Politik secara
sederhana adalah segala hal yang berkaitan dengna permainan kekuasaan. Sebagai politikus,
pekerjaan anda hanya ada dua: menghimpun kekuasaan (machtvorming) dan menggunakan kekuasaan (machtaanwending). Ketika anda rajin mengunjungi orang-orang yang
berpengaruh dan melakukan negosiasi dengan mereka, anda sedang menghimpun
kekuasaan. Ketika anda menyingkirkan lawan anda dengan memanipulasikan wewenang
yang anda miliki, anda sedang menggunakan kekuasaan.
Banyak orang mengira
bahwa politik hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu saja, anggota partai
politik, calon anggota DPR, dan pejabat lainnya. Menjelang pemilu, kita sering
mendengar ucapan: “Suhu politik meningkat.” Dan karena politik kotor, maka
kegiatan politik tidak boleh dilakukan di tempat-tempat suci seperti masjid,
juga tidak ditempat-tempat belajar seperti universitas. Pasar (kecuali pasar
swalayan yang modern) adalah tempat kotor, karena itu di sana anda boleh berpolitik,
misalnya politik dagang sapi. Bila berpolitik di kantor, anda telah mencemari
kantor, atau kantor anda kotor.
Politik sebenarnya
tidak kotor, dan kekuasaan tidak selalu berkaitan dengan politik - kata para psikolog sosial. Setiap orang
terlibat dalam permainan kekuasaan. Ketika anda berhubungan dengan orang lain,
anda bersaing dalam menggunakan kekuasaan. Bahkan kekuasaan itu fitrah,
kebutuhan manusia yang harus dipenuhi. Menusia selalu merindukan dan mencari
kekuasaan.
David McClelland
menyebutkan tiga kebutuhan sosial yang menggerakkan manusia: kebutuhan akan
kasih-sayang, kebutuhan untuk berprestasi, dan kebutuhan akan kekuasaan. Tingkat
kebutuhan ini pada setiap orang berbeda-beda. Bila kebutuhan akan kasih-sayang
sama tingginya dengan kebutuhan akan kekuasaan, anda bisa gila. Ketika mengejar
kekuasaam, anda harus mengesampingkan sebagian rasa kasih-sayang. Anda harus “tegaan”.
Sebaiknya anda memperkecil kebuthan akan kekuasaan dan mempertinggi kebutuhan
akan kasih-sayang. Tetapu anda harus meninggalkan karir anda. Jadilah pendeta
atau kiai.
Janganlah membayangkan
bahwa setiap kekuasaan melibatkan hukuman dan ganjaran. B.H. Raven dalam Social Influence and Power menyebutkan
enam macam kekuasaa. Yaitu:
Pertama,
kekuasaan koersif. Anda memiliki kekuasaan ini bila orang menganggap anda
mempunyai kemampuan untuk mendatangkan hukuman atau ganjaran. Untuk menggunakan
kekuasaan ini, anda harus selalu mengawasi perilaku orang lain. Raven menyebut
kekuasaan ini dengan istilah “public
dependent.”
Kedua,
kekuasaan informasi. Anda berkuasa terhadap si ‘B’. Tetapi begitu informasi itu
disampaikan, anda kehidlangan kekuasaan itu.
Ketiga,
kekuasaan referent. Anda berkuasa
terhadap si ‘B’, karena si’B’ mengindentifikasikan dirinya dengan anda, karena
ia ingin seperti anda, karena anda adalah idolanya. Kekuasaan ini timbul karena
rasa hormat (bahasa Sunda mempunyai kata yang paling tepat unutk ini, yaitu “ajrih”.
Keempat,
kekuasaan legitimate. Anda berkuasa
karena anda mempunyai hak istimewa yang diberikan oleh konvensi, tradisi atau
adat kebiasaan. Secara konvensional, Pak Lurah mempunyai kekuasaan. Ia,
misalnya boleh mengubah batas-batas tanah kita untuk kepentingan pembangunan.
Kelima,
kekuasaan ahli. Anda memiliki kekuasaan terhadap si ‘B’, karena anda memiliki
keahlian yang sangat diperlukan si ‘B’ untuk mencapai tujuannya. Anda menjadi
sumber bantuan si ‘B’.
Keenam,
kekuasaan negatif. Kekuasaan terakhir ini jarang dicari tetapi sering terjadi.
Antonius memuju-muji Brutus supaya orang-orang Romawi menentang Brutus. Dengan kekuasaan
negatif, anda menganjurkan orang lain untuk melakukan perbuatan yang sebaliknya
dari apa yang anda anjurkan. Anda memerintahkan orang berlaku sederhana, supaya
mereka berlomba mengejar kemewahan. Aneh tapi nyata.
Catatan:
Tulisan
di atas adalah buah tangan dari Jalaluddin Rakhmat yang disadur dari bukunya Islam Aktual, dengan judul asli Kekuasaan, hal: 112-113
0 komentar:
Posting Komentar