ketergesa-gesaan

Membuat penilaian dan komentar membutuhkan sejumlah bukti; dan jika bukti tidak cukup, setiap keputusan akan dibuat secara tergesa-gesa dan bisa menyebabkan timbulnya kesalahan. Al-Qur’an berulang-ulang mengisyaratkan keterbatasan pengetahuan manusia dan ketidak-cukupan ilmunya untuk membuat beberapa penilaian penting tertentu dan menganggap pernyataan-pernyataan dogmatis tentang hal ini sebagai hal-hal yang paling tidak bijaksana. Al-Qur’an berkata:

“... dan engkau tidak mengetahuinya kecuali sedikit.” (QS. Al-Isra’: 85)

Imam Ja’far Al-Shadiq r.a. berkata, “Di dalam Al-Qur’an, Allah melancarkan seruan yang khusus kepada abdi-abdi-Nya dan menyuruh mereka dengan dua ayat, yang satu ialah agar mereka tidak menegaskan sesuatu kecuali mereka yakin tentangnya (tergesa-gesa dalam menegaskan), dan yang lain adalah bahwa mereka mesti menolak segala sesuatu kecuali mereka telah yakin tentangnya (tergesa-gesa dalam menolak).” Di dalam salah satu ayat suci, Allah SWT. berfirman:

Maka datanglah sesudah mereka generasi (yang jahat) yang mewarisi Taurat, yang mengambil harta benda dunia yang rendah ini, dan berkata: “Kami akan diberi ampun.” Kelak jika datang kepada mereka harta benda dunia sebanyak itu (pula), niscaya mereka akan mengambilanya (juga). Bukankah perjanjian Taurat sudah diambil dari mereka, yaitu bahwa mereka tidak akan mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar, padahal mereka telah mempelajari apa yang tersebut di dalamnya? Kampung akhirat itu lebih baik bagi mereka yang bertakwa. Maka apakah kamu sekalian tidak mengerti? (QS. Al-A’raf: 169)

Di dalam ayat lain Allah SWT. berfirman:

Yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna padahal belum datang kepada mereka penjelasannya. Demikianlah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (rasul). Maka perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. Yunus: 39)

4. Tradisionalisme dan Obsesi Masa Lampau

Karena fitrahnya, jika manusia menghadapi suatu pemikiran atau gagasan tertentu yang telah diterima oleh genarasi-generasi terdahulu, ia cenderung menerimanya tanpa bertanya. Al-Qur’an menyuruh kita untuk tidak menerima kepercayaan-kepercayaan dan gagasan-gagasan yang pernah diterima oleh para leluhur kita tanpa menimbangnya dengan kearifan, dan juga mengingatkan kita untuk menumbuhkan pemikiran bebas di dalam menilai kepercayaan-kepercayaan masa lampau. Dalam Surah An-Nisa’: 170, Allah SWT. berfirman:

Wahai manusia, sesungguhnya telah datang rasul (Muhammad) itu kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Tuhanmu, maka berimanlah kamu, itulah yang lebih baik bagimu. Jika kamu kafir, (maka kekafiran itu tidak merugikan Allah sedikit pun) karena sesungguhnya apa yang di langit dan di bumi itu kepunyaan Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.

5. Penyembahan (Pemujaan) kepada Hero

Sebab lain dari penyelewengan pemikiran adalah kecenderungan kepada para hero. Karena keagungan kepribadian mereka, para manusia agung masa lampau maupun kini akan memengaruhi pemikiran, keputusan, dan hasrat orang lain. Pada kenyataannya, ia mendominasi pemikiran maupun hasratnya. Orang berpikir dan menetapkan keputusan seperti apa yang dilakukan oleh para hero ini. Manakala menghadapi mereka, orang akan kehilangan kebebasan berpikir dan membuat keputusan.

Al-Qur’an telah menyeru kita kepada kebebasan berpikir. Ia menganggap sikap kepasrahan buta kepada manusia agung sebagai penyebab kesengsaraan abadi. Demikianlah, Al-Qur’an mengutip ucapan orang-orang sesat yang pada hari kebangkitan nanti: “Ya Tuhan,... kami hanyi mengikuti pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, hingga kami tersesat begini...” (QS. Al-Ahzab: 67)


Sumber Pemikiran dalam Islam

Al-Qur’an yang menganjurkan perenungan, selain mengingatkan terhadap penyelewengan pemikiran, menyuguhkan pula sumber-sumber pemikiran. Maksudnya, Al-Qur’an menunjukkan masalah-masalah yang perlu diteliti oleh manusia dan digunakan sebagai sumber pengetahuan.

Secara umum, Islam menentang penyia-nyiaan energi mental untuk berbagai masalah yang tak menghasilkan apa pun kecuali kepenatan mental; yakni, segala sesuatu yang manusia tak mampu menyelidikinya, sesuatu yang tidak berharga baginya.

Nabi suci menjelaskan bahwa jenis pengetahuan yang eksistensi atau non-eksistensinya tidak membuat perbedaan terhadap kehidupan manusia adalah sia-sia belaka. Tetapi, ia mendorong manusia untuk mencari semua pengetahuan yang berguna bagi manusia.

Al-Qur’an telah memaparkan tiga subjek yang bermanfaat untuk dipikirkan manusia:

1. Alam

Sepanjang kandungan Al-Qur’an, terdapat banyak ayat menyebutkan tentang alam, seperti bumi, langit, gemintang, matahari, bulan, awan, hujan, perjalanan kapal di lautan, tumbuhan, hewan, dan sebagainya. Singkatnya, semua fenomena berwujud yang disebutkan sebagai masalah-masalah yang dianjurkan untuk kita pikirkan secara mendalam dan yang daripadanya kita menyusun kesimpulan. Kita ambil sebuah ayat sebagai contoh: “Perhatikanlah olehmu wahai manusia, akan semua yang ada di langit dan di bumi ini.” (QS. Yunus: 101)

2. Sejarah

Terdapat banyak ayat di dalam Al-Qur’an yang mengajak kita untuk mempelajari perihal nenek moyang dan mengenalkan sejarah mereka sebagai suatu sumber pengetahuan. Menurut Al-Qur’an, sejarah manusia ber-evolusi menuruti serangkaian hukum dan prinsip. Keagungan, kesukaran, keberhasilan, kegagalan, kegembiraan, dan kemalangan yang pernah terjadi dalam sejarah memiliki aturan yang sistematis dan saksama. Dengan mengetahui aturan-aturan ini, kita pun akan dapat memengaruhi kehidupan kita serta kehidupan orang lain. Di bawah ini adalah salah satu contohnya:

Berbagai sistem telah lewat sebelum kamu. Hendaklah kamu menjelajahi bumi dan lihatlah bagaimana akibat mereka yang mengingkari rasul-rasul. (QS. Ali ‘Imran: 137)

3. Jiwa Manusia

Al-Qur’an menyebutkan jiwa manusia sebagi suatu sumber khas pengetahuan. Menurut Al-Qur’an, seluruh alam raya ini merupakan manifestasi Allah. Di dalamnya terdapat tanda-tanda berbagai bukti untuk mencapai kebenaran. Al-Qur’an mendefinisikan dunia eksternal sebagai al-ayat dan dunia internal sebagai jiwa; dan dengan cara ini mengingatkan kita akan pentingnya jiwa manusia. Ungkapan tanda-tanda, dan jiwa-jiwa itu di dalam kepustakaan Islam bersumber dari pernyataan berikut:

Kami akan tunjukkan kepada mereka tanda-tanda Kami dari yang terbentang di horizon ini dan dari jiwa mereka sendiri, sehingga tahulah mereka akan kebenaran itu. (QS. Fushshilat: 53)

Immanuel Kant, filosof Jerman itu, dalam salah satu pernyataannya yang tersohor dan dipahatkan dalam batu nisannya, berkata: “Ada dua hal yang memenuhi pikiran dengan keajaiban yang senantiasa bertambah dan yang semakin sering menarik pikiran ke arahnya: langit yang bertabur bintang di atasku dan hukum moral dalam diriku.”





NB: Tulisan di atas adalah tulisan Ayatullah Murthada Muthahhari dalam bukunya yang berjudul “Manusia dan Agama”. Penerbit Mizan, Bandung: 2007, Hal: 119-126.


Posted by: Ibnu Arsib Ritonga

Sumber gambar ilustrasi: https://yourpakistan.wordpress.com/

0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Ibnu Arsib Ritonga | TNB