Oleh: Muhammad Ridho*
Ibunya
sangat berharga baginya, bagaimana tidak. Setelah kepergian sang ayah tercinta
yang sangat ia banggakan. Ibunya kini menjadi tulang punggung keluarga karena
anak perempuan tercintanya masih duduk di bangku kelas 4 sekolah dasar. Bersama
ibu tercintanya, sepulang sekolah mereka pergi ke sawah yang menjadi
penghasilan mereka. Jarang untuk ia bermain bersama temannya karena ia lebih
mementingkan ibunya yang sendirian di sawah, walaupun begitu ia adalah anak
yang pintar dan selalu mendapat juara di kelasnya, betapa bangga ibunya
memiliki anak yang cantik dan pintar.
Setelah
ia lulus sekolah dasar ia melanjutkan sekolah menengah pertama yang cukup jauh
dari rumahnya. Pagi itu setelah sholat subuh ia membereskan perlengkapan
sekolahnya dan sang ibu membuat sarapan pagi dan bekal untuknya nanti di
sekolah. Dengan menggunakan sepeda peninggalan ayahnya, ia pergi dengan
mendayung sepeda ontel yang tua itu. Sepulang sekolah ia sarapan dan kembali
membantu ibunya di sawah. Setelah terdengar suara azan asar mereka menyudahi
pekerjaan itu. Hal itu selalu ia lakukan hingga ia lulus SMP.
Ia
melanjutkan sekolahnya di SMA yang jaraknya jauh dari rumahnya. Kini setiap
pergi sekolah ia tidak dapat lagi mendayung sepeda milik ayahnya, ia
menggunakan akutan becak motor setiap paginya dan sepulang sekolah. Di SMA
tempat ia belajar cukup banyak pembayaran yang harus ia bayar, bagaimana ia
bisa melunasi itu semua, ibunya hanyalah seorang petani biasa. Akan tetapi karena
ia pintar di sekolah itu, ia mendapatkan bantuan biaya siswa untuk murid yang
berprastasi. Ibunya sangat senang melihat anaknya mendapatkan bantuan itu, ia
bersyukur kepada Allah anaknya tidak bodoh seperti ibunya yang hanya tamat di
sekolah dasar.
Lulus
sebagai siswi yang berprestasi dan mendapatkan biaya siswa sekolah di perguran
tinggi kedokteran secara gratis membuat ibunya semakin bersyukur kapada Allah,
ibunya selalu mendoakan yang terbaik untuk anaknya. Kini anaknya tidak
lagibersamanya, ia telah pergi ke kota untuk melanjutkan sekolahnya ke
perguruan tinggi. Disetiap saat sang ibu selalu mendoakan anaknya agar sehat
dan selamat di sana. Kini ibunya sendiri untuk pergi ke sawah. Kadang ia
mengirim surah kepada sang ibu untuk mengabarkan keadaannya, sang ibu sangat
senang membaca surah dari anaknya, sang ibu membalas surat anaknya dengan kata
agar ia menjaga kesehatan dan jangan meinggalkan kewajibannya untuk sholat. Di
setiap sujudnya sang ibu selalu berdoa yang terbaik untuk anaknya agar anaknya
diberikan kesuksesan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Beberapa
tahun kemudian anaknya pulang dengan membawa perlengakapannya dan ia berkata
kepada ibunya bahwa kini ia telah serjana dan mendapatkan gelar “Dr”. Ibunya
menangis melihat anaknya yang kini menjadi dokter. Sang ibu memeluk anaknya
dengan penuh rasa rindu karena sangat lama mereka tidak bersama.
Kini
ia dapat kembali membantu ibunya ke sawah mengingat masa kecilnya dulu dan
sepeda ontel milik ayahnya yang selau ia pakai untuk berkeliling desa melihat
perubahan yang terjadi saat ia tinggalkan. Setelah mereka sholat subuh, setiap
pagi ia memasak makanan untuk mereka pergi kesawah. Dengan perlengkapan dan
menggunakan topi petani, mereka pergi dengan berjalan kaki. Sangat sejuk dan
segar udara pagi di sekitar sawah. Dengan menggunakan seruling yang terbuat
dari kayu, sang ibu memainkan alat musik itu dengan merdu. Azan zuhurpun
berbunyi, mereka pergi ke pemancuran air terjun untuk membasahi badan dan
mengambil whudu dan kembali ke pondok sawah mereka untuk sholat di sana.
Seperti biasanya setiap azan asar mereka pulang ke rumah dan bersiap untuk
melaksanakan sholat asar. Akan tetapi hal ini tidak berlangsung lama karena
anaknya mendapatkan panggilan kerja ke kota sebagai dokter di salah satu rumah
sakit sana.
Ia
mengemas barang bawaannya ke dalam koper besar, ia melihat seruling kayu milik
ibunya dan menaruhnya kedalam koper untuk di bawa ke kota. Ibunya
mengantarkannya hingga terminal. Sebelum pergi mereka berpelukan untuk ke dua
kalinya sebelum sang anak pergi menaiki bus yang mengantarkanya ke kota.
Di
kota ia telah sukses, memiliki rumah, mobil, dan peralatan lainnya, ia teringat
keadaannya di desa, ia tidak mungkin bisa mendapatkan ini semua tanpa ibunya,
ibunya sangat berjasa dalam kesuksesannya. Di kota ia bertemu dengan seorang
pria yang akhirnya menjadi kekasihnya, ia tidak salah dalam memilih pasangan,
lelaki itu sangat baik dan selalu
mengingatkannya untuk sholat. Ia juga ingat perkataan ibunya untuk mencari
pasang yang bisa mengingatkannya sholat kepada Allah.
Ia
mengabarkan ibunya bahwa ia memiliki seorang pasangan yang baik dan seperti apa
yang dikatakan ibunya. Ibunya senang membaca surat tersebut, dan membalasnya
agar anaknya selalu selalu meminta doa kepada Allah karena Allah akan selalu
membantu hambanya.
Kekasihnya
selalu membantu pekerjaannya di rumah sakit setiap pulang dari kantor tempat
lelaki itu bekerja. Di hari cuti ia mengajak lelaki pasangannya untuk menemui
ibunya di desa. Sepulang dari sawah sang ibu melihat mobil mewah berada di
depan halaman rumahnya, ibunya heran kenapa ada mobil mewah berada di halaman
rumahnya, setelah didekati anaknya memanggil ibunya dan memeluknya. Ia
memperkenalkan lelaki yang ia ceritakannya di surat pada lalu itu. Lelaki itu
langsung menyalami ibu kekasihnya.
Setiap
pagi ia melakukann kegiatan seperti biasa di rumah ibunya, setelah sholat subuh
dan menyiapkan bekal dan perlengkapan, mereka pergi kesawah, kini kekasihnya
pun membantunya di sawah. Lelaki itu sangat senang berada di desa karena keadaan
di kota sangat berbeda.
Waktu
bahagia inipun tidak lama, dikarenakan waktu cuti yang tidak panjang. Ia dan
kekasihnya harus kembali ke kota. Dengan membereskan koper mereka dan meminta
pamit kepada sang ibu. Ia pun pergi kembali ke kota. Sesampai di kota, lelaki
itu mengantarkannya pulang ke rumahnya. Keesokkan harinya semua kembali seperti
semula, ia harus pergi kerumah sakit menggunakan mobil miliknya. Banyak pasien
yang menuggunya di sana. Terkadang ia sedih dan menangis melihat anak yang
tidak dapat operasi karena biaya, akan tetapi ia adalah dokter yang baik, ia
membayar biaya operasi itu. Ia menangis jika membayangkan seorang ibu di
tinggal oleh anaknya. Terkadan ia berpikir bagaimana keadaan ibunya di desa.
Tepat
pada tanggal 22 Desember adalah Hari Ibu, ia ingin sekali kembali ke desa untuk
memberi kado dan mengucapkan terimasih beserta maaf kepada ibunya. Akan tetapi
itu tidak mungkin karena ia tidak bisa mendapatkan cuti. Ia mengirim surat
untuk ibunya bahwa ia tidak bisa pulang. Membaca surat itu ibunya pun sedih
karena anaknya tidak bisa kembali ke desa.
Ia
selalu mencari cara dan meminta bantu kepada kekasihnya untuk bisa kembali ke
desa dan memperingati Hari Ibu bersama ibunya. Akan tetapi apa daya ia tidak
bisa mendapatkan cutinya. Di perjalanan pulang ia bertemu seorang anak penjual
koran di pinggil persimpangan lampu merah. Ia melihat anak itu hendak pergi,
karena rasa kasihan dan penasaran, ia pun menumpangi anak itu ke tujuannya.
Mereka berhenti pada toko bunga, lalu setelah anak kecil itu membeli bunya,
mereka melanjutkan perjalan dan sampailah pada pemakaman umum. Anak kecil itu
menuju salah satu makam yang ada di sana, karena penasaran ia pun bertanya
kepada anak kecil itu tentang makam siapa ini. Anak kecil itu menjawab ini
adalah makam ibunya dan ia ingin mengucapkan selamat Hari Ibu kepada ibunya
yang telah meninggal dunia. Ia pun menangis dan mengingat saat sang ayah
meninggal dan juga ibunya di desa. Ia tidak bisa meminta maaf kepada ibunya
secara langsung. Ia menangis mendengar kata yang keluar dari mulut anak kecil
itu, betapa sedihnya perkataan anak kecil itu. Lalu anak kecil itu bertanya
kepadanya
“Kakak,
kenapa menangis?” Ia
pun terkejut dan segera mengelap air matanya
“Tidak
apa – apa dek, kakak hanya sedih karena kakak tidak bisa meminta maaf kepada
ibu kakak yang ada di desa”
Setelah
cukup lama mereka pergi meninggalkan makam anak kecil itu, tidak lupa anak
kecil itu berpamitan pada makam ibunya. Lalu ia pun mengantarkan anak kecil itu
ke panti asuhan. Ia bertemu pada pemilik panti tersebut dan menyumbangkan
uangnya ke pada panti itu dan pulang. Keesokan harinya setelah pulang dari
rumah sakit, ia melihat seruling ibunya yang masih tertinggal di kopernya, ia
memainkan alat musik itu dan membayangkan keadaan di sawah bersama ibunya.
Seruling itu menjadi penguat tekatnya untuk kembali ke desa apapun caranya, ia
tidak perduli jika tidak bekerja lagi di rumah sakit tempatnya bekerja.
Besoknya bersama kekasihnya, ia meminta hari cuti walau hanya satu minggu.
Setelah memohon cukup lama, akhirnya ia mendapatkan cutinya dan mengirim surat
kapada ibunya bahwa ia akan pulang.
Beberapa
harinya ia bersiap untuk pulang sendiri tanpa di temani oleh kekasihnya karena
kekasinnya tidak bisa meniggalkan pekerjan. Itu tidak menjadi halangan baginya
ia tetap nekat pulang sendiri dengan membawa kado dan seruling sang ibu, ia pun
pergi.
Sang
ibu yang sedang berada di rumah menuggu kepulangan anaknya tercinta itu, tiba –
tiba gelas yang sedang pengang pun terjatuh dan pecah, ia mengalami pirasat
buruk kapada anaknya. Setelah beberapa jam menunggu anaknya memanggilnya dari
luar rumah tanpa membawa apapun, sang ibu keluar dan memeluk anaknya dan
bertanya,
“Kamu
kemari naik apa nak? Kok kamu sendirian” Anaknya
hanya terdiam
“Oh
ya sudah kalau kamu gak mau cerita, yang penting ibu senang kamu sudah ada di
sini”
Mereka
pun masuk kedalam rumah dan ia meminta maaf kepada ibunya atas kesalahan yang
telah lakukan. Setelah berbincang sang ibu menyiapkan makanan kesukaan anaknya,
setelah menyiapkan makanan ia menghampiri anaknya dengan membawa bika ambon kue
kesukaan anaknya.
Tak
berapa lama terdengar kembali suara ketukan pintu dan setelah ibunya membuka
pintu di depannya berdiri dua polisi dan kekasih anaknya.
“Kami
dari kepolisian ingin mengabarkan bahwa anak ibu mengalami kecelakaan pada
kemarin malam di jalan Barumun” Polisi menyampaikan.
Sang
ibu tidak percaya dan mengira polis hanya bercanda, dan ibu itu berkata “Oidah,
anakku sedang makan bika ambon sekarang”
Mendengar
perkataan sang ibu, polisi dan kekasih anaknya terkejut dan melihat kedalam
rumah.
“Mana
anak ibu yang sedang makan itu?”
“Itu pak” sambil menunjuk kursi tempat anaknya makan tadi
“Mana bu?” polisi pun kebingunan
“Loh, anak saya mana pak? Tadi ia sedang makan di sini pak” sang ibu mulai
panik.
Lalu
kekasih anaknya pun mencari menelusuri ruangan di setiap rumah itu akan tetapi
tidak ada orang, yang ada hanyalah kue bika ambon yang masih utuh dan hangat.
Sang ibu pun memanggil nama anaknya dan menangis seakan tidak percaya akan yang
terjadi barusan, mungkinkah itu adalah arwah dari anaknya yang sangat ingin
bertemu dengan ibunya untuk meminta maaf walau halangan terberatpun menghadangi
namun Allah membantunya.
Kekasih
anaknya membujuk ibu itu untuk sabar sambil memberikan kado yang ia dapat di
dalam mobil anaknya. Setelah kado itu dibuka hanya ada surat rumah, seruling,
dan sepucuk surat yang bertuliskan:
“Selamat Hari Ibu, Ibuku sayang, anakmu ini
meminta maaf atas kesalahan apapun yang telah aku perbuat. Aku sangat bersyukur
kepada Allah karena dapat mengirim surat ini kepada ibu. Aku memberi ibu kado
istimewa, aku memberikan rumah dan seluruh yang ku punya kepada ibu, aku juga
memberikan ibu perusahaan padi dan lahan sawah yang luas banget yang ku beli
dari seorang petani sukses, kini ibu tidak perlu capek untuk ke sawah lagi, ada
beberapa pekerja yang akan bekerja untuk ibu, kelolah yang baik ya bu! Itu
semua tidak mampu untuk membalas apa yang ibu kasih ke aku selama ini dan aku
juga ingin mengembalikan seruling ibu yang kubawa, ibu pasti mencarinya? Maaf
ya bu. Aku bertemu seorang anak kecil yang kehilangan ibunya untuk selamanya
dan aku juga menemaninya ke pemakaman ibunya untuk mengucapkan selamat Hari
Ibu, aku teringat ayah dan aku menangis mendengarnya berkata dan aku juga harus
menemui ibu di desa. Maaf aku tidak bisa menemanimu ibu lagi.”
*Penulis adalah Mahasiswa FE UISU dan Kader HMI, dia sangat suka menulis cerita fiksi
Sumber gambar ilustrasi: http://www.tho.com.vn/
0 komentar:
Posting Komentar