Catatan Singkat Kang Jalal: Tentang Politik dan Kekuasaan

Jumat, 31 Maret 2017 0 komentar

Politik secara sederhana adalah segala hal yang berkaitan dengna permainan kekuasaan. Sebagai politikus, pekerjaan anda hanya ada dua: menghimpun kekuasaan (machtvorming) dan menggunakan kekuasaan (machtaanwending). Ketika anda rajin mengunjungi orang-orang yang berpengaruh dan melakukan negosiasi dengan mereka, anda sedang menghimpun kekuasaan. Ketika anda menyingkirkan lawan anda dengan memanipulasikan wewenang yang anda miliki, anda sedang menggunakan kekuasaan.

Banyak orang mengira bahwa politik hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu saja, anggota partai politik, calon anggota DPR, dan pejabat lainnya. Menjelang pemilu, kita sering mendengar ucapan: “Suhu politik meningkat.” Dan karena politik kotor, maka kegiatan politik tidak boleh dilakukan di tempat-tempat suci seperti masjid, juga tidak ditempat-tempat belajar seperti universitas. Pasar (kecuali pasar swalayan yang modern) adalah tempat kotor, karena itu di sana anda boleh berpolitik, misalnya politik dagang sapi. Bila berpolitik di kantor, anda telah mencemari kantor, atau kantor anda kotor.

Politik sebenarnya tidak kotor, dan kekuasaan tidak selalu berkaitan dengan politik -  kata para psikolog sosial. Setiap orang terlibat dalam permainan kekuasaan. Ketika anda berhubungan dengan orang lain, anda bersaing dalam menggunakan kekuasaan. Bahkan kekuasaan itu fitrah, kebutuhan manusia yang harus dipenuhi. Menusia selalu merindukan dan mencari kekuasaan.

David McClelland menyebutkan tiga kebutuhan sosial yang menggerakkan manusia: kebutuhan akan kasih-sayang, kebutuhan untuk berprestasi, dan kebutuhan akan kekuasaan. Tingkat kebutuhan ini pada setiap orang berbeda-beda. Bila kebutuhan akan kasih-sayang sama tingginya dengan kebutuhan akan kekuasaan, anda bisa gila. Ketika mengejar kekuasaam, anda harus mengesampingkan sebagian rasa kasih-sayang. Anda harus “tegaan”. Sebaiknya anda memperkecil kebuthan akan kekuasaan dan mempertinggi kebutuhan akan kasih-sayang. Tetapu anda harus meninggalkan karir anda. Jadilah pendeta atau kiai.

Janganlah membayangkan bahwa setiap kekuasaan melibatkan hukuman dan ganjaran. B.H. Raven dalam Social Influence and Power menyebutkan enam macam kekuasaa. Yaitu:

Pertama, kekuasaan koersif. Anda memiliki kekuasaan ini bila orang menganggap anda mempunyai kemampuan untuk mendatangkan hukuman atau ganjaran. Untuk menggunakan kekuasaan ini, anda harus selalu mengawasi perilaku orang lain. Raven menyebut kekuasaan ini dengan istilah “public dependent.

Kedua, kekuasaan informasi. Anda berkuasa terhadap si ‘B’. Tetapi begitu informasi itu disampaikan, anda kehidlangan kekuasaan itu.

Ketiga, kekuasaan referent. Anda berkuasa terhadap si ‘B’, karena si’B’ mengindentifikasikan dirinya dengan anda, karena ia ingin seperti anda, karena anda adalah idolanya. Kekuasaan ini timbul karena rasa hormat (bahasa Sunda mempunyai kata yang paling tepat unutk ini, yaitu “ajrih”.

Keempat, kekuasaan legitimate. Anda berkuasa karena anda mempunyai hak istimewa yang diberikan oleh konvensi, tradisi atau adat kebiasaan. Secara konvensional, Pak Lurah mempunyai kekuasaan. Ia, misalnya boleh mengubah batas-batas tanah kita untuk kepentingan pembangunan.

Kelima, kekuasaan ahli. Anda memiliki kekuasaan terhadap si ‘B’, karena anda memiliki keahlian yang sangat diperlukan si ‘B’ untuk mencapai tujuannya. Anda menjadi sumber bantuan si ‘B’.

Keenam, kekuasaan negatif. Kekuasaan terakhir ini jarang dicari tetapi sering terjadi. Antonius memuju-muji Brutus supaya orang-orang Romawi menentang Brutus. Dengan kekuasaan negatif, anda menganjurkan orang lain untuk melakukan perbuatan yang sebaliknya dari apa yang anda anjurkan. Anda memerintahkan orang berlaku sederhana, supaya mereka berlomba mengejar kemewahan. Aneh tapi nyata.



Catatan: Tulisan di atas adalah buah tangan dari Jalaluddin Rakhmat yang disadur dari bukunya Islam Aktual, dengan judul asli Kekuasaan, hal: 112-113

0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Ibnu Arsib Ritonga | TNB