Oleh: Muhammad Ridho P.O.*
Di salah satu desa, daerah
tanah Melayu, tampak gunung lebat dikelilingi pohon dan kebun penduduk sekitar.
Di puncak gunung, tanah datar berdiri sebuah rumah sederhana milik seorang
pendekar bertuah, tak sedikit masyarakat asing yang menantang beliau, apa lagi
pada masa indonesia dalam kekuasaan tentara Belanda yang kejam merampas hak
pribumi dengan semena-mena. Kekayaan alam yang terkandung di tanah-tanah desa
seakan memanggil pemerintahan Belanda untuk menguasahi setiap tempat desa itu.
Perlawanan dilakukan
sekuat mungkin oleh masyarakat, akan tetapi dengan kamampuan dan persenjataan
yang minim membuat banyak penduduk desa tak abadi di tempat. Tak ada yang berani
menentang kekuasaan penjajah masa itu. Hanya usap tangis dan kesengsaraan
menemani masa-masa hidup menuju hanyat.
Di sebuah rumah gubuk
kecil, lahir seorang anak lelaki yang yang tampan, ia dirawat dengan penuh
kasih sayang yang sangat melekat di jiwanya, sikap dermawan selalu diajarkan
oleh seorang ibunya, sedangkan sang ayah menjadi budak Belanda di negeri
sendiri. Kehidupan seperti ini tak adil di benaknya, tampak mayat-mayat bergelimpangan
di jalan setapak di tengah hutan.
Menginjak usia remaja,
sang anak dikirim ke tanah Jawa sebagai pekerja tambang emas. Pecutan demi
pecutan pedih terasa menghempas punggung, lagi-lagi tak ada yang berani melawan
pemerintahan Belanda masa itu. Dengan bermodalkan nekat pemuda itu diam-diam
pergi meninggalkan pertambangan malam itu. Entah kearah mana ia berjalan
menyusuri setiap daerah Jawa yang ia tidak ketahui. Badan terasa lelah, seakan
mati sekitar tubuh terkapar pada semak-semak jalan setapak.
Tak sadar pemuda itu
telah berada dalam gubuk tua yang berada di tengah hutan. Enatah siapa yang
membawanya dan sampai pada akhirnya bertemu dengan sosok kakek tua dengan
membawa tanaman kebun memasuki gubuk. Rasa terima kasih yang mendalam sangat
terasa oleh pemuda terebut, dengan mata yang berlinang ia menceritakan semua
kejadian yang ia alami pada sang kakek.
Dengan rasa terima kasih,
pemuda itu memutuskan untuk tinggal bersama kakek itu, sekalian membantu sang
kakek, membalas kabaikan kakek dan belajar hal-hal baru bersamanya.
Di siang hari yang
terik, pemuda itu menanam dan memanen beberapa tumbuhan yang tumbuh, tak
sengaja pemuda itu melihat sang kakek dengan menggerakkan beberapa jurus silat.
Tampak juga sang kakek yang dapat mematahkan benda keras yang tak mampu
dilakukan orang biasa.
Dengan rasa kagum
pemuda itu menghampiri sang kakek yang sedang berlatih, berharap si kakek mau
mengajarkan jurus-jurus silat yang sakral, mata berbinar-binar, pemuda itu
memohon pada kakek agar mengizinkan ia menjadi muridnya. Setelah mendapat izin
dari sang kakek, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, mulai dari ayam,
sirih, dan lain-lain. Pemuda itu pun segera memenuhi syarat yang
diperintahkan sang kakek, setelah semua syarat terpenuhi pada saat itu juga ia
menjadi murid kakek tua itu.
Keseharian pemuda itu
hanyalah berkebun dan berlatih silat pada malam hari. Rasa sakit dan lelah tak
menjadi halangan untuk ia dapat menjadi pendekar hebat seperti sang kakek. Satu
yang ada dalam benak pemuda itu hanyalah mencari cara agar dapat melawan
penjahat-penjahat Belanda yang kini menguasahi tempat ia tinggal.
Beberapa tahun telah
dilewati pemuda itu dan kini ia telah dewasa dan siap pergi menjalankan tujuan
yang tertancap pada jiwanya. Beberapa tes telah pemuda itu lewati dan tibalah
pada tes terakhir ia harus mampu
mengalahkan sang kakek agar ia dapat lulus sebagai pendekar sakti.
Sangat sulit memang
mengalahkan kemampuan sang gurunya itu, walaupun usianya tua, tetapi tenaganya
sangat kuat dibandikan pemuda itu, jatuh bangun, pukulan dan tendangan pemuda
itu terima dari kakek yang kini menjadi lawannya. Akan tetapi pemuda itu tak
menyerah sampai disitu, ia terus berjuang dan membuktikan bahwa ia mampu mendapat
gelar sebagai pendekar.
Kekuatan yang besar
tiba-tiba muncul pada diri pemuda itu, dan membuat sang kakek kewalahan
melawannya dan sampai pada akhirnya kakek tersebut menyerah dan mengakui
kekuatan yang tersimpan pada pemuda itu yang melebihi kemampuan sang kakek.
Pada malam hari, tiba
pada akhirnya pemuda itu dikecer menandakan pemuda itu telah lulus dalam setiap
tes dan latihan, sang kakek pun memberi hadiah berupa, pakaian hitam dan kain
putih bersih yang disimpan dalam kotak berwarna emas.
Beberapa hari sesudah
proses itu dilakukan, pemuda itu pamit kepada sang kakek untuk pulang ke tempat
kelahirannya di tanah Melayu. Sebelum bergi, sang kakek berpesan agar tidak
pernah meinggalkan sholat dan sebisa mungkin hidup bagaikan bunga teratai yang
indah walau hidup di air kotor yang jorok dan selalu percaya pada hati nurani.
Berjalan menerobos
hutan dan jurang terjal menganga belum lagi pemuda itu melewati sungai-sungai
deras berbatu. Hari demi hari dan detik demi detik, mengantarkannya pulang pada
kampung halaman. Banyak sekali yang berubah setelah ditinggalkan, semakin
maraknya kejahatan dimana -mana, makam seketika dimana-mana, tampak hamparan
tanah bergundukan.
Berjalan bersembunyi,
pemuda itu lakukan guna mengindari tentara-tentara penjajah yang berkeliaran di
titik-titik jalan. Sampai pada akhirnya, pemuda itu sampai diisebuah rumah, dimana
ia dilahirkan. Terlihat tampak suasana sepi hening, ia mencari sosok wanita tua
yang sekian lama mengasuhnya dari bayi. Bertanya-tanya kesana kemari, akan
tetapi tak mendapat jawaban, hingga pada akhirnya ia menemukan pemakaman sang
ibu yang diberitau oleh sanak saudaranya. Air berlinang dimatanya dan mengalir
deras membasahi wajahnya seakan tak percaya, sosok yang sangat ia cintai tewas
tertembak peluru menembus dadanya.
Bara api seketika
membara membakar hati, amarah tak tertahan kala itu, bermodalkan parang pemuda
itu pergi mencoba melawan, satu per satu tentara mati di markas penjagaan
setempat, dengan tajamnya parang itu memotong beberapa dahan pohon dan daun-daun
berguguran berhamburan dimana-mana.
Melihat pemuda yang
sakti dan perkasa tersebut, masyarakat setempat mengimis seraya meminta izin
untuk belajar silat guna ikut membantu pemuda itu. Melihat suasana yang
memanas, secara diam-diam pemuda itu mengajarkan silat kepada semua lelaki yang
siap mati jiwa raga. Tak hanya lelaki yang berguru padanya, tampak juga
beberapa wanita perkasa berjiwa satria. Mereka diajarkan jurus, kuncian, dan
tenaga dalam.
Beberapa tahun lamanya,
pada akhirnya semua murid yang ia latih siap pada proses terakhir, sama seperti
yang ia lakukan pada sang kakek, setiap murid yang pemuda itu latih harus mampu
menghadapinya sebelum pada proses terakhir yaitu pengeceran. Sekuat tenaga
mereka bertarung yang memakan detik-detik menjadi hari.
Pada malam hari setelah
tes itu, beratus-ratus muridnya siap dikecerkan dan mereka diberikan sakral
hitam dan kain putih tanda mereka telah lulus dan mendapatkan gelar pendekar.
Sekarang mereka hanya memikirkan taktik untuk membantai bala tentara Belanda yang
menyiksa penebar kehancuran.
Waktu ditentukan pada malam hari, dan mengatur pendekar-pendekar dibeberapa titik tempur. Dengan memakai pakaian sakral hitam dan kain putih yang dililitkan di pinggang, mereka siap bertempur, dengan jiwa raga demi kejayaan bangsa dan tanah airnya.
Diam, hening, satu per
satu sampah dibersihkan, percikan darah seakan menghiasi parang pendekar-pendekar
pemberani, semua pasukan berjaga telah mereka sikat habis dan tiba saat mereka
menyerbu istana megah berharta rakyat dimana mereka siap mati melihat banyaknya
bala tentara yang melebihi mereka dan bersenjata. Bukan pendekar namanya
apabila menyerah dalam peperangan, lebih baik mereka mati berjasa dari pada
mati sia-sia menjadi budak selamanya.
Ledakan mengisi
heningnya malam, kilatan api memeriahkan pertarungan malam itu, api-api
menghangatkan dinginnya malam dan darah-darah mengalir seakan mewarnai serta
menghiasi pertarungan seru itu dimana orang-orang yang dicintai berguguran
bagai daun yang mati.
Pemuda itu memimpin
para pendekar menerobos masuk istana dan memakan seisi penghuni istana, sampai
pada detik dimana pemuda itu berhadapan pada seorang Jendral, Pemimpin pasukan
Belanda. Bermodalkan parang ditangan, pemuda itu mengeluarkan jurus-jurus silat
yang mematikan, sang Jenderal pun terpojok, dan dengan mudah pemuda itu menancapkan parangnya pada
gundukan tanah yang mengeluarkan darah seakan memerahkan kain putih yang
terikat kuat pada pinggang pemuda sakti.
Berita kematian Jendral
pun terdengar, hal itu menyebabkan mundurnya para pasukan yang masih hidup di
desa tersebut.
Sebelum pemuda itu
habis dimakan hari tua, ia berpesan untuk melestarikan silat tersebut guna
melahirkan pendekar-pendekar dikemudian hari, agar dapat melindungi bangsa ini
pada hari kelak, seperti yang dikatakan sang kakek pada pemuda itu, agar
mencontoh bunga teratai yang dapat hidup di air kotor dan air bersih dan selalu
percaya pada hati nurani.
*Penulis adalah salah satu murid dari suatu perguruan silat yang ada di Indonesia. Selain pecinta silat, penulis juga hobi menulis cerita dan puisi. Penulis sekarang beraktivitas sebagai Mahasiswa Fakultas Ekonomi UISU
0 komentar:
Posting Komentar