Aku bisa saja memilih untuk menjadi mahasiswa yang menurut orang adalah mahasiswa normal. Menyibukkan diri dengan mata kuliah yang bertumpuk-tumpuk, Membawa tas yang berkilo-kilo gram beratnya dan bahkan Lulus dengan status cum lebih cepat dari standar yang berlaku umum lalu mondar-mandir dengan segenggam ijazah sambil menawarkan jasa disetiap perusahaan. Aku juga bisa saja memilih menjadi mahasiswa yang nyaman. Berjibaku dengan rutinitas yang hanya sekadar kuliah pulang kuliah pulang alias KUPU-KUPU, menatap tembok asrama yang selalu sama, pergi ke bioskop mengisi malam minggu asmara, hingga bercanda gurau untuk hal-hal yang hedon.
Namun rutinitas seperti itu sungguh menjenuhkan. Bagiku itu sebuah kemunduran berpikir. Dulu ketika masih disekolah dasar, sepulang sekolah kita bisa bermain layaknya anak-anak. Setelah memasuki jenjang sekolah menengah, sepulang sekolah kita sering menyibukkan diri dengan kegiatan-kegiatan olahraga disekolah bahkan mengikuti organisasi-organisasi seperti pramuka dan osis. Ketika memasuki bangku perkuliahan, label mahasiswa secara otomatis melekat dalam diri kita. Untuk orang-orang awam didaerahku, label mahasiswa mengandung makna yang luar biasa. Seorang terpelajar dengan segudang ilmu dikepalanya dan Mampu menyelesaikan masalah-masalah yang ada dimasyarakat dengan keilmuannya. asumsi seperti itu tidaklah salah. Karena memang tidak ada lagi jenjang keilmuan yang melebihi label mahasiswa.
Menjadi aktivis sangatlah perlu. Sejak dahulu para pemimpin selalu lahir dari rahim aktivis. Tapi entah kenapa kenyataan itu justru diacuhkan oleh mahasiswa jaman sekarang. Menurut mereka menjadi aktivis hanya mempelambat wisuda dan tentunya Juga menunda pernikahan. Sungguh alasan yang tidak logis dan masuk akal. Lagipula untuk apa lulus cepat jika akan menganggur lama setelah itu. Bukannya menjadi pemimpin justru malah menjadi karyawan biasa.
Bagiku dunia aktivis tidak hanya sekedar turun kejalan dan mengkritik pemerintah. Juga tidak hanya sekedar berdiskusi hingga fajar menjemput pagi. atau mengadakan kegiatan ini dan itu tanpa landasan ideologi yang jelas. menjadi aktivis berarti bisa melakukan segalanya. dunia aktivis menuntut kita berpikir secara kritis dan logis sehingga rutinitas Berdiskusi sudahlah pasti, mengawal birokrasi dan turun kejalan adalah keharusan, pengabdian kepada masyarakat adalah sumbangsi mulia sebagai manusia, dan yang paling utama adalah memperdalam ilmu agama dan tetap mempertahankan akademik. Hal-hal seperti itu mungkin mustahil bagi banyak orang. Bagaimana mungkin menjadi mahasiswa namun masih dapat melakukan rutinitas seperti itu. namun bagi kami para aktivis rutinitas seperti itu adalah hal yang biasa. Justru dapat membentuk karakter kami menjadi matang dan memiliki mental pemimpin. Wajar saja jika pemikiran kami para aktivis berbeda dengan mahasiswa yang bukan aktivis, karena kami hidup kami penuh dengan tantangan. so, jika kamu bermental pemimpin, so, selamilah dunia aktivis.
Bersama HMI aku memilih jalan aktivis. selain sebagai organisasi HMI juga adalah kampus kedua dan rumah kedua bagiku. Memang setiap organisasi memiliki cara-cara sendiri dalam membina anggotanya. Akupun sudah banyak berdiskusi , berkawan dan bahkan tinggal seatap dengan mereka. Namun HMI memiliki cara sendiri yang sampai saat ini masih kupandang mulia dibandingkan dengan organisasi lain. HMI menuntut anggotanya untuk berprestasi, selalu kreatif dan inovatif dalam berkarya, memiliki rasa kepedulian terhadap sesama dalam bentuk pengabdian kepada masyarakat, hingga membekali anggotanya dengan pendalaman-pendalaman agama. Walaupun tidak dapat kita pungkiri tidak semua anggotanya dapat melakukan hal-hal seperti itu bahkan ada yang menyimpang, namun itu adalah kesalahan individunya dan bukan HMInya karena dari sejak lahirnya 70 tahun yang lalu hingga sekarang HMI masihlah konsisten dalam perjuangannya mencetak manusia-manusia pilihan yang siap membangun bangsa. Jadi, mari ber HMI.
Oleh : Hasran (Ketua Umum Korkom Universitas Sultan Agung Semarang)
0 komentar:
Posting Komentar