Arwah yang Meminta Maaf

Senin, 20 Maret 2017 0 komentar

Oleh: Muhammad Ridho*

Ibunya sangat berharga baginya, bagaimana tidak. Setelah kepergian sang ayah tercinta yang sangat ia banggakan. Ibunya kini menjadi tulang punggung keluarga karena anak perempuan tercintanya masih duduk di bangku kelas 4 sekolah dasar. Bersama ibu tercintanya, sepulang sekolah mereka pergi ke sawah yang menjadi penghasilan mereka. Jarang untuk ia bermain bersama temannya karena ia lebih mementingkan ibunya yang sendirian di sawah, walaupun begitu ia adalah anak yang pintar dan selalu mendapat juara di kelasnya, betapa bangga ibunya memiliki anak yang cantik dan pintar.

Setelah ia lulus sekolah dasar ia melanjutkan sekolah menengah pertama yang cukup jauh dari rumahnya. Pagi itu setelah sholat subuh ia membereskan perlengkapan sekolahnya dan sang ibu membuat sarapan pagi dan bekal untuknya nanti di sekolah. Dengan menggunakan sepeda peninggalan ayahnya, ia pergi dengan mendayung sepeda ontel yang tua itu. Sepulang sekolah ia sarapan dan kembali membantu ibunya di sawah. Setelah terdengar suara azan asar mereka menyudahi pekerjaan itu. Hal itu selalu ia lakukan hingga ia lulus SMP.

Ia melanjutkan sekolahnya di SMA yang jaraknya jauh dari rumahnya. Kini setiap pergi sekolah ia tidak dapat lagi mendayung sepeda milik ayahnya, ia menggunakan akutan becak motor setiap paginya dan sepulang sekolah. Di SMA tempat ia belajar cukup banyak pembayaran yang harus ia bayar, bagaimana ia bisa melunasi itu semua, ibunya hanyalah seorang petani biasa. Akan tetapi karena ia pintar di sekolah itu, ia mendapatkan bantuan biaya siswa untuk murid yang berprastasi. Ibunya sangat senang melihat anaknya mendapatkan bantuan itu, ia bersyukur kepada Allah anaknya tidak bodoh seperti ibunya yang hanya tamat di sekolah dasar.

Lulus sebagai siswi yang berprestasi dan mendapatkan biaya siswa sekolah di perguran tinggi kedokteran secara gratis membuat ibunya semakin bersyukur kapada Allah, ibunya selalu mendoakan yang terbaik untuk anaknya. Kini anaknya tidak lagibersamanya, ia telah pergi ke kota untuk melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi. Disetiap saat sang ibu selalu mendoakan anaknya agar sehat dan selamat di sana. Kini ibunya sendiri untuk pergi ke sawah. Kadang ia mengirim surah kepada sang ibu untuk mengabarkan keadaannya, sang ibu sangat senang membaca surah dari anaknya, sang ibu membalas surat anaknya dengan kata agar ia menjaga kesehatan dan jangan meinggalkan kewajibannya untuk sholat. Di setiap sujudnya sang ibu selalu berdoa yang terbaik untuk anaknya agar anaknya diberikan kesuksesan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Beberapa tahun kemudian anaknya pulang dengan membawa perlengakapannya dan ia berkata kepada ibunya bahwa kini ia telah serjana dan mendapatkan gelar “Dr”. Ibunya menangis melihat anaknya yang kini menjadi dokter. Sang ibu memeluk anaknya dengan penuh rasa rindu karena sangat lama mereka tidak bersama.

Kini ia dapat kembali membantu ibunya ke sawah mengingat masa kecilnya dulu dan sepeda ontel milik ayahnya yang selau ia pakai untuk berkeliling desa melihat perubahan yang terjadi saat ia tinggalkan. Setelah mereka sholat subuh, setiap pagi ia memasak makanan untuk mereka pergi kesawah. Dengan perlengkapan dan menggunakan topi petani, mereka pergi dengan berjalan kaki. Sangat sejuk dan segar udara pagi di sekitar sawah. Dengan menggunakan seruling yang terbuat dari kayu, sang ibu memainkan alat musik itu dengan merdu. Azan zuhurpun berbunyi, mereka pergi ke pemancuran air terjun untuk membasahi badan dan mengambil whudu dan kembali ke pondok sawah mereka untuk sholat di sana. Seperti biasanya setiap azan asar mereka pulang ke rumah dan bersiap untuk melaksanakan sholat asar. Akan tetapi hal ini tidak berlangsung lama karena anaknya mendapatkan panggilan kerja ke kota sebagai dokter di salah satu rumah sakit sana.

Ia mengemas barang bawaannya ke dalam koper besar, ia melihat seruling kayu milik ibunya dan menaruhnya kedalam koper untuk di bawa ke kota. Ibunya mengantarkannya hingga terminal. Sebelum pergi mereka berpelukan untuk ke dua kalinya sebelum sang anak pergi menaiki bus yang mengantarkanya ke kota.

Di kota ia telah sukses, memiliki rumah, mobil, dan peralatan lainnya, ia teringat keadaannya di desa, ia tidak mungkin bisa mendapatkan ini semua tanpa ibunya, ibunya sangat berjasa dalam kesuksesannya. Di kota ia bertemu dengan seorang pria yang akhirnya menjadi kekasihnya, ia tidak salah dalam memilih pasangan, lelaki itu sangat  baik dan selalu mengingatkannya untuk sholat. Ia juga ingat perkataan ibunya untuk mencari pasang yang bisa mengingatkannya sholat kepada Allah.
Ia mengabarkan ibunya bahwa ia memiliki seorang pasangan yang baik dan seperti apa yang dikatakan ibunya. Ibunya senang membaca surat tersebut, dan membalasnya agar anaknya selalu selalu meminta doa kepada Allah karena Allah akan selalu membantu hambanya.

Kekasihnya selalu membantu pekerjaannya di rumah sakit setiap pulang dari kantor tempat lelaki itu bekerja. Di hari cuti ia mengajak lelaki pasangannya untuk menemui ibunya di desa. Sepulang dari sawah sang ibu melihat mobil mewah berada di depan halaman rumahnya, ibunya heran kenapa ada mobil mewah berada di halaman rumahnya, setelah didekati anaknya memanggil ibunya dan memeluknya. Ia memperkenalkan lelaki yang ia ceritakannya di surat pada lalu itu. Lelaki itu langsung menyalami ibu kekasihnya.

Setiap pagi ia melakukann kegiatan seperti biasa di rumah ibunya, setelah sholat subuh dan menyiapkan bekal dan perlengkapan, mereka pergi kesawah, kini kekasihnya pun membantunya di sawah. Lelaki itu sangat senang berada di desa karena keadaan di kota sangat berbeda.

Waktu bahagia inipun tidak lama, dikarenakan waktu cuti yang tidak panjang. Ia dan kekasihnya harus kembali ke kota. Dengan membereskan koper mereka dan meminta pamit kepada sang ibu. Ia pun pergi kembali ke kota. Sesampai di kota, lelaki itu mengantarkannya pulang ke rumahnya. Keesokkan harinya semua kembali seperti semula, ia harus pergi kerumah sakit menggunakan mobil miliknya. Banyak pasien yang menuggunya di sana. Terkadang ia sedih dan menangis melihat anak yang tidak dapat operasi karena biaya, akan tetapi ia adalah dokter yang baik, ia membayar biaya operasi itu. Ia menangis jika membayangkan seorang ibu di tinggal oleh anaknya. Terkadan ia berpikir bagaimana keadaan ibunya di desa.

Tepat pada tanggal 22 Desember adalah Hari Ibu, ia ingin sekali kembali ke desa untuk memberi kado dan mengucapkan terimasih beserta maaf kepada ibunya. Akan tetapi itu tidak mungkin karena ia tidak bisa mendapatkan cuti. Ia mengirim surat untuk ibunya bahwa ia tidak bisa pulang. Membaca surat itu ibunya pun sedih karena anaknya tidak bisa kembali ke desa.

Ia selalu mencari cara dan meminta bantu kepada kekasihnya untuk bisa kembali ke desa dan memperingati Hari Ibu bersama ibunya. Akan tetapi apa daya ia tidak bisa mendapatkan cutinya. Di perjalanan pulang ia bertemu seorang anak penjual koran di pinggil persimpangan lampu merah. Ia melihat anak itu hendak pergi, karena rasa kasihan dan penasaran, ia pun menumpangi anak itu ke tujuannya. Mereka berhenti pada toko bunga, lalu setelah anak kecil itu membeli bunya, mereka melanjutkan perjalan dan sampailah pada pemakaman umum. Anak kecil itu menuju salah satu makam yang ada di sana, karena penasaran ia pun bertanya kepada anak kecil itu tentang makam siapa ini. Anak kecil itu menjawab ini adalah makam ibunya dan ia ingin mengucapkan selamat Hari Ibu kepada ibunya yang telah meninggal dunia. Ia pun menangis dan mengingat saat sang ayah meninggal dan juga ibunya di desa. Ia tidak bisa meminta maaf kepada ibunya secara langsung. Ia menangis mendengar kata yang keluar dari mulut anak kecil itu, betapa sedihnya perkataan anak kecil itu. Lalu anak kecil itu bertanya kepadanya

“Kakak, kenapa menangis?” Ia pun terkejut dan segera mengelap air matanya

“Tidak apa – apa dek, kakak hanya sedih karena kakak tidak bisa meminta maaf kepada ibu kakak yang ada di desa”

Setelah cukup lama mereka pergi meninggalkan makam anak kecil itu, tidak lupa anak kecil itu berpamitan pada makam ibunya. Lalu ia pun mengantarkan anak kecil itu ke panti asuhan. Ia bertemu pada pemilik panti tersebut dan menyumbangkan uangnya ke pada panti itu dan pulang. Keesokan harinya setelah pulang dari rumah sakit, ia melihat seruling ibunya yang masih tertinggal di kopernya, ia memainkan alat musik itu dan membayangkan keadaan di sawah bersama ibunya. Seruling itu menjadi penguat tekatnya untuk kembali ke desa apapun caranya, ia tidak perduli jika tidak bekerja lagi di rumah sakit tempatnya bekerja. Besoknya bersama kekasihnya, ia meminta hari cuti walau hanya satu minggu. Setelah memohon cukup lama, akhirnya ia mendapatkan cutinya dan mengirim surat kapada ibunya bahwa ia akan pulang.

Beberapa harinya ia bersiap untuk pulang sendiri tanpa di temani oleh kekasihnya karena kekasinnya tidak bisa meniggalkan pekerjan. Itu tidak menjadi halangan baginya ia tetap nekat pulang sendiri dengan membawa kado dan seruling sang ibu, ia pun pergi.

Sang ibu yang sedang berada di rumah menuggu kepulangan anaknya tercinta itu, tiba – tiba gelas yang sedang pengang pun terjatuh dan pecah, ia mengalami pirasat buruk kapada anaknya. Setelah beberapa jam menunggu anaknya memanggilnya dari luar rumah tanpa membawa apapun, sang ibu keluar dan memeluk anaknya dan bertanya,

“Kamu kemari naik apa nak? Kok kamu sendirian” Anaknya hanya terdiam

“Oh ya sudah kalau kamu gak mau cerita, yang penting ibu senang kamu sudah ada di sini”

Mereka pun masuk kedalam rumah dan ia meminta maaf kepada ibunya atas kesalahan yang telah lakukan. Setelah berbincang sang ibu menyiapkan makanan kesukaan anaknya, setelah menyiapkan makanan ia menghampiri anaknya dengan membawa bika ambon kue kesukaan anaknya.

Tak berapa lama terdengar kembali suara ketukan pintu dan setelah ibunya membuka pintu di depannya berdiri dua polisi dan kekasih anaknya.

“Kami dari kepolisian ingin mengabarkan bahwa anak ibu mengalami kecelakaan pada kemarin malam di jalan Barumun” Polisi menyampaikan.

Sang ibu tidak percaya dan mengira polis hanya bercanda, dan ibu itu berkata “Oidah, anakku sedang makan bika ambon sekarang”

Mendengar perkataan sang ibu, polisi dan kekasih anaknya terkejut dan melihat kedalam rumah.

“Mana anak ibu yang sedang makan itu?”

“Itu pak” sambil menunjuk kursi tempat anaknya makan tadi

“Mana bu?” polisi pun kebingunan

“Loh, anak saya mana pak? Tadi ia sedang makan di sini pak” sang ibu mulai panik.

Lalu kekasih anaknya pun mencari menelusuri ruangan di setiap rumah itu akan tetapi tidak ada orang, yang ada hanyalah kue bika ambon yang masih utuh dan hangat. Sang ibu pun memanggil nama anaknya dan menangis seakan tidak percaya akan yang terjadi barusan, mungkinkah itu adalah arwah dari anaknya yang sangat ingin bertemu dengan ibunya untuk meminta maaf walau halangan terberatpun menghadangi namun Allah membantunya.

Kekasih anaknya membujuk ibu itu untuk sabar sambil memberikan kado yang ia dapat di dalam mobil anaknya. Setelah kado itu dibuka hanya ada surat rumah, seruling, dan sepucuk surat yang bertuliskan:


Selamat Hari Ibu, Ibuku sayang, anakmu ini meminta maaf atas kesalahan apapun yang telah aku perbuat. Aku sangat bersyukur kepada Allah karena dapat mengirim surat ini kepada ibu. Aku memberi ibu kado istimewa, aku memberikan rumah dan seluruh yang ku punya kepada ibu, aku juga memberikan ibu perusahaan padi dan lahan sawah yang luas banget yang ku beli dari seorang petani sukses, kini ibu tidak perlu capek untuk ke sawah lagi, ada beberapa pekerja yang akan bekerja untuk ibu, kelolah yang baik ya bu! Itu semua tidak mampu untuk membalas apa yang ibu kasih ke aku selama ini dan aku juga ingin mengembalikan seruling ibu yang kubawa, ibu pasti mencarinya? Maaf ya bu. Aku bertemu seorang anak kecil yang kehilangan ibunya untuk selamanya dan aku juga menemaninya ke pemakaman ibunya untuk mengucapkan selamat Hari Ibu, aku teringat ayah dan aku menangis mendengarnya berkata dan aku juga harus menemui ibu di desa. Maaf aku tidak bisa menemanimu ibu lagi.


*Penulis adalah Mahasiswa FE UISU dan Kader HMI, dia sangat suka menulis cerita fiksi

Sumber gambar ilustrasi: http://www.tho.com.vn/

0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Ibnu Arsib Ritonga | TNB