Pendekar Berkain Mori

Rabu, 29 Maret 2017 0 komentar

Oleh: Muhammad Ridho P.O.*

Di salah satu desa, daerah tanah Melayu, tampak gunung lebat dikelilingi pohon dan kebun penduduk sekitar. Di puncak gunung, tanah datar berdiri sebuah rumah sederhana milik seorang pendekar bertuah, tak sedikit masyarakat asing yang menantang beliau, apa lagi pada masa indonesia dalam kekuasaan tentara Belanda yang kejam merampas hak pribumi dengan semena-mena. Kekayaan alam yang terkandung di tanah-tanah desa seakan memanggil pemerintahan Belanda untuk menguasahi setiap tempat desa itu.

Perlawanan dilakukan sekuat mungkin oleh masyarakat, akan tetapi dengan kamampuan dan persenjataan yang minim membuat banyak penduduk desa tak abadi di tempat. Tak ada yang berani menentang kekuasaan penjajah masa itu. Hanya usap tangis dan kesengsaraan menemani masa-masa hidup menuju hanyat.

Di sebuah rumah gubuk kecil, lahir seorang anak lelaki yang yang tampan, ia dirawat dengan penuh kasih sayang yang sangat melekat di jiwanya, sikap dermawan selalu diajarkan oleh seorang ibunya, sedangkan sang ayah menjadi budak Belanda di negeri sendiri. Kehidupan seperti ini tak adil di benaknya, tampak mayat-mayat bergelimpangan di jalan setapak di tengah hutan.

Menginjak usia remaja, sang anak dikirim ke tanah Jawa sebagai pekerja tambang emas. Pecutan demi pecutan pedih terasa menghempas punggung, lagi-lagi tak ada yang berani melawan pemerintahan Belanda masa itu. Dengan bermodalkan nekat pemuda itu diam-diam pergi meninggalkan pertambangan malam itu. Entah kearah mana ia berjalan menyusuri setiap daerah Jawa yang ia tidak ketahui. Badan terasa lelah, seakan mati sekitar tubuh terkapar pada semak-semak jalan setapak.

Tak sadar pemuda itu telah berada dalam gubuk tua yang berada di tengah hutan. Enatah siapa yang membawanya dan sampai pada akhirnya bertemu dengan sosok kakek tua dengan membawa tanaman kebun memasuki gubuk. Rasa terima kasih yang mendalam sangat terasa oleh pemuda terebut, dengan mata yang berlinang ia menceritakan semua kejadian yang ia alami pada sang kakek.

Dengan rasa terima kasih, pemuda itu memutuskan untuk tinggal bersama kakek itu, sekalian membantu sang kakek, membalas kabaikan kakek dan belajar hal-hal baru bersamanya.

Di siang hari yang terik, pemuda itu menanam dan memanen beberapa tumbuhan yang tumbuh, tak sengaja pemuda itu melihat sang kakek dengan menggerakkan beberapa jurus silat. Tampak juga sang kakek yang dapat mematahkan benda keras yang tak mampu dilakukan orang biasa.

Dengan rasa kagum pemuda itu menghampiri sang kakek yang sedang berlatih, berharap si kakek mau mengajarkan jurus-jurus silat yang sakral, mata berbinar-binar, pemuda itu memohon pada kakek agar mengizinkan ia menjadi muridnya. Setelah mendapat izin dari sang kakek, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, mulai dari ayam, sirih, dan lain-lain. Pemuda itu pun segera memenuhi syarat yang diperintahkan sang kakek, setelah semua syarat terpenuhi pada saat itu juga ia menjadi murid kakek tua itu.

Keseharian pemuda itu hanyalah berkebun dan berlatih silat pada malam hari. Rasa sakit dan lelah tak menjadi halangan untuk ia dapat menjadi pendekar hebat seperti sang kakek. Satu yang ada dalam benak pemuda itu hanyalah mencari cara agar dapat melawan penjahat-penjahat Belanda yang kini menguasahi tempat ia tinggal.

Beberapa tahun telah dilewati pemuda itu dan kini ia telah dewasa dan siap pergi menjalankan tujuan yang tertancap pada jiwanya. Beberapa tes telah pemuda itu lewati dan tibalah pada tes terakhir ia  harus mampu mengalahkan sang kakek agar ia dapat lulus sebagai pendekar sakti.

Sangat sulit memang mengalahkan kemampuan sang gurunya itu, walaupun usianya tua, tetapi tenaganya sangat kuat dibandikan pemuda itu, jatuh bangun, pukulan dan tendangan pemuda itu terima dari kakek yang kini menjadi lawannya. Akan tetapi pemuda itu tak menyerah sampai disitu, ia terus berjuang dan membuktikan bahwa ia mampu mendapat gelar sebagai pendekar.

Kekuatan yang besar tiba-tiba muncul pada diri pemuda itu, dan membuat sang kakek kewalahan melawannya dan sampai pada akhirnya kakek tersebut menyerah dan mengakui kekuatan yang tersimpan pada pemuda itu yang melebihi kemampuan sang kakek.

Pada malam hari, tiba pada akhirnya pemuda itu dikecer menandakan pemuda itu telah lulus dalam setiap tes dan latihan, sang kakek pun memberi hadiah berupa, pakaian hitam dan kain putih bersih yang disimpan dalam kotak berwarna emas.

Beberapa hari sesudah proses itu dilakukan, pemuda itu pamit kepada sang kakek untuk pulang ke tempat kelahirannya di tanah Melayu. Sebelum bergi, sang kakek berpesan agar tidak pernah meinggalkan sholat dan sebisa mungkin hidup bagaikan bunga teratai yang indah walau hidup di air kotor yang jorok dan selalu percaya pada hati nurani.

Berjalan menerobos hutan dan jurang terjal menganga belum lagi pemuda itu melewati sungai-sungai deras berbatu. Hari demi hari dan detik demi detik, mengantarkannya pulang pada kampung halaman. Banyak sekali yang berubah setelah ditinggalkan, semakin maraknya kejahatan dimana -mana, makam seketika dimana-mana, tampak hamparan tanah bergundukan.

Berjalan bersembunyi, pemuda itu lakukan guna mengindari tentara-tentara penjajah yang berkeliaran di titik-titik jalan. Sampai pada akhirnya, pemuda itu sampai diisebuah rumah, dimana ia dilahirkan. Terlihat tampak suasana sepi hening, ia mencari sosok wanita tua yang sekian lama mengasuhnya dari bayi. Bertanya-tanya kesana kemari, akan tetapi tak mendapat jawaban, hingga pada akhirnya ia menemukan pemakaman sang ibu yang diberitau oleh sanak saudaranya. Air berlinang dimatanya dan mengalir deras membasahi wajahnya seakan tak percaya, sosok yang sangat ia cintai tewas tertembak peluru menembus dadanya.

Bara api seketika membara membakar hati, amarah tak tertahan kala itu, bermodalkan parang pemuda itu pergi mencoba melawan, satu per satu tentara mati di markas penjagaan setempat, dengan tajamnya parang itu memotong beberapa dahan pohon dan daun-daun berguguran berhamburan dimana-mana.

Melihat pemuda yang sakti dan perkasa tersebut, masyarakat setempat mengimis seraya meminta izin untuk belajar silat guna ikut membantu pemuda itu. Melihat suasana yang memanas, secara diam-diam pemuda itu mengajarkan silat kepada semua lelaki yang siap mati jiwa raga. Tak hanya lelaki yang berguru padanya, tampak juga beberapa wanita perkasa berjiwa satria. Mereka diajarkan jurus, kuncian, dan tenaga dalam.

Beberapa tahun lamanya, pada akhirnya semua murid yang ia latih siap pada proses terakhir, sama seperti yang ia lakukan pada sang kakek, setiap murid yang pemuda itu latih harus mampu menghadapinya sebelum pada proses terakhir yaitu pengeceran. Sekuat tenaga mereka bertarung yang memakan detik-detik menjadi hari.

Pada malam hari setelah tes itu, beratus-ratus muridnya siap dikecerkan dan mereka diberikan sakral hitam dan kain putih tanda mereka telah lulus dan mendapatkan gelar pendekar. Sekarang mereka hanya memikirkan taktik untuk membantai bala tentara Belanda yang menyiksa penebar kehancuran.

Waktu ditentukan pada malam hari, dan mengatur pendekar-pendekar dibeberapa titik tempur. Dengan memakai pakaian sakral hitam dan kain putih yang dililitkan di pinggang, mereka siap bertempur, dengan jiwa raga demi kejayaan bangsa dan tanah airnya.

Diam, hening, satu per satu sampah dibersihkan, percikan darah seakan menghiasi parang pendekar-pendekar pemberani, semua pasukan berjaga telah mereka sikat habis dan tiba saat mereka menyerbu istana megah berharta rakyat dimana mereka siap mati melihat banyaknya bala tentara yang melebihi mereka dan bersenjata. Bukan pendekar namanya apabila menyerah dalam peperangan, lebih baik mereka mati berjasa dari pada mati sia-sia menjadi budak selamanya.

Ledakan mengisi heningnya malam, kilatan api memeriahkan pertarungan malam itu, api-api menghangatkan dinginnya malam dan darah-darah mengalir seakan mewarnai serta menghiasi pertarungan seru itu dimana orang-orang yang dicintai berguguran bagai daun yang mati.

Pemuda itu memimpin para pendekar menerobos masuk istana dan memakan seisi penghuni istana, sampai pada detik dimana pemuda itu berhadapan pada seorang Jendral, Pemimpin pasukan Belanda. Bermodalkan parang ditangan, pemuda itu mengeluarkan jurus-jurus silat yang mematikan, sang Jenderal pun terpojok, dan dengan mudah  pemuda itu menancapkan parangnya pada gundukan tanah yang mengeluarkan darah seakan memerahkan kain putih yang terikat kuat pada pinggang pemuda sakti.

Berita kematian Jendral pun terdengar, hal itu menyebabkan mundurnya para pasukan yang masih hidup di desa tersebut.

Pada akhirnya penduduk desa dapat menikmati hasil yang manis walau beberapa bunga helai, bunga teratai berguguran dimana-mana. Kejahatan seketika hilang bak tertelan bumi dan melahirkan perdamaian. Pemuda bertuah itu memutuskan tingal dan mendirikan rumah di puncak gunung tempat sang ibu di kebumikan.


Sebelum pemuda itu habis dimakan hari tua, ia berpesan untuk melestarikan silat tersebut guna melahirkan pendekar-pendekar dikemudian hari, agar dapat melindungi bangsa ini pada hari kelak, seperti yang dikatakan sang kakek pada pemuda itu, agar mencontoh bunga teratai yang dapat hidup di air kotor dan air bersih dan selalu percaya pada hati nurani.


*Penulis adalah salah satu murid dari suatu perguruan silat yang ada di Indonesia. Selain pecinta silat, penulis juga hobi menulis cerita dan puisi. Penulis sekarang beraktivitas sebagai Mahasiswa Fakultas Ekonomi UISU

0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Ibnu Arsib Ritonga | TNB